Sabtu, 31 Juli 2010

Hukum Makan Kelelawar Untuk Dijadikan Obat


Tanya : Apakah hukum makan kelelawar yang sebagian dari tubuhnya digunakan obat ?

Jawab : Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Syafii’iyyah dan Hanaabilah mengharamkannya. Adapun Maalikiyyah hanya memakruhkannya saja, sedangkan Hanafiyyah berselisih dalam boleh tidaknya. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengharamkan daging kelelawar[1].

Mereka berdalil dengan riwayat :

عن عَبد الله بن عَمْرو ، أنه قال : لاَ تقتلوا الضفادع فإن نقيقها تسبيح ، ولا تقتلوا الخفاش فإنه لما خرب بيت المقدس قال : يا رب سلطني على البحر حتى أغرقهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih. Dan jangan kalian membunuh kelelawar, karena ketika Baitul-Maqdis roboh ia berkata : ‘Wahai Rabb, berikanlah kekuasaan padaku atas lautan hingga aku dapat menenggelamkan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/318 & Ash-Shughraa 8/293 no. 3907 & Al-Ma’rifah hal. 456 – Al-Baihaqiy berkata : “Sanadnya shahih”].[2]

Setelah menyebutkan hadits di atas, Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
قال أصحابنا : فالذي أمر بقتله في الحل والحرم يحرم أكله ، والذي نهى عن قتله يحرم أكله .........
“Telah berkata shahabat-shahabat kami : Hewan yang diperintahkan untuk dibunuh di tanah haram ataupun halal, maka diharamkan untuk memakannya. Begitu puga hewan yang dilarang untuk membunuhnya, terlarang pula untuk memakannya…..” [Ash-Shughraa, 8/294].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :

قال مقيده عفا الله عنه: والظاهر في مثل هذا الذي صح عن عبد الله بن عمرو من النهي عن قتل الخفاش والضفدع أنه في حكم المرفوع لأنه لا مجال للرأي فيه. لأن علم تسبيح الضفدع وما قاله الخفاش لا يكون بالرأي، وعليه فهو يدل على منع أكل الخفاش والضفدع.
وقال ابن قدامة في "المغني": ويحرم الخطاف والخشاف أو الخفاش وهو الوطواط،
قال أحمد: ومن يأكل الخشاف؟ وسئل عن الخطاف فقال: لا أدري، وقال النخعي: أكل الطير حلال إلا الخفاش، وإنما حرمت هذه لأنها مستخبثة لا تأكلها العرب اهـ. من المغني. والخشاف هو الخفاش، وقد قدمنا عن مالك وأصحابه جواز أكل جميع أنواع الطير: واستثنى بعضهم من ذلك الوطواط.

“Telah berkata penulis kitab ini (yaitu Asy-Syinqithiy) – semoga Allah memaafkannya - : ‘Dan yang nampak pada riwayat semacam ini yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Amru tentang larangan membunuh kelelawar dan katak; maka riwayat itu dihukumi marfu’,[3] karena tidak ada ruang untuk ra’yu berbicara tentangnya. Karena, pengetahuan tentang tasbih-nya katak dan yang dikatakan oleh kelelawar (dalam riwayat di atas) tidak mungkin berasal dari ra’yu. Dengan demikian, riwayat ini menunjukkan pelarangan memakan kelelawar dan katak’.

Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy berkata : ‘Diharamkan khuththaaf (sejenis kelelawar) dan khasysyaaf (kelelawar) atau khaffaasy dan ia sama dengan wathwaath’. Ahmad berkata : ‘Siapakah yang memakan kelelawar ?’. Ketika ia ditanya tentang khuththaaf ia menjawab : ‘Aku tidak tahu’. An-Nakha’iy berkata : ‘Memakan burung adalah halal, kecuali kelelawar. Ia diharamkan hanyalah karena menjijikkan dan orang Arab tidak memakannya’ – selesai dari Al-Mughniy. Al-kasysyaaf adalah al-kaffaasy. Telah kami jelaskan sebelumnya dari Maalik dan rekan-rekannya yang membolehkan memakan semua jenis burung, dan mereka mengecualikan sebagian di antaranya yaitu kelelawar” [Adlwaaul-Bayaan, 1/541-542].
Allah ta’ala berfirman :

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِث

“Dan diharamkan bagi mereka segala yang buruk” [QS. Al-A’raf : 157].

Dan kelelawar termasuk jenis makanan yang buruk.

Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – 1431].

___________________________________
[1] Bahasa Arabnya : Kaffaasy atau wathwaath atau khusyaaf atau khuththaaf.

[2] Telah berkata Al-Baihaqiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah memberitakan Hisyaam Ad-Dustuwaaiy, dari Qataadah, dari Zuraarah bin Aufaa, dari

‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “…….(al-hadits)….”.
Abu ‘Abdillah, ia adalah Ishaaq bin Muhammad bin Yuusuf bin Ya’quub bin Ibraahiim bin Ishaaq bin Yuusuf As-Suusiy An-Naisaabuuriy; seorang yang tsiqah, diridlai, shaalih, lagi pandai [Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy, no. 26].

Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru, ia adalah Muhammad bin Muusaa bin Al-Fadhl bin Syaadzaan An-Naisaabuuriy Ash-Shairafiy; seorang yang tsiqaah, diridlai, dan masyhur dengan kejujurannya [Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy, no. 154].

Abul-‘Abbaas, ia adalah Muhammad bin Ya’quub bin Yuunus bin Ma’qil bin Sinaan – terkenal dengan nama Al-Asham; seorang muhaddits di jamannya, tsiqah, ma’muun, tidak diperselisihkan tentang kejujuran dan keshahihan penyimakan haditsnya [lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 15/452-460 no. 258].

Yahyaa, ia adalah Ibnu Abi Thaalib Ja’far bin ‘Abdillah bin Az-Zibriqaan. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku menulis darinya bersama ayahku. Dan aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, maka ia menjawab : “Tempatnya kejujuran”. Al-Aajurriy berkata : “Abu Daawud Sulaimaan bin Al-Asy’ats menulis hadits Yahyaa bin Abi Thaalib”. Muusaa bin Haaruun berkata : “Aku bersaksi bahwa Yahyaa bin Abi Thaalib berdusta”. Abu Ahmad Muhammad bin Muhammad Al-Haafidh berkata : “Yahyaa bin Abi Thaalib tidak kokoh/kuat”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Menurutku tidak mengapa dengannya. Tidak ada seorang pun yang mencelanya dengan hujjah (yang benar)” [lihat Taariikh Baghdaad, 16/323-325 no. 7464]. Ibnu Hajar menyepakati perkataan Ad-Daaruquthniy tersebut. Maslamah bin Qaasim berkata : “Tidak mengapa dengannya. Orang-orang telah memperbincangkannya” [Lisaanul-Miizaan, 8/452-453]. Perkataan yang benar, ia seorang yang hasan haditsnya. Adapun persaksian Muusaa bin Haarun, Adz-Dzahabiy memberikan kemungkinan bahwa yang dikatakannya itu bukan dalam hadits, sebab Ad-Daaruquthniy adalah orang yang lebih mengetahui tentangnya. Wallaahu a’lam.

‘Abdul-Wahhaab, ia adalah Ibnu ‘Athaa’ Al-Khaffaaf; seorang yang diperselisihkan. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, mudltharib” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad, 2/399]. Telah berkata ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy dan Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tidak mengapa dengannya”. Telah berkata Al-Ghallaabiy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Ditulis haditsnya”. Dan telah berkata ‘Abbaas Ad-Duuriy dari Yahyaa bin Ma’iin : “Tsiqah”. As-Saajiy berkata : “Shaduuq, namun tidak kuat”. Ibnu Abi Haatim berkata : Aku pernah bertanya kepada ayahku tentangnya, lalu ia menjawab : ‘Tempatnya kejujuran’. Aku bertanya lagi : ‘Apakah ia lebih engkau senangi ataukah Abu Zaid An-Nahwiy dalam riwayat Ibnu Abi ‘Aruubah ?’. Ia menjawab : ‘’Abdul-Wahhaab di sisi mereka bukanlah seorang yang kuat dalam hadits”. Ibnu Sa’d berkata : “Ia seorang yang shaduuq, insya Allah”. Ibnu Hibbaan dan Ibnu Syaahiin menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah”. Al-Bukhaariy berkata : “Ditulis haditsnya,….aku harapkan (haditsnya dapat dipergunakan sebagai hujjah)”. An-Nasaa’iy dan Ibnu ‘Adiy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Al-Hasan bin Sufyaan berkata : “Tsiqah”. Al-Bazzaar berkata : “Tidak kuat. Namun para ulama telah membawakan haditsnya” [lihat : Tahdziibut-Tahdziib, 6/450-453 no. 838]. Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq” [Miizaanul-I’tidaal, 2/681 no. 5322]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, kadang keliru” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 633 no. 4290]. Kesimpulannya, ia seorang yang shaduuq.

Hisyaam Ad-Dustuwaaiy adalah seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1022 no. 7348].

Qataadah, ia adalah Ibnu Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun masyhuur dalam tadlis [lihat : Taqriibut-Tahdziib hal. 798 no. 5553 dan Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 102 no. 92].

Zuraarah bin Aufaa Al-‘Aamiriy Al-Harasyiy; seorang yang tsiqah ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 336 no. 2020].

Sanad hadits ini lemah karena ‘an’anah dari Qataadah. Akan tetapi Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shaghiir no. 521 membawakan jalur lain sebagai berikut : Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Al-Hasan Abu Hafsh Al-Qaadliy Al-Halabiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Musayyib bin Waadlih : Telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad, dari Syu’bah, dari Qataadah, dari Zuraarah bin Aufaa, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata :

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل الضفدع، وقال : نقيقها تسبيح

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh katak, karena suaranya adalah tasbiih”.

