Sabtu, 24 Desember 2011

Mandi Sebelum Shalat Ied

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari





Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushallah"[1]

Imam Said Ibnul Musayyib berkata :

"Artinya : Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [2].

Aku katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian.

Berkata Imam Ibnu Qudamah :

"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir" [Al-Mughni 2/370]

Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) [3]


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih
[2].Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]
[3]. Ini diriwayatkan dalam 'Sunan Ibnu Majah' 1315 dan dalam isnadnya ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli hadits yang menganggapnya dusta (kadzab).

Sumber : Al Manhaj.or.id
Baca Selengkapnya

Sabtu, 17 Desember 2011

Waktu Pelaksanaan Shalat Ied

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari





Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih"[1]

Ini riwayat yang paling shahih[2] dalam bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.

Berkata Ibnul Qayyim :

"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit" [Zadul Ma'ad 1/442]

Shiddiq Hasan Khan menyatakan :

"Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari" [Al-Mau'idhah Al-Hasanah 43,44]

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi :

Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka" [Minhajul Muslim 278]

Peringatan :
Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.

Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya"


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, hal. 23-24, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note.
[1]. Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah 2/331
[2]. Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalam shahihnya 2/456 dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135, Ibnu Majah 1317, Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih

Sumber : almanhaj.or.id
Baca Selengkapnya

Sabtu, 10 Desember 2011

Hukum Sholat Ied

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari




Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

"Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[1] dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Ied termasuk syi'ar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir di dalamnya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Ied hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]

Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam "Sailul Jarar" (1/315).[2]

"Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid.

Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[3]

Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita".

Kemudian beliau Rahimahullah berkata :

"Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Ied jatuh pada hari Jum'at -pen)[4]. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama'ah sejak disyari'atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Ied"[5]

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" (hal 344) setelah menyebutkan hadits Ummu Athiyah :

"Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar sunnah ......"


[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii As Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
_________
Foote Note
[1]. Lihat "Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya
[2]. Shiddiq Hasan Khan dalam "Al-Mau'idhah Al-Hasanah" 42-43
[3]. Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981) dan (1652). Muslim (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa'i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad (5/84 dan 85).
[4]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id dengan hai Jum'at- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : (1 hadits) "Artinya : Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah tercukupi dari shalat Jum'at ...." [Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat "Al-Mughni" (2/358) dan "Majmu Al-Fatawa" (24/212).
[5]. Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat "Nailul Authar" (3/382-383) dan "Ar-Raudlah An-Nadiyah" (1/142).

Sumber : www.almanhaj.or.id
Baca Selengkapnya

Minggu, 04 Desember 2011

Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Berpijak Berdasarkan Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan Pemahaman Ulama Salaf

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
Bagian Terakhir dari Enam Tulisan [6/6]





KAIDAH KEEMPAT.

BERPIJAK BERDASARKAN AL-KITAB DAN AS-SUNNAH DENGAN MENGUTAMAKAN PEMAHAMAN ULAMA SALAF DAN MENJADIKAN AKAL MEREKA TUNDUK KEPADA NASH-NASH KEDUANYA
Kaidah ini memiliki peran besar dalam pokok-pokok manhaj salaf. Inilah kaidah yang menjadi pemisah antara Ahlu Sunnah dengan Ahlul Bid'ah, walaupun semuanya mengaku mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.

Pengikut manhaj ahlul-kalam berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj sufi juga berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj salaf pun berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah".

Para pengikut manhaj ahlul-kalam memang mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, akan tetapi mereka menjadikan nash-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits tunduk pada tuntutan akal pikiran mereka. Dengan demikian mereka sebenarnya telah meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Para pengikut manhaj sufiyah juga mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah, namun mereka menjadikan nash-nash keduanya tunduk kepada pemahaman-pemahaman tertentu dalam kaitannya dengan penafsiran tentang hidup dan zuhud, kemudian berpaling dari kenikmatan-kenikmatan hidup. Dengan demikian mereka pun meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.

Adapun para pengikut manhaj salaf, merekalah orang-orang yang benar-benar berpijak berdasar Al-Kitab dan As-Sunnah dengan mengutamakan pemahaman ulama salaf dan menjadikan akal mereka tunduk kepada nash-nash keduanya. Mereka menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan tuntunan Al-Kitab dan As-Sunnah dan membatasi pandangan (teori) mereka tentang hidup serta kenikmatannya selaras dengan pengarahan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Jadi merekalah orang-orang yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, baik aqidah, manhaj, syari'ah maupun perilakunya. Dalil dari standard ini telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Berikut ini adalah penjelasan tentang manhaj shahabat yang telah mendapat ridha dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Al-Amin Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pertama kali dalam menetapkan manhaj shahabat tersebut, kita mulai dengan firman Allah Tabaraka wa Ta'ala tentang para shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang beriman dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka ; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud ......" [Al-Fath : 29]

"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. itulah kemenangan yang besar ". [At-Taubah : 100].