‘Umar bin Al-Hasan Abu Hafsh Al-Qaadliy Al-Halabiy adalah seorang yang tsiqah [Irsyaadul-Qaadliy wad-Daaniy, hal. 446-447 no. 707].

Al-Musayyib bin Waadlih As-Sulamiy At-Tallamannasiy Al-Himshiy; seorang yang diperselisihkan. Abu Haatim berkata : “Shaduuq, banyak salahnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil 9/294]. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat (9/204), dan kemudian berkata : “Banyak salahnya (kaana yukhthi’)”. Ad-Daaruquthniy berkata : “Dla’iif” [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 651 no. 3497]. Al-Jurqaaniy berkata : “Banyak salahnya” [Al-Abaathil 1/506 no. 315].

Hajjaaj bin Muhammad Al-Mushiishiy, seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun tercampur hapalannya di akhir umurnya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 224 no. 1144].
Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin [idem, 436 no. 2805].

Sanad hadits ini lemah karena kelemahan dari Al-Musayyib. Akan tetapi ini bisa dijadikan mutaba’ah bagi riwayat pertama sekaligus untuk menghilangkan syak akan ‘an’anah dari Qataadah, sebab dalam jalur ini Syu’bah telah meriwayatkan darinya. Periwayatan Syu’bah dari Qataadah dibawa pada hukum muttashil meskipun Qataadah membawakan dengan ‘an’anah [lihat Riwaayatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy, hal. 484].

Oleh karena itu, status hadits ini adalah hasan. Dan para ulama menjelaskan bahwa yang mahfudh adalah riwayat yang mauquf sebagaimana riwayat yang pertama. wallaahu a’lam.

[3] Dihukumi setara dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Baca Selengkapnya

Jumat, 30 Juli 2010

Bolehkah Berdoa Dengan Bahasa Non Arab ?


Seringkali ada yang mengajukan pertanyaan, “Bolehkah berdo’a dengan bahasa non Arab?”

Semoga penjelasan berikut bisa menjawab pertanyaan tersebut.


Berdo’a dengan Bahasa Non Arab

Syaikh Sholih Al Munajid hafizhohullah dalam situs beliau Al Islam Sual wa Jawab memberikan penjelasan,

“Jika orang yang shalat mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdo’a dengan bahasa selainnya. Namun jika orang yang shalat tersebut tidak mampu berdo’a dengan bahasa Arab, maka tidak mengapa ia berdo’a dengan bahasa yang ia pahami sambil ia terus mempelajari bahasa Arab (agar semakin baik ibadahnya, -pen).

Adapun do’a di luar shalat, maka tidak mengapa menggunakan bahasa non Arab. Seperti ini sama sekali tidak ada masalah lebih-lebih lagi jika hatinya semakin hadir (semakin memahami) do’a yang ia panjatkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,

وَالدُّعَاءُ يَجُوزُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ قَصْدَ الدَّاعِي وَمُرَادَهُ وَإِنْ لَمْ يُقَوِّمْ لِسَانَهُ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ ضَجِيجَ الْأَصْوَاتِ بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ عَلَى تَنَوُّعِ الْحَاجَاتِ .

“Berdo’a boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap do’a dalam berbagai bahasa pun itu dan Dia pun Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan”[1].”[2]

Do’a Al Qur’an dan As Sunnah, Do’a Terbaik

Do’a terbaik tentu saja do’a yang disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika memanjatkan do’a semacam ini, kita akan mendapatkan kebaikan yang amat banyak, tidak sebatas pada yang kita minta saja. Begitu pula kita nantinya tidak salah meminta karena tidak sedikit yang salah meminta dalam do’anya. Do’a dari Al Qur’an dan Hadits pun tidak membuat kita salah dalam mengucap sehingga salah makna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

وَيَنْبَغِي لِلْخَلْقِ أَنْ يَدْعُوا بِالْأَدْعِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا رَيْبَ فِي فَضْلِهِ وَحُسْنِهِ وَأَنَّهُ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ صِرَاطُ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا .

“Sudah sepatutnya setiap hamba berdo’a dengan do’a yang syar’i yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Karena do’a yang berasal dari keduanya tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebaikannya. Do’a yang ada pada keduanya termasuk doa’ para Nabi, para shidiqin, para syuhada’, orang-orang sholih yang menjadi teman terbaik yang tentu berada di jalan yang lurus. ”[3]

Praktekkan Do’a Sederhana Namun Maknanya Luar Biasa

Begitu banyak do’a dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang mengandung makna yang luar biasa sebagaimana do’a sapu jagad berikut.

رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Robbana aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqinaa ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari adzab Neraka] (QS. Al Baqarah: 201)

Coba perhatikan dengan seksama bagaimana penjelasan Ibnu Katsir mengenai do’a tersebut. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

“Do’a ini sungguh telah mencakup permintaan seluruh kebaikan di dunia dan terhindar dari setiap kejelekan. Permintaan kebaikan di dunia yang dimaksudkan dalam do’a ini mencakup nikmat sehat, rumah yang lapang, istri yang penuh dengan kebaikan, rizki yang luas, ilmu yang bermanfaat, amal sholih, kendaraan yang menyenangkan, pujian yang baik serta kebaikan-kebaikan lainnya dengan berbagai ungkapan dari pakar tafsir yang tidak saling bertentangan satu dan lainnya. Semua yang disebutkan ini tercakup dalam kebaikan dunia.

Adapun kebaikan di akhirat yang diminta dalam do’a ini tentu saja lebih tinggi dari kebaikan di dunia yaitu dimasukkannya ke dalam surga, dibebaskan dari rasa khawatir (takut) dari berbagai kesulitan dan diberi kemudahan dalam hisab (perhitungan amalan) di akhirat serta berbagai kebaikan di akhirat.

Adapun permintaan diselamatkan dari siksa neraka mengandung permintaan agar kita dibebaskan dari berbagai sebab dunia yang menjerumuskan ke dalam neraka yaitu dengan dijauhkan dari berbagai perbuatan yang haram dan dosa, dan diberi petunjuk untuk meninggalkan hal-hal syubhat (yang masih samar/abu-abu) dan hal-hal yang haram.

Inilah penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat Al Baqarah ayat 201. [4]

Begitu luar biasa dan ampuhnya do’a sapu jagad ini, begitu ringkas, namun makna yang dikandung begitu dalam. Itulah do’a yang seharusnya bisa kita rutinkan.

Terakhir

Sudah sepatutnya do’a yang dipanjatkan dipahami maknanya. Karena hati yang memahami isi do’a tentu saja do’anya akan lebih didengar dan dikabulkan daripada hati yang lalai. Oleh karena itu, setiap do’a yang dipanjatkan hendaknya dipahami artinya sehingga bisa lebih diresapi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Baca Selengkapnya

Senin, 26 Juli 2010

Buah Sirsak Obat Kanker Yang Disembunyikan As


Sebuah penelitian di Purdue University membuktikan bahwa buah sirsak mampu membunuh sel kanker secara efektif, terutama sel kanker prostat, pankreas, dan paru-paru.

Beberapa waktu belakangan di beberapa milis kesehatan dan e-mail pribadi beredar informasi tentang manfaat dan khasiat dari buah sirsak. Isi dari informasi itu cukup membuat kehebohan dan kegembiraan untuk para penderita kanker.

Karena, berdasarkan data yang dilansir, khasiat dan manfaat dari buah yang di Spanyol dikenal dengan nama graviola, atau dengan nama Inggris, soursop ini banyak disembunyikan oleh perusahaan farmasi di AS.

Ya, berdasarkan data dan hasil penelitian, soursop atau sirsak diakui sebagai pembunuh alami sel kanker yang ajaib dengan 10.000 kali lebih kuat dari pada terapi kemo. Lantas, kenapa informasi ini sampai terabaikan dan tidak tersosialisasikan kepada publik?

Ini lebih disebabkan kepada kepentingan bisnis dunia farmasi agar dana riset yang dikeluarkan sangat besar, selama bertahun-tahun, dapat kembali lebih dulu plus keuntungan berlimpah dengan cara membuat pohon graviola sintetis sebagai bahan baku obat, lalu obatnya dijual ke pasar dunia.

Memprihatinkan memang mengingat banyak orang meninggal sia-sia dan mengenaskan, karena keganasan kanker, sedangkan perusahaan raksasa, pembuat obat dengan omzet miliaran dolar menutup rapat-rapat rahasia keajaiban pohon graviola ini.

Beberapa peneliti di Health Sciences Institute mengakui jika buah sirsak memberikan efek anti tumor/kanker yang sangat kuat, dan terbukti secara medis menyembuhkan segala jenis kanker.

Selain menyembuhkan kanker, buah sirsak juga berfungsi sebagai antibakteri, antijamur (fungi), efektif melawan berbagai jenis parasit/cacing, menurunkan tekanan darah tinggi, depresi, stres, dan menormalkan kembali sistem syaraf yang kurang baik.

Penelitian Health Sciences Institute diambil berdasarkan kebiasaan hidup suku Indian yang hidup di hutan Amazon. Beberapa bagian dari pohon ini seperti kulit kayu, akar, daun, daging buah dan bijinya, selama berabad-abad menjadi obat bagi suku Indian. Graviola atau sirsak diyakini mampu menyembuhkan sakit jantung, asma, masalah liver (hati) dan rematik.

Informasi manfaat dan khasiat sirsak tidak serta merta dapat beritahukan karena ada ketentuan undang-undang federal, di mana di dalamnya dinyatakan sumber bahan alami untuk obat dilarang atau tidak bisa dipatenkan sebelum ditemukan unsur sintetisnya.

Sejak 1976, graviola telah terbukti sebagai pembunuh sel kanker yang luar biasa pada uji coba yang dilakukan oleh 20 Laboratorium independen yang berbeda dan dilakukan di bawah pengawasan The National Cancer Institute.