Jadi mereka ridha terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka berupa Al-Qur'an dan berupa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah pun telah ridha kepada mereka disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Yakni, berupa ibadah dan ketaatan yang hanya ditujukan kepada Allah semata, ittiba' kepada Rasul-Nya yang menyebarluaskan dakwah Islamiyyah serta penyebaran sunnah nabawiyyah dan pengamalannya.

Wallahu 'alam bish-shawaab


[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
Baca Selengkapnya

Sabtu, 26 November 2011

Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Mencari Pembuktian Berdasarkan Ayat Al-Qur'an Dan Hadits Nabi

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
Bagian Kelima dari Enam Tulisan [5/6]





KAIDAH KETIGA

MENCARI PEMBUKTIAN BERDASARKAN AYAT-AYAT AL-QUR'AN DAN HADITS-HADITS NABI
Mencari Pembuktian Menurut Pola-Pola Al-Qur'an.
Sesungguhnya Al-Qur'an Al-'Azhim mempunyai pola tersendiri yang khusus untuk mencari pembuktian. Barang siapa yang menempuh pola ini, niscaya ia sampai kepada kebenaran hakiki yang meyakinkan. Diantara pola Al-Qur'an yang paling utama dalam mencari pembuktian ialah memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada langit dan bumi, dan upaya menyingkap rahasia-rahasia mahluk.

Melalui ayat-ayat-Nya yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan agar manusia berpikir tentang penciptaan langit dan bumi. Di antara firman Allah :

"Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir " [Al-Baqarah : 219].

"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri dan duduk, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api Neraka". [Ali-Imran : 191].

"Artinya : Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy dan menundukkan matahari dan bulan masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (mahluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) supaya kamu meyakini pertemuanmu dengan Rabb-mu. Dan Dialah Rabb yang membentangkan bumi, menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal". [Ar-Ra'du : 2-4].

"Artinya : Katakanlah :"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..." [Yunus : 101].

Ayat-ayat yang memerintahkan untuk memikirkan kejadian alam semesta ini banyak. Ayat-ayat yang akan membangkitkan akal, menggerakkan pikiran, mengundang perhatian dan memotivasi perenungan serta penghayatan.

Semua itu termasuk wasilah (sarana) terkuat untuk sampai pada pemahaman terhadap hakikat kebenaran hingga hasilnya akan memperkokoh iman dan menanamkan keyakinan yang dalam terhadap Al-Khalik yang maha Agung. Sayangnya pola Al-Qur'an ini diharamkan oleh pengikut manhaj ahlul-kalam. Mereka tidak mau diikat dengan pola-pola Al-Qur'an dalam memperkokoh keimanan dan memantapkan keyakinan.

Sesungguhnya, berkaitan dengan cara memahami masalah aqidah, dalam hal ini terdapat dua manhaj yang saling berlawanan :

Manhaj Qur'ani Nabawi, yaitu manhaj-nya para Rasul dan para Nabi.
Manhaj Falsafi 'Aqlani (memperturutkan filsafat dan akal), yaitu manhaj-nya kaum filosof dan kaum ahlu kalam.

Manhaj Qur'ani -sebagaimana dapat dilihat- akan menghentikan akal manusia pada hakikat kebenaran itu tuntas dan tidak akan guncang keraguan sedikitpun setelah datangnya iman dan pembenaran. Manhaj ini dengan segala keluhuran serta kekuatannya adalah manhaj yang mudah, memberikan jaminan hasil dan juga akan menambah akal semakin terbuka wawasan serta daya pandangnya.

Sedangkan manhaj falsafi adalah manhaj yang mempunyai jalan berliku-liku yang ruwet, memusingkan akal dengan persoalan-persoalan yang membingungkan, mebebani pemikiran dengan analogi-analogi logika yang membosankan dan amat potensial untuk menjerumuskan akal pikiran kedalam lubang-lubang kesalahan yang merupakan jebakan yang dipasang oleh para penentangnya.

Oleh sebab itulah, persoalan aqidah bagi kaum filosof dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka dari kalangan ahlu kalam, merupakan sebuah kebingungan yang menimbulkan sangkaan-sangkaan, serta membingungkan akal pikiran. Persoalan-persoalan aqidah yang berdasarkan manhaj mereka itu tidak memberikan ilmu dan tidak menambahkan keyakinan apapun. Ia adalah sebuah jalan antara al-haq dengan kebatilan yang bercampur aduk di dalamnya.