Suatu studi yang dipublikasikan oleh the Journal of Natural Products menyatakan bahwa studi yang dilakukan oleh Catholic University di Korea Selatan, menyebutkan bahwa salah satu unsur kimia yang terkandung di dalam graviola, mampu memilih, membedakan dan membunuh sel kanker usus besar dengan 10.000 kali lebih kuat dibandingkan dengan adriamycin dan terapi kemo!

Penemuan yang paling mencolok dari studi Catholic University ini adalah: graviola bisa menyeleksi memilih dan membunuh hanya sel jahat kanker, sedangkan sel yang sehat tidak tersentuh atau terganggu.

Graviola tidak seperti terapi kemo yang tidak bisa membedakan sel kanker dan sel sehat, maka sel-sel reproduksi (seperti lambung dan rambut) dibunuh habis oleh terapi kemo, sehingga timbul efek negatif rasa mual dan rambut rontok.

Studi di Purdue University membuktikan bahwa daun graviola mampu membunuh sel kanker secara efektif, terutama sel kanker: prostat, pankreas, dan paru-paru.

Hasil riset beberapa universitas itu membuktikan jika pohon ajaib dan buahnya ini bisa:

1. Menyerang sel kanker dengan aman dan efektif secara alami, tanpa rasa mual, berat badan turun, rambut rontok, seperti yang terjadi pada terapi kemo.

2. Melindungi sistim kekebalan tubuh dan mencegah dari infeksi yang mematikan.

3. Energi meningkat dan penampilan fisik membaik.

4. Secara efektif memilih target dan membunuh sel jahat dari 12 tipe kanker yang berbeda, di antaranya kanker usus besar, payudara, prostat, paru-paru, dan pankreas.

5. Daya kerjanya 10.000 kali lebih kuat dalam memperlambat pertumbuhan sel kanker dibandingkan dengan adriamycin dan terapi kemo yang biasa digunakan.

6. Tidak seperti terapi kemo, sari buah ini secara selektif hanya memburu dan membunuh sel-sel jahat dan tidak membahayakan atau membunuh sel-sel sehat.

Kisah lengkap tentang graviola, di mana memperolehnya, dan bagaimana cara memanfaatkannya, dapat dijumpai dalam Beyond Chemotherapy: New Cancer Killers, Safe as Mother’s milk, sebagai bonus terbitan Health Sciences Institute.
Baca Selengkapnya

Kamis, 15 Juli 2010

Hukum Bermakmum kepada Masbuk ?


Bolehkah bermakmum kepada masbuq? Silakan simak dalam fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ beriktu ini.

السؤال الثامن والتاسع من الفتوى رقم ( 820 )


Pertanyaan kedelapan untuk fatwa no 820

س8: إذا دخلت المسجد فوجدت الإمام قد صلى ما كتب له الله أن يصلي فدخلت معه، ثم بعد ما سلم قمت أتمم ما فاتني، ثم دخل رجل آخر واقتدى بي، فهل يصح لهذا الرجل الاقتداء بي أو لا؟

Pertanyaan, “Jika aku masuk ke dalam masjid dan menjumpai imam telah shalat sebanyak beberapa rakaat lalu aku pun shalat bersamanya. Setelah imam mengucapkan salam aku berdiri untuk melengkapi rakaat yang tertinggal. Kemudian ternyata ada orang yang masuk ke masjid dan bermakmum kepadaku. Bolehkan orang tersebut bermakmum kepadaku yang berstatus sebagai masbuq?”

ج8: إذا كان المأموم قد أدرك بعض الركعات مع الإمام ثم قام بعد سلام إمامه ليتم ما بقي عليه من الصلاة فلمن يريد أن يصلي معه أن يقتدي به على الصحيح من أقوال الفقهاء،

Jawaban al Lajnah ad Daimah, “Jika ada makmum masbuq yang mendapatkan beberapa rakaat bersama imam lalu si masbuq berdiri untuk melengkapi rakaat yang tertinggal maka boleh bagi siapa saja yang ingin shalat bersamanya untuk bermakmum dengannya menurut pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat pakar fikih dalam masalah ini.

وذهب بعضهم كالحنفية والمالكية إلى أنه لا يصح الاقتداء بمن قام يقضي ما بقي عليه بعد سلام إمامه، والمسألة اجتهادية، حيث لم يرد فيها نص صريح.

Meski sebagian ulama fikih semisal para ulama yang bermazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak sah bermakmum kepada makmum masbuq yang sedang melengkapi kekurangan rakaatnya setelah imam mengucapkan salam.

Perlu diketahui bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiah dikarenakan tidak ada dalil tegas dalam masalah ini”.

س9: إذا دخلت المسجد فوجدت الإمام في التشهد الأخير فدخلت معه، ولما سلم قمت أصلي، فدخل رجل واقتدى بي، فهل أصلي بهذا أو أدفعه؟

Pertanyaan kesembilan, “Jika aku masuk ke dalam masjid dan kujumpai imam sudah dalam posisi tasyahud akhir lalu tetap bermakmum kepadanya. Setelah imam mengucapkan salam aku berdiri untuk menyelesaikan shalatku. Taklama setelah itu ada orang yang masuk masjid dan bermakmum kepadaku. Bolehkah aku shalat bersama orang tersebut ataukah aku tolak kehadirannya?”

ج9: من أدرك التشهد الأخير مع الإمام فلغيره ممن يريد الصلاة معه أن يقتدي به، وهذه المسألة أولى بالجواز من المسألة التي قبلها، وعلى ذلك فليس لهذا الشخص أن يدفع من يريد الاقتداء به في الصلاة.

Jawaban al Lajnah ad Daimah, “Siapa saja yang menjumpai tasyahud akhir bersama imam maka boleh bagi orang lain yang ingin shalat bersamanya untuk bermakmum dengan orang tersebut. Kasus ini lebih layak untuk kita katakan bahwa hukumnya boleh dibandingkan kasus sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas maka si masbuq tidak boleh menolak orang yang ingin bermakmum kepadanya dalam shalat tersebut”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب الرئيس
عبد الله بن منيع … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdurrazaq Afifi selaku wakil ketua Lajnah Daimah dan Abdullah bin Ghudayan serta Abdullah bin Mani’ selaku anggota.
Baca Selengkapnya

Rabu, 14 Juli 2010

Tempat tempat yang disyariatkan membaca basmalah


Kita di syariatkan untuk membaca basmalah pada tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu, diantaranya adalah:

Hendak makan.

عن أبي حفص عمر بن أبي سلمة عبد الله بن عبد الأسد قال : كنت غلاما في حجر رسول الله صلى الله عليه وسلم وكانت يدي تطيش في الصفحة , فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا غلام سم الله وكل بيمينك وكل مما يليك (متفق عليه).

Dari Abu Hafsh Umar bin Abi Salamah Abdullah bin Abdil Asad ia berkata : Aku seorang anak yang ada dalam asuhan Rosulullah sallalahu ‘alaihi wasallam, dan adalah tanganku berputar kesana kemari dalam nampan, maka Rosulullah sallallahu ‘alahi wasallam bersabda :” Wahai anak. Bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat darimu “. (Muttafaq ‘alaih)[1].

Hendak berjima’.

عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لو أن أحدكم إذا أتى أهله قال : بسم الله اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا , فقضي بينهما ولد لم يضره .

Dari ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” seandainya salah seorang dari kalian apabila hendak mendatangi istrinya berkata :” Ya Allah, jauhkanlah kami dari Setan, dan jauhkan Setan dari rizki yang Engkau berikan kepada kami “. Lalu ditakdirkan untuk keduanya anak, niscaya (setan) tidak akan memberinya mudlarat “.


(Muttafaq ‘alaih)[2].

Meletakkan mayat. Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

قال إذا وضعتم موتاكم في القبر فقولوا بسم الله وعلى ملة رسول الله .

Dari ibnu Umar, Rosulullah sallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Apabila kalian meletakkan mayat kalian dalam qubur, ucapkanlah :” bismillah wa ‘ala millati Rosulillah “. (Bismillah dan di atas millati Rosulillah). (HR Ahmad, ibnu Majah dan lainnya)[3].


Menyembelih. Allah Ta’ala berfirman :

وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“ Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan…”. (QS Al An’am 6 : 121).

Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ما أنهر الدم وذكر اسم الله فكل

“ (Binatang) yang dialirkan darahnya dan disebutkan nama Allah maka makanlah…”. (HR Bukhari dan Muslim)[4].


Hendak buang air. Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ستر ما بين الجن و عورات بني آدم إذا دخل أحدهم الخلاء أن يقول : بسم الله .

“ penutup antara Jinn dan aurat anak Adam apabila salah seorang dari mereka masuk wc, yaitu mengucapkan : bismillah “. (HR ibnu Majah dan lainnya)[5].


Ketika jengkel.

عن أبي المليح عن رجل قال كنت رديف النبي فعثرت دابته فقلت تعس الشيطان فقال لا تقل تعس الشيطان فإنك إذا قلت ذلك تعاظم حتى يكون مثل البيت ويقول بقوتي ولكن قل بسم الله فإنك إذا قلت ذلك تصاغر حتى يكون مثل الذباب

Dari Abul Malih dari seseorang ia berkata :” Aku membonceng nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, lalu untanya terpeleset, maka aku berkata :” Celaka setan ! beliau bersabda :” Jangan engkau katakan : Celaka Setan, karena jika engkau katakan demikian maka setan akan menjadi besar sehingga sebesar rumah, ia berkata :” Dengan kekuatanku”. Akan tetapi katakan :” Bismillah “, maka jika engkau katakan demikian ia akan menjadi kecil sehingga menjadi sebesar lalat “. (HR Abu Dawud[6] dan lainnya).


Masuk rumah.

عن جابر بن عبد الله أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول : إذا دخل الرجل بيته فذكر الله عند دخوله وعند طعامه قال الشيطان : لا مبيت لكم ولا عشاء . وإذا دخل فلم يذكر الله عند دخوله قال الشيطان : أدركتم المبيت . وإذا لم يذكر الله عند طعامه قال : أدركتم المبيت والعشاء .