Adapun pola-pola ahlul kalam, sebenarnya bersumber dari pola-pola filsafat, walaupun dalam prilakunya agak berbeda, sebab kaum filosof tidak mempercayai wahyu dan kenabian, sehingga mereka benar-benar bersandar pada akalnya semata. Sedangkan ahlul kalam, mereka masih mempercayai wahyu dan kenabian, hanya saja mereka berupaya untuk menjadikan wahyu tunduk pada akal. Mereka tidak mau menundukkan akalnya kepada nash-nash wahyu.

Menurut ahlul kalam, landasan utama dalam polanya adalah mendahulukan akal atas syara'. Oleh karena itulah mereka berkonsentrasi untuk menta'wilkan nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut kemauan akal mereka dengan bertumpu pada debat dan logika.

Jadi cara-cara mereka mirif kaum filosof. Cara-cara itu tidak akan memberikan jaminan hasil (yang benar -red) disebabkan berbaurnya khayalan-khayalan akal dalam berbagai pembahasan serta kajian permasalahannya. Dengan demikian, sebagai (hasil) akhirnya adalah kebigungan menghadapi tantangan keragu-raguan dan sama sekali tidak layak untuk memutuskan permasalahan iman dan i'tiqaad.

Adapun pola kenabian, adalah pola Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi, dengan uslub (cara pemaparan) yang sedikit berbeda dilihat dari segi kemudahan dan banyaknya. Namun, memiliki kekuatan petunjuk, kekokohan hujjah dan kedalaman keyakinan. Pola kenabian ini mempunyai pengaruh nyata dan jelas dalam memahamkan aqidah yang benar, dalam menyingkirkan setiap syubhat yang mengacaukan pemikiran disebabkan pengaruh bisikan-bisikan setan, dalam menanamkan keyakinan pada jiwa dan dalam menyebarluaskan sinar keimanan ke dalam relung-relung hati.



[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
Baca Selengkapnya

Sabtu, 19 November 2011

Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Ta'wil Bisa Dibenarkan Bila Maksudnya Tafsir

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
Bagian Keempat dari Enam Tulisan [4/6]




TA'WIL BISA DIBENARKAN BILA MAKSUDNYA TAFSIR
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan[1] : "Sesungguhnya lafal ta'wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta'wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.

Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur'an terdahulu memahami lafal ta'wil dengan maksud tafsir. Ta'wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur'an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur'an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : "Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-'Ilmi) jika memahami tentang ta'wil, maka maksud ta'wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan Ibnu Abbas padanya".

Adapun lafal ta'wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah "hakikat", yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta'ala, misalnya ta'wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta'wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta'wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta'ala sendiri.

Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :"Istiwa' telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)". Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa'. Inilah yang disebut ta'wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.

Sedangkan perkataan mereka "Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta'wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya".

Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula [2] : " ...... Sesungguhnya yang dimaksud dengan lafal ta'wil dalam Al-Qur'an ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu sama dengan makna yang ditunjukan dan dipahami dari zhahirnya lafadz".

Terkadang pula yang dimaksud dengan ta'wil adalah penafsiran dari suatu perkara serta penjelasan maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama dengan lafal perkataan tadi. Dan istillah ta'wil dengan makna kedua inilah yang menjadi istilahnya mufassir terdahulu seperti Mujahid dan lain-lain. Tetapi istilah ta'wil kadang juga dimaksudkan dengan pengalihan suatu lafal dari kandungan makna yang rajih menuju kemungkinan makna yang marjuh disebabkan ada suatu dalil yang mengiringinya.

Pengkhususan istilah ta'wil dengan makna terakhir ini hanya ada pada pembicaraan kaum muta'akhirin. Adapun para shahabat, tabi'in dan semua imam-imam kaum muslimin, seperti imam yang empat dan imam yang lain, mereka tidak menghususkan istilah ta'wil tersebut untuk makna yang terakhir itu, tetapi yang mereka kehendaki dengan ta'wil adalah makna yang petama dan kedua.

Oleh karena itulah, sekelompok orang-orang muta'akhirin berprasangka bahwa lafal (kalimat) ta'wil pada Al-Qur'an atau Hadits hanya bermakna khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti dalam firman Allah :

"Artinya : ...Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Rabb kami". [Ali-Imran : 7].

Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti) pada ayat diatas adalah pada :

"Artinya : .. Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah".

Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut, mereka terjebak dalam keyakinan bahwa ayat-ayat seperti di atas dan hadits-hadits Nabi, mempunyai makna-makna yang berlainan dengan makna yang langsung bisa dipahami dari lafal nash tersebut. Sementara itu makna yang dikehendaki dari nash tersebut tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah saja. Bahkan Malaikat yang turun membawa Al-Qur'an yakni Jibril, dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak bisa mengetahui makna-maknanya. Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat serta para tabi'in.

Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca firman-firman Allah berikut :

"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas 'Arsy". [Thaha : 5].

"Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik". [Faathir : 10].

"Artinya : .... tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka". [Al-Maidah : 64].

Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerti makna-maknanya. Bahkan (menurut persangkaan mereka) beliau sendiripun tidak memahami kata-katanya sendiri ketika bersabda :

"Artinya : Rabb kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam ...." [Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25].

Bahkan makna yang langsung dapat dimengerti dari nash di atas, tidak dapat dimengerti kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa cara-cara semacam ini adalah caranya kaum salaf".

Kemudian pada tempat yang lain lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata[3] : "Ayat-ayat yang disebut oleh Allah sebagai ayat-ayat mutasyabihat yakni yang tidak dapat diketahui ta'wil-nya kecuali oleh Allah ; yang dimaksud "tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah" hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan maknanya. Sebagaimana hanya ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah :

"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa') di atas 'Arsy". [Thaha : 5].

"Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa' (bersemayam) ?" Beliau menjawab : "Al-Istiwa' telah dipahami (maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana hakikat istiwa' [bersemayam] tidak dapat diketahui (majhul). Beriman terhadap istiwa'-Nya wajib dan bertanya tentang "Bagaimana (hakikat)nya adalah bid'ah". Demikian pula sebelumnya, Rabi'ah dan Ibnu 'Uyainah pun telah memberikan jawaban serupa dengan jawaban Imam Malik.

Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa' telah dipahami, sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya) adalah majhul (tidak dapat dimengerti).

Dengan demikian kaif (hakikat) yang majhul inilah di antara arti ta'wil yang tidak dapat dimengerti melainkan oleh Allah semata. Adapun makna yang dapat dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yang lainnya, maka itu adalah ta'wil yang bermakna tafsir yang telah dijelaskan maknanya oleh Allah dan Rasul-Nya.

Allah Ta'ala telah memerintahkan supaya kita menghayati Al-Qur'an dan telah memberitakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an untuk dipahami. Sedangkan penghayatan serta pemahaman tidak mungkin akan bisa dilaksanakan melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud pembicaraannya. Adapun apabila seseorang berbicara dengan lafal-lafal yang mengandung banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya, tentu pembicaraannya tidak mungkin bisa dipahami dan dihayati.


[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
_________
Foote Note.
[1]. Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim
[2]. Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15
[3]. Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9
Baca Selengkapnya

Minggu, 13 November 2011

Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Tidak Mempertentangkan Nash-Nash Wahyu Dengan Akal

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
Bagian ketiga dari enam tulisan [3/6]





KAIDAH KEDUA

TIDAK MEMPERTENTANGKAN NASH-NASH WAHYU DENGAN AKAL
Semua firqah ahli kalam yang suka menakwilkan sifat-sifat Allah, ternyata satu sama lain saling bertentangan, dan secara diametral pendapat-pendapatnya saling berlawanan sama sekali.

Untuk membuktikan hal itu, kita tidak perlu pergi terlalu jauh, lihat saja misalnya, di dalam kitab Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyah bagaimana cara ahlu kalam yang tercermin pada ta'wil nya terhadap sifat istiwa' dalam firman Allah Ta'ala.

"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas "Arsy". [Thaha : 5].

Dalam kitab ini, istiwa' di ta'wil-kan dengan taslith al-quwwah wa as-sulthan (menangnya kekuatan serta kekuasaan-Nya)".

Kita perhatikan ta'wil itu berbeda bahasanya dengan ta'wil-nya kaum Asy'ariyah terhadap istiwa' tersebut yaitu istiila' (berkuasa), ta'wil yang juga dilakukan oleh kaum Jahmiyah dan Mu'tazilah. Namun model ta'wil dalam buku Kubra al-Yaqiniyat itu tidak menggunakan istilah istiila, melainkan dengan istilah Taslith al-Quwwah wa as- Sulthan.

Tentu ini merupakan kata-kata yang bejat, sebab konsekwensi dari kata-kata itu menunjukan bahwa 'Al-Arsy tidak masuk dalam kekuasaan Allah, sebelum Allah ber- 'istiwa (bersemayam) di atasnya. Penulis buku tersebut (Said Ramdhan al-Buthi, -pen-) bisa terperosok pada pemahaman yang rusak.