Dari Jabir bin Abdillah bahwa ia mendengar Nabi sallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Apabila seseorang masuk rumahnya dan menyebut nama Allah ketika masuknya dan ketika makannya, setan berkata :” tidak ada tempat bermalam dan makan malam untuk kalian “. Dan apabila masuk tidak menyebut nama Allah ketika masuknya, setan berkata :” Kalian mendapatkan tempat bermalam “. Dan apabila tidak menyebut nama Allah ketika makannya, setan berkata :” kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan “. (HR Muslim)[7].


Keluar rumah.

عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إذا خرج الرجل من بيته فقال بسم الله توكلت على الله لا حول ولا قوة إلا بالله قال يقال حينئذ هديت وكفيت ووقيت فتتنحى له الشياطين فيقول له شيطان آخر كيف لك برجل قد هدي وكفي ووقي .

Dari Anas bin Malik sesungguhnya nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :” Apabila seseorang keluar dari rumahnya dan membaca : “ bismillah aku bertawakal kepada Allah, dan tiada daya dan upaya kecuali dengan (idzin) Allah “. Akan dikatakan pada waktu itu :” engkau diberi hidayah, dicukupi dan dilindungi “, setan pun menyingkir darinya, dan setan lain akan berkata kepadanya :” Bagaimana engkau akan dapat mengganggu orang yang dikatakan padanya :” telah diberi hidayah, dicukupi dan dilindungi “. (HR Abu dawud, At Tirmidzi dan lainnya)[8].


Menulis surat.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengirim surat kepada Heraklius, yang bunyinya :” bismillahirrahmanirrahim dari Muhamad hamba Allah dan Rosul-Nya kepada Heraklius pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti hidayah, amma ba’du : Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan islam, masuk islamlah niscaya engkau akan selamat dan Allah akan memberimu dua kali pahala, dan jika engkau berpaling maka engkaulah yang akan menanggung dosa rakyatmu lalu beliau membacakan firman Allah surat Ali Imran : 64 “. (HR Bukhari)[9].


Ruqyah.

Diantara ruqyah yang beliau ucapkan adalah :

بسم الله أرقيك من كل شيء يؤذيك ومن شر كل نفس أو عين حاسد , الله يشفيك بسم الله أرقيك .

“ Bismillah aku meruqyahmu, dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari dari kejahatan seluruh jiwa atau mata yang dengki, Allah yang menyembuhkanmu, bismillah aku meruqyahmu “. (HR Muslim)[10].


Hendak berwudlu.

لا صلاة لمن لا وضوء له ولا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه .

“ Tidak sah sholat bagi orang tidak berwudlu dan tidak sah wudlu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya “. (HR Abu Dawud, ibnu Majah, Ahmad dan lainnya)[11].


Menutup pintu, memadamkan lampu, dan menutup bejana.

إذا استنجح الليل أو كان جنح الليل فكفوا صبيانكم فإن الشياطين تنتشر حينئذ , فإذا ذهب ساعة من العشاء فخلوهم وأغلق بابك واذكر اسم الله وأطفئ مصباحك واذكر اسم الله وأوك سقاءك واذكر اسم الله وخمر إناءك واذكر اسم الله .

“ Apabila malam telah menjelang –atau apabila berada di awal malam- maka tahanlah anak anak kalian, karena pada waktu itu syetan syetan bertebaran, dan apabila telah pergi sesaat dari waktu isya maka biarkanlah mereka, tutuplah pintumu dan bacakan padanya nama Allah, padamkan lampu dan baca nama Allah, ikat siqo’ mu (bejana yang terbuat dari kulit untuk menyimpan air) dan baca nama Allah, tutup bejanamu dan baca nama Allah walaupun engkau hanya melintangkan diatasnya sesuatu “. (HR Bukhari dan Muslim)[12].

_________
[1] Al Bukhari dalam shahihnya no. 5376, dan Muslim dalam shahihnya no. 2022.

[2] Bukhari dalam shahihnya (141), dan Muslim dalam shahihnya (1434).

[3] Ahmad dalam musnadnya (2/27 no. 4812), ibnu Majah dalam sunannya (1/494 no. 1550). Dan ini adalah lafadz Ahmad. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani

[4] Dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya (no 5543), dan Muslim (no 1968) dari Rafi’ bin Khadiij.

[5] Dikeluarkan oleh ibnu majah dalam sunannya (1/109 no 297) dari Ali. Dan dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam Shahih Al Jami’ no 3611).

[6] Dikeluarkan oleh Abu Dawud (4/296 no 4982). Syaikh Salim bin ‘Ied berkata :” Sanadnya shahih “. (kitab maqami’ asy syaithan hal. 48).

[7] Dikeluarkan oleh Muslim dalam shahihnya (3/1598 no 2018).

[8] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya (no 5095), dan At Tirmidzi (3487). Dan dishahihkan oleh syaikh Al Bani dalam shahih sunan Tirmidzi (2724).

[9] Bukhari dalam shahihnya no. 7.

[10] Muslim dalam shahihnya (4/1718 no 2186) dari Abu Sa’id Al Khudri.

[11] Abu Dawud dalam sunannya (1/25 no 101), ibnu majah dalam sunannya (1/140 no 398, 399, 400), Ahmad dalam musnadnya (2/418 no 9408). Dan dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam irwa-ul ghalil (1/122).

[12] Bukhari dalam shahihnya (no 3280) dan Muslim dalam shahihnya (3/1595 no 2012)
Baca Selengkapnya

Selasa, 13 Juli 2010

Celah-celah Tubuh Manusia yang Bisa Dimasuki Setan


Pertanyaan :

Lewat manakah setan menggoda manusia ?


Jawaban :

Celah-celah yang dimasuki setan atas manusia banyak sekali. Dia antaranya, ia datang dari sisi nafsu syahwat kemaluannya, lalu ia merayunya agar berzina dan memikatnya berupa khalwat (menyendiri) dengan perempuan bukan mahram, memandang dan bergabung bersama mereka, mendengar nyanyian mereka dan semisalnya. Ia senantiasa membujuknya hingga ia terjerumus dalam perbuatan keji.

Di antaranya, ia mendatanginya dari sisi syahwat perutnya. Ia merayunya dengan memakan makanan yang haram, minum arak dan mengkonsumsi narkoba serta yang seumpamanya.

Di antaranya, ia mendatanginya lewat jalur tabiat keinginan memiliki, cenderung kepada kekayaan dan kemewahan, ia membujuknya dengan memperluas usaha, halal dan haramnya. Maka ia tidak memperduli memakan harta manusia dengan cara batil berupa riba, mencuri, merampas, mencopet, menipu dan semisalnya.

Di antaranya, ia mendatanginya dari sisi tabiat suka kekuasaan, tinggi dan di pandang besar. Maka ia bersikat takabbur, membanggakan diri terhadap manusia, menghina dan mengolok-olok mereka. Dan celah-celah lainnya untuk dimasukinya.

Semoga rahmat dan kesejahteraan Allah tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Baca Selengkapnya

Senin, 12 Juli 2010

FIKIH CIUMAN


Perlu sekali kita mengenal jenis-jenis ciuman dari pembahasan berikut ini. Semoga bermanfaat.

«أقسام التقبيل»

Jenis-Jenis Ciuman

ذكر بعض الفقهاء أن التقبيل على خمسة أوجه : قبلة المودة للولد على الخد ، وقبلة الرحمة لوالديه على الرأس ، وقبلة الشفقة لأخيه على الجبهة ، وقبلة الشهوة لامرأته أو أمته على الفم ، وقبلة التحية للمؤمنين على اليد.
وزاد بعضهم قبلة الديانة للحجر الأسود.

Sebagian pakar fikih menyebutkan bahwa ciuman itu ada lima jenis.
a. Ciuman cinta, itulah ciuman kepada anak di pipinya.
b. Ciuman belas kasihan, itulah ciuman kepada ibu dan bapak di kepalanya.
c. Ciuman sayang, itulah ciuman kepada saudara di dahinya.
d. Ciuman birahi, itulah ciuman kepada istri atau budak perempuan di mulutnya.
e. Ciuman penghormatan, itulah ciuman di tangan untuk orang-orang yang beriman.

Sebagian pakar fikih menyebutkan adanya ciuman jenis keenam yaitu ciuman syar’i yang ditujukan kepada hajar aswad. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Hasyiah Ibnu Abidin 5/246 dan al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan 272].

« التقبيل الممنوع»

Ciuman yang terlarang

«أ – تقبيل الأجنبية»
اتفق الفقهاء على عدم جواز لمس وتقبيل المرأة الأجنبية ولو للخطبة.

ciuman untuk wanita ajnabiah (bukan istri dan bukan mahram)

Seluruh pakar fikih bersepakat bahwa sentuhan dan ciuman kepada wanita ajnabiah adalah terlarang meski dalam rangka meminang wanita tersebut [Ibnu Abidin 5/233, 234 dan 237, Jawahir al Iklil 1/275, al Qalyubi 3/208, Nihayah al Muhtaj 6/190, Kasyaf al Qana’ 5/10 dan al Mughni 6/553 dan halaman selanjutnya].

«ب – تقبيل الأمرد»
الأمرد إذا لم يكن صبيح الوجه فحكمه حكم الرجال في جواز تقبيله للوداع والشفقة دون الشهوة ، أما إذا كان صبيح الوجه يشتهى فيأخذ حكم النساء وإن اتحد الجنس ، فتحرم مصافحته وتقبيله ومعانقته بقصد التلذذ عند عامة الفقهاء.

Ciuman kepada amrad (laki-laki yang tidak berjenggot)

Jika amrad tersebut bukan ‘baby face’ maka statusnya sebagaimana umumnya laki-laki. Sehingga seorang laki-laki boleh menciumnya dalam rangka mengucapkan kata perpisahan karena hendak bepergian atau dengan maksud mengungkapkan rasa sayang asalkan tanpa birahi.
Namun jika amrad tersebut ‘baby face’ yang menimbulkan syahwat maka statusnya sebagaimana wanita bagi laki-laki yang lain. Sehingga seorang laki-laki tidak boleh berjabat tangan, mencium dan memeluknya jika dengan maksud mencari ‘kenikmatan’. Demikian pendapat mayoritas ulama pakar fikih. [Ibnu Abidin 5/233, al Zarqani 1/167, Jawahir al Iklil 1/20, 275, al Jamal 4/126, Hasyiah al Qalyubi 2/213 dan Kasyaf al Qana’ 5/12-15].

«ج – تقبيل الرجل للرجل ، والمرأة للمرأة»
لا يجوز للرجل تقبيل فم الرجل أو يده أو شيء منه ، وكذا تقبيل المرأة للمرأة ، والمعانقة ومماسة الأبدان ، ونحوها ، وذلك كله إذا كان على وجه الشهوة ،

Laki-laki mencium laki-laki, perempuan mencium sesama perempuan

Tidak boleh bagi seorang laki-laki untuk mencium mulut, tangan ataupun anggota badan sesama laki-laki jika dengan syahwat. Demikian pula ciuman, pelukan dan sentuhan badan di antara sesama perempuan jika diiringi syahwat.

وهذا بلا خلاف بين الفقهاء لما روي « عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه : نهى عن المكامعة وهي : المعانقة ، وعن المعاكمة وهي : التقبيل » .

Hal di atas adalah hukum yang tidak diperselisihkan oleh para ulama fikih dikarenakan ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang pelukan dan ciuman. [Hadits di atas disebutkan oleh al Harawi dalam Gharib al Hadits 1/171 dari ‘Iyyasy bin Abbas secara mursal]

أما إذا كان ذلك على غير الفم ، وعلى وجه البر والكرامة ، أو لأجل الشفقة عند اللقاء والوداع ، فلا بأس به.

Namun jika ciuman tersebut tidak pada mulut dan sebagai ungkapan penghormatan dan bakti atau untuk mengungkapkan rasa sayang saat bertemu ataupun berpisah maka hukumnya adalah boleh. [Ibnu Abidin 5/244, 246, al Binayah ‘ala al Hidayah 9/326, 327, Jawahir al Iklil 1/20, al Qolyubi 3/213 dan Hasyiah al Jamal ‘ala Syarh al Minhaj 4/126].

«د – تقبيل يد الظالم»

Mencium tangan orang yang zalim

صرح الفقهاء بعدم جواز تقبيل يد الظالم ، وقالوا : إنه معصية إلا أن يكون عند خوف ،

Para ulama pakar fikih menegaskan tentang tidak bolehnya mencium tangan orang yang zalim (semisal polisi yang zalim dst, preman dll, pent). Para ulama fikih mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat kecuali dalam kondisi khawatir dizalimi jika tidak mencium tangannya.

قال صاحب الدر : لا رخصة في تقبيل اليد لغير عالم وعادل ، ويكره ما يفعله الجهال من تقبيل يد نفسه إذا لقي غيره ، وكذلك تقبيل يد صاحبه عند اللقاء إذا لم يكن صاحبه عالما ولا عادلا ، ولا قصد تعظيم إسلامه ولا إكرامه .

Penulis kitab ad Durr mengatakan, ‘Tidak ada keringanan dalam mencium tangan seorang yang bukan ulama dan bukan orang yang shalih. Makruh hukumnya apa yang dilakukan oleh orang-orang awam yang mencium tangannya sendiri ketika berjumpa dengan orang lain. Demikian pula makruh hukumnya mencium tangan teman sendiri ketika berjumpa jika teman tersebut bukanlah seorang ulama ataupun orang yang shalih dan bukan karena maksud dengan menghormatinya atau menghormati statusnya sebagai seorang muslim. [ad Durr al Mukhtar dan Hasyiah Ibnu Abidin 5/245, 246, al Adab al Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 2/272 dan Tuhfah al Ahwadzi 7/527].

«هـ – تقبيل الأرض بين يدي العلماء والعظماء»
تقبيل الأرض بين يدي العلماء والعظماء حرام ، والفاعل والراضي به آثمان ، لأنه يشبه عبادة الوثن ، وهل يكفر ؟ إن على وجه العبادة والتعظيم كفر ، وإن على وجه التحية لا ، وصار آثما مرتكبا للكبيرة ، كما صرح به صاحب الدر.

Mencium tanah di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan.

Mencium (baca: meletakkan mulut) di tanah (bukan, sujud-pent) di hadapan ulama atau orang yang ditokohkan hukumnya haram. Pelaku dan orang yang rela diperlakukan demikian itu berdosa karena perbuatan ini menyerupai penyembahan terhadap berhala.
Apakah orang yang melakukannya menjadi kafir?

Perlu rincian:
a. Jika dalam rangka beribadah dan mengagungkkan orang yang ada di hadapannya maka pelakunya menjadi kafir.
b. Jika dengan maksud memberikan penghormatan maka tidak menjadi kafir, namun pelakunya berdosa karena telah melakukan dosa besar.

Rincian ini ditegaskan oleh penulis kitab ad Durr. [ad Durr al Mukhtar yang dicetak bersama Ibnu Abidin 5/246 dan al Binayah Syarh al Hidayah 9/326 dan 327].
Baca Selengkapnya

Minggu, 11 Juli 2010

Sunnah yang Dilupakan: Bacaan Setelah Membaca Al Qur’an

Penjelasan menarik mengenai bacaan penutup setelah membaca Al Qur’an.

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله.
أما بعد: فإنَّ إحياء السنن النبوية من أعظم القربات إلى الله،

Sesungguhnya menghidupkan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk amal yang sangat bernilai untuk mendekatkan diri kepada Allah.

فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ، قَالَ: (( مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا )) [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mengajak orang lain kepada kebaikan maka baginya pahala semua orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR Muslim).

فإليكم أحبتي في الله، هذه السُّنة التي غفل عنها كثيرٌ من الناس:

Saudaraku, berikut ini adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah dilalaikan oleh banyak orang.

يُسْتَحَبُّ بعد الانتهاء من تلاوة القرآن أن يُقال:
((سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ،لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ)).

Setelah selesai membaca al Qur’an dianjurkan untuk mengucapkan bacaan berikut ini: Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika. Yang artinya: maha suci Engkau ya Allah sambil memuji-Mu. Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.

الدليل: عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ : مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلاَ تَلاَ قُرْآناً، وَلاَ صَلَّى صَلاَةً إِلاَّ خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِساً، وَلاَ تَتْلُو قُرْآنًا، وَلاَ تُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ خَتَمْتَ بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ ؟
قَالَ: (( نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْراً خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرّاً كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ))([]).

Dalilnya, dari Aisyah beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- duduk di suatu tempat atau membaca al Qur’an ataupun melaksanakan shalat kecuali beliau akhiri dengan membaca beberapa kalimat”. Akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Ya Rasulullah, tidaklah anda duduk di suatu tempat, membaca al Qur’an ataupun mengerjakan shalat melainkan anda akhiri dengan beberapa kalimat?” Jawaban beliau, “Betul, barang siapa yang mengucapkan kebaikan maka dengan kalimat tersebut amal tadi akan dipatri dengan kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan kejelekan maka kalimat tersebut berfungsi untuk menghapus dosa. Itulah ucapan Subhanakallahumma wa bihamdika laa ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika. ”

) إسناده صحيح: أخرجه النسائي في “السنن الكبرى” (9/123/10067)، والطبراني في “الدعاء” (رقم1912)، والسمعاني في “أدب الإملاء والاستملاء” (ص75)، وابن ناصر الدين في “خاتمة توضيح المشتبه” (9/282).

Hadits di atas sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Nasai dalam Sunan Kubro 9/123/1006, Thabrani dalam ad Du-a no 1912, Sam’ani dalam Adab al Imla’ wa al Istimla’ hal 75 dan Ibnu Nashiruddin dalam Khatimah Taudhih al Musytabih 9/282.

وقال الحافظ ابن حجر في “النكت” (2/733): [إسناده صحيح]، وقال الشيخ الألباني في “الصحيحة” (7/495): [هذا إسنادٌ صحيحٌ أيضاً على شرط مسلم]، وقال الشيخ مُقْبِل الوادعي في “الجامع الصحيح مما ليس في الصحيحين” (2/12: [هذا حديثٌ صحيحٌ

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam an Nukat 2/733 mengatakan, “Sanadnya shahih”. Syaikh al Albani dalam Shahihah 7/495 mengatakan, “Sanad ini adalah sanad yang juga shahih menurut kriteria Muslim”. Syaikh Muqbil al Wadi’I dalam al Jami’ al Shahih mimma laisa fi al Shahihain 2/12 mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang shahih”.

وقد بَوَّبَ الإمام النسائي على هذا الحديث بقوله: [ما تُختم به تلاوة القرآن].

Hadits ini diberi judul bab oleh Nasai dengan judul “Bacaan penutup setelah membaca al Qur’an”.

Catatan:

Realita menunjukkan bahwa ketika banyak orang meninggalkan amalan yang sesuai dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka muncullah amalan yang mengada-ada.
Banyak orang mengganti bacaan yang sesuai sunah Nabi di atas dengan bacaan tashdiq yaitu ucapan Shadaqallahul ‘azhim yang tidak ada dalilnya.
Baca Selengkapnya

Berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan

PERTANYAAN

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

JAWABAN

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan - secara pasti - akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai'at, Ummu Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan... Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.
Baca Selengkapnya

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA ?

PERTANYAAN

Kami ingin mengetahui hukum boleh tidaknya laki-laki
memandang perempuan, malah lebih khusus lagi, perempuan
memandang laki-laki Sebab, kami pernah mendengar dari
seorang penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang
laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah
tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.

Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya,
Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah
menjawab, "janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada
laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya
seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1

Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah
berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada
Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap.
Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab.
Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya!"
Lalu kami berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah dia
tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab,
"Apakah kalian juga tuna netra?" Bukankah kalian dapat
melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2

Pertanyaan saya, bagaimana mungkin wanita tidak melihat
laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada
zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih
dan apa maksudnya?

Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat saya, dan saya
mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah
ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang
terus saja memperdebatkan masalah ini dengan tidak ada
ujungnya.

Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.

JAWABAN

Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan,
bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan,
sebagaimana firman-Nya:

"Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui"
(Yasin: 36)

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini,
manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis
laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik
antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah
untuk manusia.

Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk
Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya,
begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab,
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa
bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia
dapat makan minum secara leluasa.

Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi
(tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada
kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam
dan istrinya:

"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim."
(al-Baqarah: 35)

Maka hiduplah mereka didalam surga bersama-sama, kemudian
memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah
bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan
taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:

"Allah beffirman, Turunlah kamu berdua dari surga
bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)

Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu
membutuhkan perempuan, tidak dapat tidak; dan perempuan
selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak. "Sebagian
kamu adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas
keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.

Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki
akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat
perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah
keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan,
sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum
Nasrani. Mereka adakan ikatan yang sangat ketat terhadap
diri mereka dalam kependetaan ini yang tidak diakui oleh
fitrah yang sehat dan syariat yang lulus, sehingga mereka
lari dari perempuan, meskipun mahramnya sendiri, ibunya
sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas
diri mereka melakukan perkawinan, dan mereka menganggap
bahwa kehidupan yang ideal bagi orang beriman ialah
laki-laki yang tidak berhubungan dengan perempuan dan
perempuan yang tidak berhubungan dengan laki-laki, dalam
bentuk apa pun.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup
sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu
dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?

"Dan orang-orangyang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain..." (at-Taubah: 71)

Telah saya kemukakan pula pada bagian lain dari buku ini
bahwa Al-Qur'an telah menetapkan wanita - yang melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di
rumah dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman
bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang
dapat memberikan kesaksian kepadanya. Hukuman ini terjadi
sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya
hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)

Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan dengan
kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan -
bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing
dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif.
Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan
(perkawinan), dan reproduksi, sehingga terpeliharalah
kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.

Kita tidak boleh melupakan hakikat ini, ketika kita
membicarakan hubungan laki-laki dengan perempuan atau
perempuan dengan laki-laki. Kita tidak dapat menerima
pernyataan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya
lebih tangguh sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh
syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.

Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas secara satu persatu
antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan dan
perempuan terhadap laki-laki.

LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN

Bagian pertama dari pernyataan ini sudah kami bicarakan
dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya
memakai cadar, dan kami menguatkan pendapat jumhur ulama
yang menafsirkan firman Allah:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah
"wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka
dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat
kepadanya ataukah tidak?

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat
dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun
pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh
para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat
dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini
merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada
ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan." Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang
yang dilarang ini, yakni:

"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan
salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya
bertemu."

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa
tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan
(bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi
acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan
ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan,
seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya,
pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun
masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang
apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran
itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila
terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan
dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu
terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya
yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita
Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl
berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw.,
"Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw.
menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap
mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati
nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa,
baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam
kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat
(kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.

WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI

Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat
kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun
tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa
sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata:

"Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat
orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau
bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang
disebut aurat laki-laki?

Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain
dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat
seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini
ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk
aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut.
Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang
tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya,
walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu
bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah
saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan.
Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam
kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah
qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka
dengan sengaja membatalkan shalat.

Para fuqaha hadits berusaha mengompromikan antara
hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau
mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari
mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy
dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi
saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas ini lebih kuat
sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2
Baca Selengkapnya

Sabtu, 10 Juli 2010

PERANAN HAWA DALAM PENGUSIRAN ADAM DARI SURGA

PERTANYAAN

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ibu kita, Hawa, merupakan
penyebab diusirnya bapak kita, Adam, dari surga. Dialah yang
mendorong Adam untuk memakan buah terlarang, sehingga mereka
terusir dari surga dan menyebabkan penderitaan bagi kita
(anak cucunya) di dunia.

Pendapat ini dijadikan sandaran untuk merendahkan kedudukan
kaum wanita. Berlandaskan peristiwa tersebut, wanita sering
dituding sebagai cikal bakal datangnya segala musibah yang
terjadi di dunia, baik pada orang-orang dahulu maupun
sekarang.

Pertanyaan saya, apakah benar semua pendapat di atas? Adakah
dalam Islam dalil yang menunjukkan hal itu, atau
kebalikannya?

Kami harap Ustadz berkenan menjelaskannya. Semoga Allah
memberikan pahala kepada Ustadz dan menolong Ustadz.

JAWABAN

Pendapat yang ditanyakan saudara penanya, tentang kaum
wanita -seperti ibu kita Hawa - yang harus bertanggung jawab
atas kesengsaraan hidup manusia, dengan mengatakan bahwa
Hawa yang menjerurnuskan Adam untuk memakan buah terlarang
... dan seterusnya, tidak diragukan lagi adalah pendapat
yang tidak islami.

Sumber pendapat ini ialah Kitabb Taurat dengan segala bagian
dan tambahannya. Ini merupakan pendapat yang diimani oleh
kaum Yahudi dan Nasrani, serta sering menjadi bahan
referensi bagi para pemikir, penyair, dan penulis mereka.
Bahkan tidak sedikit (dan ini sangat disayangkan) penulis
muslim yang bertaklid buta dengan pendapat tersebut.

Namun, bagi orang yang membaca kisah Adam dalam Al-Qur'an
yang ayat-ayatnya (mengenai kisah tersebut) terhimpun dalam
beberapa surat, tidak akan bertaklid buta seperti itu. Ia
akan menangkap secara jelas fakta-fakta seperti berikut ini.

1. Taklif ilahi untuk tidak memakan buah terlarang itu
ditujukan kepada Adam dan Hawa (bukan Adam saja). Allah
berfirman:

"Dan Kami berfirman, 'Hai Adam, diamilah oleh kamu dan
istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah
kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk
orang-orang zalim.'" (al-Baqarah: 35)

2. Bahwa yang mendorong keduanya dan menyesatkan keduanya
dengan tipu daya, bujuk rayu, dan sumpah palsu ialah setan,
sebagaimana difirmankan Allah:

"Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan
dikeluarkan dari keadaan semula ..." (al-Baqarah: 36)

Dalam surat lain terdapat keterangan yang rinci mengenai
tipu daya dan bujuk rayu setan:

"Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup bagi mereka
yaitu auratnya, dan setan berkata, Tuhan kamu tidak
melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu
berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangyang
kekal (dalam surga).' Dan dia (setan) bersumpah kepada
keduanya, 'Sesungguhnya saya termasuk orangyang memberi
nasihat kepada kamu berdua.' Maka setan membujuk keduanya
(untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya
telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya
aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun surga. Kemudian Tuhan rnereka menyeru mereka,
'Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu
berdua?' Keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami, kami telah
menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
termasuk orang-orangyang merugi.'" (al-A'raf: 20-23)

Dalam surat Thaha diceritakan bahwa Adam a.s. yang pertama
kali diminta pertanggungjawaban tentang pelanggaran itu,
bukan Hawa. Karena itu, peringatan dari Allah tersebut
ditujukan kepada Adam, sebagai prinsip dan secara khusus.
Kekurangan itu dinisbatkan kepada Adam, dan yang
dipersalahkan - karena pelanggaran itu - pun adalah Adam.
Meskipun istrinya bersama-sama dengannya ikut melakukan
pelanggaran, namun petunjuk ayat-ayat itu mengatakan bahwa
peranan Hawa tidak seperti peranan Adam, dan seakan-akan
Hawa makan dan melanggar itu karena mengikuti Adam.

Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu,
maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati
padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami
berkata kepada malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam,' maka
mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka kami
berkata, 'Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh
bagimu dan bagõ istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai
ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan
kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan
didalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu
tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas
matahari didalamnya. 'Kemudian setan membisikkan pikiran
jahat kepadanya (Adam) dengan berkata, 'Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak
akan binasa?' Maka keduanya memakan dari buah pohon itu,
lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga,
dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesalah ia. Kemudian
Tuhannya memilihnya. Maka dia menerima tobatnya dan
memberinya petunjuk." (Thaha: 115-122)

3. Al-Qur'an telah menegaskan bahwa Adam diciptakan oleh
Allah untuk suatu tugas yang sudah ditentukan sebelum
diciptakannya. Para malaikat pada waktu itu sangat ingin
mengetahui tugas tersebut, bahkan mereka mengira bahwa
mereka lebih layak mengemban itu daripada Adam. Hal ini
telah disebutkan dalam beberapa ayat surat al-Baqarah yang
disebutkan Allah SWT sebelum menyebutkan ayat-ayat yang
membicarakan bertempat tinggalnya Adam dalam surga dan
memakan buah terlarang.

Firman Allah:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi.' Mereka berkata, 'Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan
befirman, 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.' Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada para malaikat
lalu berfirman, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu memang orang-orang yang benar?' Mereka menjawab,
'Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari
apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.' Allah
berfirman, 'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini.' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu, Allah berfirman, 'Bukankah sudah
Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan
apa yang kamu sembunyikan?'" (al-Baqarah: 30-33)

Disebutkan pula dalam hadits sahih bahwa Adam dan Musa a.s.
bertemu di alam gaib. Musa hendak menimpakan kesalahan
kepada Adam berkenaan dengan beban yang ditanggung manusia
karena kesalahan Adam yang memakan buah terlarang itu
(lantas dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi
sehingga menanggung beban kehidupan seperti yang mereka
alami; penj.) . Kemudian Adam membantah Musa dan mematahkan
argumentasinya dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi itu
sudah merupakan ketentuan ilahi sebelum ia diciptakan, untuk
memakmurkan bumi, dan bahwa Musa juga mendapati ketentuan
ini tercantum dalam Taurat.

Hadits ini memberikan dua pengertian kepada kita. Pertama,
bahwa Musa menghadapkan celaan itu kepada Adam, bukan kepada
Hawa. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam
Taurat (sekarang) bahwa Hawa yang merayu Adam untuk memakan
buah terlarang itu tidak benar. Itu adalah perubahan yang
dimasukkan orang ke dalam Taurat.

Kedua, bahwa diturunkannya Adam dan anak cucunya ke bumi
sudah merupakan ketentuan ilahi dalam takdir-Nya yang luhur
dan telah ditulis oleh kalam ilahi dalam Ummul Kitab (Lauh
al-Mahfuzh), untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
melalui risalah-Nya di atas planet ini, sebagaimana yang
dikehendaki Allah, sedangkan apa yang dikehendaki Allah
pasti terjadi.

4. Bahwa surga (jannah), tempat Adam diperintahkan untuk
berdiam di dalamnya dan memakan buah-buahannya, kecuali satu
pohon, dan disuruh hengkang dari sana karena melanggar
larangan (memakan buah tersebut), tidak dapat dipastikan
bahwa surga tersebut adalah surga yang disediakan Allah
untuk orang-orang muttaqin di akhirat kelak. Surga yang
dimaksud belum tentu surga yang di dalamnya Allah
menciptakan sesuatu (kenikmatan-kenikmatan) yang belum
pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan
tidak seperti yang terlintas dalam hati manusia.

Para ulama berbeda pendapat mengenai "surga" Adam ini,
apakah merupakan surga yang dijanjikan kepada orang-orang
mukmin sebagai pahala mereka, ataukah sebuah "jannah"
(taman/kebun) dari kebun-kebun dunia, seperti firman Allah:

"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah)
sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun
(jannah), ketika mereka bersumpah bahwa mereka
sungguh-sungguh akan memetik (hasil)-nya di pagi hari."
(al-Qalam: 17)

Dalam surat lain Allah berfirman:

"Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang
laki-laki. Kami jadikan bagi seorang diantara keduanya (yang
kafir) dua buah kebun (jannatain) anggur dan Kami kelilingi
kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan diantara kedua
kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu
menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya
sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua
kebun itu." (al-Kahfi: 32-33)

Ibnul Qayyim menyebutkan kedua pendapat tersebut dengan
dalil-dalilnya masing-masing dalam kitabnya Miftahu Daaris
Sa'adah. Silakan membacanya siapa yang ingin mengetahui
lebih jauh masalah ini. Wallahu a'lam.
Baca Selengkapnya

HUKUM MENONTON TELEVISI

PERTANYAAN

Saya seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun dan
mempunyai beberapa orang adik. Setiap hari adik-adik saya
pergi ke rumah tetangga untuk menonton televisi. Tetapi
ketika saya meminta kepada ayah untuk membelikan kami
televisi, beliau berkata, "Televisi itu haram." Beliau tidak
memperbolehkan saya memasukkan televisi ke rumah.

Saya mohon Ustadz berkenan memberikan bimbingan kepada kami
mengenai masalah ini.

JAWABAN

Saya telah membicarakan hukum televisi ini dalam pembahasan
terdahulu. Hal itu saya sampaikan pada kesempatan pertama,
dan saya kemukakan kepada para pemirsa melalui acara "Hadyul
Islam" di televisi Qathar.

Pada waktu itu saya katakan bahwa televisi sama halnya
seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah
alat atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan
tujuan sehingga Anda tidak dapat mengatakannya baik atau
buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan
dan materi acaranya. Seperti halnya pedang, di tangan
mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan
perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan
tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut
penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai tujuan
dan maksudnya.

Televisi dapat saja menjadi media pembangunan dan
pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan.
Demikian pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya.
Tetapi di sisi lain, televisi dapat juga menjadi alat
penghancur dan perusak. Semua itu kembali kepada materi
acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.

Dapat saya katakan bahwa media-media ini mengandung
kemungkinan baik, buruk, halal, dan haram. Seperti saya
katakan sejak semula bahwa seorang muslim hendaknya dapat
mengendalikan diri terhadap media-media seperti ini,
sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya
berisi kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan.
Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan
berita-berita dan acara-acara keagamaan, pendidikan,
pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima (tidak
mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal
ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari
suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat
memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang
mereka saksikan.

Namun begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh
ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya
merusak akhlak. Karena didalamnya mengandung unsur-unsur
budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan aqidah Islam
yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap
gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk.
Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan,
dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta
terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas
keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat
rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis
film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong,
dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film
seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral
yang rendah.

Secara objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak
luput dari sisi negatif seperti ini, tidak sunyi dari
adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan
tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah
menjadi kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri
peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak belajar berdansa
adalah wanita yang tidak modern. Apakah haram jika seorang
pemuda duduk berdua dengan seorang gadis sekadar untuk
bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"

Inilah yang menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya
dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya melarang
memasukkan media-media seperti televisi dan sebagainya ke
rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang
ditimbulkannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya,
dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan sudah tentu
yang demikian adalah haram. Lebih-lebih media tersebut
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan
pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu
yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.

Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi
dengan hati-hati, ketika keburukan dan kerusakan sudah
demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata, dan
tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi dapat
menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi positif
dan manfaatnya juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan
paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah
sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, yaitu
berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang buruk di
antara film bentuk tayangan sejenisnya.

Hal ini dapat dihindari oleh seseorang dengan jalan
mematikan radio atau televisinya, menutup surat kabar dan
majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang,
dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita dan
tulisan yang buruk.

Manusia adalah mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat
menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat
mengendalikan dirinya atau keluarganya, maka langkah yang
lebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke
dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).

Inilah pendapat saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang
Maha Memberi Petunjuk dan Memberi Taufiq ke jalan yang
lurus.

Kini tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan
tanggung jawab produser serta seluruh pihak yang berkaitan
dengan media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun,
Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap
semua itu. Maka hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak
sekarang.
Baca Selengkapnya

MISTERI ZULQARNAIN

Didalam Al-Qur'an diterangkan masalah Dzulqarnain, yaitu:

"Hingga apabila dia telah sampai pada tempat terbenam
matahari, dia pun melihat matahari terbenam kedalam laut
yang berlumpur hitam, dan dia mendapati disitu (di laut itu)
segolongan ummat. Kami berkata, 'Hai Dzulqarnain! Kamu boleh
menyiksa mereka dan boleh berbuat kebaikan terhadap
mereka'." (Q.s. Al-Kahfi: 86).

Apakah yang dimaksud dengan matahari yang terbenam dalam
mata air yang hitam?

Siapakah orang-orang yang didapati oleh Dzulkarnain?

Jawab:

Kisah Dzulqarnain telah diterangkan dalam Al-Qur'an pada
Surat Al-Kahfi, tetapi Al-Qur'an tidak menerangkan siapakah
sebenarnya Dzulqarnain, siapakah orang-orang yang
didapatinya, dan dimana tempat terbenam dan terbitnya
matahari? Semua itu tidak diterangkan dalam Al-Qur'an secara
rinci dan jelas, baik mengenai nama maupun lokasinya, hal
ini mengandung hikmah dan hanya Allahlah yang mengetahui.

Tujuan dari kisah yang ada dalam Al-Qur'an, baik pada Surat
Al-Kahfi maupun lainnya, bukan sekadar memberi tahu hal-hal
yang berkaitan dengan sejarah dan kejadiannya, tetapi tujuan
utamanya ialah sebagai contoh dan pelajaran bagi manusia.
Sebagaimana Allah swt. dalam firman-Nya:

"Sesungguhnyapada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang berakal." (Q.s.Yusuf: 111)

Kisah Dzulqarnain, mengandung contoh seorang raja saleh yang
diberi oleh Allah kekuasaan di bumi, yang meliputi Timur dan
Barat. Semua manusia dan penguasa negara tunduk atas
kekuasaannya, dia tetap pada pendiriannya sebagai seorang
yang saleh, taat dan bertakwa. Sebagaimana diterangkan di
bawah ini:

"Berkata Dzulqarnain, 'Adapun orang yang menganiaya, maka
kelak Kami akan mengazabnya, kemudian dia dikembalikan
kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang
tiada taranya'." (Q.s. Al-Kahfi: 87).

"Adapun orang yang beriman dan orang beramal saleh, maka
baginya pahala yang terbaik sebagai balasan ..." (Q.s.
Al-Kahfi: 88).

Jadi, apa yang diterangkan dalam Al-Qur'an, hanyalah
mengenai perginya Dzulqarnain ke arah terbenamnya matahari,
sehingga berada pada tempat yang paling jauh. Di situ
diterangkan bahwa dia telah melihat matahari seakan-akan
terbenam di mata air tersebut, saat terbenamnya. Sebenarnya,
matahari itu tidak terbenam di laut, tetapi hanya bagi
penglihatan kita saja yang seakan tampak matahari itu
terbenam (jatuh) ke laut. Padahal matahari itu terbit
menerangi wilayah (bangsa) lain.

Maksud dari ayat tersebut, bahwa Dzulqarnain telah sampai ke
tempat paling jauh, seperti halnya matahari terbenam di mata
air yang kotor (berlumpur) , yang disebutkan diatas. Begitu
juga maksud dari ayat tersebut, Dzulqarnain telah sampai di
tempat terjauh, yaitu terbitnya matahari dan sampai bertemu
pula dengan kaum Ya'juj dan Ma'juj.

Dalam keadaan demikian, Dzulqarnain tetap pada pendiriannya
semula, yaitu sebagai seorang raja yang adil dan kuat
imannya, yang tidak dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang
dikuasai dan kekuasaannya diperkuatnya dengan misalnya
membangun bendungan yang besar, yang terdiri dari
bahan-bahan besi dan sebagainya. Di dunia ini beliau selalu
berkata dan mengakui, bahwa segala yang diperolehnya sebagai
karunia dari Allah dan rahmat-Nya.

Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an:

"Dzulqarnain berkata, 'Ini (bendungan atau benteng) adalah
suatu rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah tiba janji
Tuhanku, Dia pun menjadikannya rata dengan bumi (hancur
lebur); dan janji Tuhanku itu adalah benar." (Q.s. Al-Kahfi:
98).

Tujuan utama dari Al-Qur'an dalam uraian di atas ialah
sebagai contoh, dimana seorang raja saleh yang diberi
kekuasaan yang besar pada kesempatan yang luar biasa dan,
kekuasaannya mencakup ke seluruh penjuru dunia di sekitar
terbit dan terbenamnya matahari. Dalam keadaan demikian,
Dzulqarnain tetap dalam kesalehan dan istiqamahnya tidak
berubah.

Firman Allah swt.:

"Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan di bumi dan Kami
telah memberikan kepadanya (Dzulqarnain) jalan (untuk
mencapai) segala sesuatu." (Q.s. Al-Kahfi: 84).

Mengenai rincian dari masalah tersebut tidak diterangkan
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, misalnya waktu, tempat dan
kaumnya, siapa sebenarnya mereka itu. Karena tidak ada
manfaatnya, maka sebaiknya kami berhenti pada hal-hal yang
diterangkan saja. Jika bermanfaat, tentu hal-hal itu
diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw.
Baca Selengkapnya

Kamis, 08 Juli 2010

FITNAH DAN SUARA WANITA

Sebagian orang berprasangka buruk terhadap wanita.
Mereka menganggap wanita sebagai sumber segala bencana
dan fitnah. Jika terjadi suatu bencana, mereka berkata,
"Periksalah kaum wanita!" Bahkan ada pula yang
berkomentar, "Wanita merupakan sebab terjadinya
penderitaan manusia sejak zaman bapak manusia (Adam)
hingga sekarang, karena wanitalah yang mendorong Adam
untuk memakan buah terlarang hingga dikeluarkannya dari
surga dan terjadilah penderitaan dan kesengsaraan atas
dirinya dan diri kita sekarang."

Anehnya, mereka juga mengemukakan dalil-dalil agama
untuk menguatkan pendapatnya itu, yang kadang-kadang
tidak sahih, dan adakalanya - meskipun sahih - mereka
pahami secara tidak benar, seperti terhadap
hadits-hadits yang berisi peringatan terhadap fitnah
wanita, misalnya sabda Rasulullah saw:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang
lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah)
perempuan."

Apakah maksud hadits tersebut dan hadits-hadits lain
yang seperti itu? Hadits-hadits tersebut kadang-kadang
dibawakan oleh para penceramah dan khatib, sehingga
dijadikan alat oleh suatu kaum untuk menjelek-jelekkan
kaum wanita dan oleh sebagian lagi untuk
menjelek-jelekkan Islam. Mereka menuduh Islam itu dusta
(palsu) karena bersikap keras terhadap wanita dan
kadang-kadang bersikap zalim.

Mereka juga mengatakan, "Sesungguhnya suara wanita -
sebagaimana wajahnya - adalah aurat. Wanita dikurung
dalam rumah sampai meninggal dunia."

Kami yakin bahwa tidak ada agama seperti Islam, yang
menyadarkan kaum wanita, melindunginya, memuliakannya,
dan memberikan hak-hak kepadanya. Namun, kami tidak
memiliki penjelasan dan dalil-dalil sebagai yang Ustadz
miliki. Karena itu, kami mengharap ustadz dapat
menjelaskan makna dan maksud hadits-hadits ini kepada
orang-orang yang tidak mengerti Islam atau berpura-pura
tidak mengerti.

Semoga Allah menambah petunjuk dan taufik-Nya untuk
Ustadz dan menebar manfaat ilmu-Nya melalui Ustadz.
Amin.

JAWABAN

Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama
bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan
haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia.
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan
memeliharanya sebagai anak perempuan.

Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan
memeliharanya sebagai istri. Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai ibu. Dan
Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan
memelihara serta melindunginya sebagai anggota
masyarakat.

Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi
tugas (taklif) dan tanggung jawab yang utuh seperti
halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala
atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula
diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk
laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan
istrinya (lihat kembali surat al-Baqarah: 35)

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam,
baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah sahihah, yang
mengatakan bahwa wanita (Hawa; penj.) yang menjadi
penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan
menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak,
sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama.
Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adamlah orang pertama
yang dimintai pertanggungjawaban (lihat kembali surat
Thaha: 115-122).

Namun, sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang
merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi
hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang
telah ditetapkan syara'. Padahal, syari'at Islam
sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang
sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan,
sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai
ibu.

Yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan wanita
tersebut sering disampaikan dengan mengatas namakan
agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu.
Orang-orang yang bersikap demikian kerap menisbatkan
pendapatnya dengan hadits Nabi saw. yang berbunyi:
"Bermusyawarahlah dengan kaum wanita kemudian
langgarlah (selisihlah)."

Hadits ini sebenarnya palsu (maudhu'). Tidak ada
nilainya sama sekali serta tidak ada bobotnya ditinjau
dari segi ilmu (hadits).

Yang benar, Nabi saw. pernah bermusyawarah dengan
istrinya, Ummu Salamah, dalam satu urusan penting
mengenai umat. Lalu Ummu Salamah mengemukakan
pemikirannya, dan Rasulullah pun menerimanya dengan
rela serta sadar, dan ternyata dalam pemikiran Ummu
Salamah terdapat kebaikan dan berkah.

Mereka, yang merendahkan wanita itu, juga sering
menisbatkan kepada perkataan Ali bin Abi Thalib bahwa
"Wanita itu jelek segala-galanya, dan segala kejelekan
itu berpangkal dari wanita."

Perkataan ini tidak dapat diterima sama sekali; ia
bukan dari logika Islam, dan bukan dari nash.1

Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu,
sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan muslim dengan
muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman,
wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan
seterusnya, sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.

Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat,
karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada
laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab, suara
dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah
dan membangkitkan syahwat.

Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan
dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.

Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan
laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw. dari
balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu
mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat
daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa
perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak
diharamkan kepada selain mereka? Namun demikian, Allah
berfirman:

"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir
..."(al-Ahzab: 53)

Permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu
sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin
(ibunya kaum mukmin: istri-istri Nabi). Mereka biasa
memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepada
mereka, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang
ingin mengambil hadits mereka.

Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi saw.
dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan
melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan
pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar
ketika Umar sedang berpidato di atas mimbar. Atas
sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya, bahkan ia
mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui
kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang
(bisa) lebih mengerti daripada Umar."

Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang
syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib; ed.) yang berkata
kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an:

"... Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia
memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum
(ternak) kami ..." (al-Qashash: 25)

Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya
juga berkata kepada Musa ketika Musa bertanya kepada
mereka:

"... Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut usianya." (al-Qashash: 23)

Selanjutnya, Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita
percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s.
dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan
kaumnya yang laki-laki.

Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum
kita menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak
menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan
untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'an
diistilahkan dengan al-khudhu bil-qaul
(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah:

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)

Allah melarang khudhu, yakni cara bicara yang bisa
membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya
"berpenyakit." Namun, dengan ini bukan berarti Allah
melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap
laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas:

"Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami
hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka
sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari
bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang
lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah)
wanita."

Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits
diatas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan
merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan
manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit,
kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu
masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah
(diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji
dengan musibah. Allah berfirman:

"... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ...."
(al-Anbiya: 35)

Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak - yang
merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya -
sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana
firman Allah:

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu)..." (at-Taghabun: 15)

"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan ..." (al-Anfal: 28)

Fitnah harta dan anak-anak itu ialah kadang-kadang
harta atau anak-anak melalaikan manusia dari kewajiban
kepada Tuhannya dan melupakan akhirat. Dalam hal ini
Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah
orang-orang yang rugi." (al-Munaafiqun: 9)

Sebagaimana dikhawatirkan manusia akan terfitnah oleh
harta dan anak-anak, mereka pun dikhawatirkan terfitnah
oleh wanita, terfitnah oleh istri-istri mereka yang
menghambat dan menghalangi mereka dari perjuangan, dan
menyibukkan mereka dengan kepentingan-kepentingan
khusus (pribadi/keluarga) dan melalaikan mereka dari
kepentingan-kepentingan umum. Mengenai hal ini
Al-Qur'an memperingatkan:

"Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka ..."
(at-Taghabun: 14)

Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi
alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta
menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini
merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat
menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan
menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.

Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita disini
seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap
kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup,
sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih:

"Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas
kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan
(kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan
untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu
memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu
berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa
karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya."
(Muttafaq alaih dari hadits Amr bin Auf al-Anshari)

Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw.
hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru
memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu,
dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran. Juga
tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya
mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena
beliau sendiri pernah bersabda:

"Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik" (HR.
Ahmad 4:197 dan 202, dan Hakim dalam al-Mustadrak 2:2,
dan Hakim mengesahkannya menurut syarat Muslim, dan
komentar Hakim ini disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dengan hadits diatas, Rasulullah saw. hanya menyalakan
lampu merah bagi pribadi dan masyarakat muslim di jalan
(kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka
tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa
mereka sadari.

Catatan kaki:

1 Perkataan ini sudah kami sangkal dalam
Fatwa-fatwa Kontemporer jilid I ini
Baca Selengkapnya