Hal ini dikarenakan ia tidak ridha terhadap apa yang ditempuh oleh kaum salaf dalam mengimani sifat 'istiwa. Walaupun sebenarnya hanya mengemukakan pernyataan madzhab khalaf (lawan salaf, pen), yakni orang-orang Asy'ariyah. Akan tetapi kenyataannya ia setuju dengan madzhab tersebut. Hal itu terbukti dengan pernyataannya : "Itulah makna yang jelas, yang bisa dimengerti menurut bahasa Arab" [1]

Selanjutnya ia melegitimasi manhaj kalam dengan pernyataannya sebagai berikut : "Mereka menafsirkan al-Yad (tangan) dalam ayat lain dengan "kekuatan dan kemurahan", al-'Ain (mata) dengan "pertolongan dan pemeliharaan", dan menafsirkan al-Ishba'ain (dua jari-jari) yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya No. 2654, dengan "kehendak dan kekuasaan". Begitulah seterusnya. Mereka merubah-rubah sifat-sifat Allah Ta'ala tanpa disertai sebuah dalilpun, baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah.

Berdasar inilah, maka salah satu kaidah manhaj salaf ialah menolak ta'wil model ahlu kalam. Dan cukuplah bagi para pengikut manhaj salaf satu ketetapan, yaitu ilitizam kepada perintah Allah Ta'ala berikut :

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui". [Al-Hujuraat : 1].

Oleh sebab itulah, tiada dijumpai seorangpun di antara mereka yang mempertentangkan nash-nash wahyu dengan akal. Apabila mengetahui suatu perkara dari ajaran agama, maka ia akan melihat kepadanya yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari sanalah ia belajar, dengannyalah ia berkata, mengenainyalah ia merenung dan berpikir dan dengannyalah ia berdalil.

Berkebalikan dengan manhaj ini, di sana di ujung seberang yang sama sekali berlawanan, berdiri tegaklah para penganut manhaj ilmu kalam yang mempercayakan sandarannya kepada ra'yu (pendapatnya). Sesudah ra'yu, mereka memperhatikan al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila didapati nash-nash tersebut bersesuaian dengan akal, mereka ambil nash-nash itu. Tetapi, jika mereka dapati bertentangan, maka akan mereka singkirkan atau mereka otak-atik dengan ta'wil. [2]


[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
_________
Foote Note.
[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Dar'u Ta'arudh al-Aql wa an-Naql, jilid 5/382, mengatakan :"Adapun ta'wil dalam arti 'mengalihkan satu lafal dari kandungan makna yang rajih (benar) menuju kemungkinan makna yang marjuh (tidak rajih/tidak benar), seperti 'istiwa menjadi istaula, dan seterusnya maka hal ini menurut kaum salaf dan para imam jelas merupakan kebatilan. Hakikatnya tidak ada sama sekali, bahkan hal ini meruapak tahrif (mengubah) kata-kata dari yang semestinya dan termasuk ilhad (ingkar) terhadap Asma' Allah serta ayat-ayat-Nya.".
[2]. Risalah al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, Ibnu Taimiyah, hal.47.
Baca Selengkapnya

Senin, 07 November 2011

Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Mendahulukan Syara Atas Akal

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
Bagian kedua dari enam tulisan [2/6]




KAIDAH PERTAMA

MENDAHULUKAN SYARA ATAS AKAL [1]
Kaidah yang paling pertama ialah ittiba' kepada as-salafu ash-shalih dalam memahami, menafsiri, mengimani serta menetapkan sifat-sifat ilahiyah tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat bagaimananya) dan tanpa ta'wil (membuat perubahan lafadz/maknanya), juga dalam menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi pertama sebagai panutan dalam berpikir maupun beramal.

Jadi pertama kali Al-Qur'an dan Hadits, selanjutnya berqudwah (mengikuti jejak dan mengambil suri teladan) kepada para shahabat nabi, sebab di tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan demikian, mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an, dan lebih mengerti tentang ta'wil (tafsir) Al-Qur'an dibandingkan dengan generasi-generasi berikutnya. Mereka satu dalam hal ushuluddin, tidak berselisih mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa nafsu-hawa nafsu dan bid'ah [2].

Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut manhaj salaf. Mereka adalah ahlul hadits, para ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi serta para alim hadits yang ittiba' pada atsar. (Itulah jalannya kaum mukminin). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat kembali". [An-Nisaa' : 115].

Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin (ahlul kalam), sebab mereka (pengikut manhaj salaf) selalu memulai dengan syara'. kitab was-sunnah, selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nash Al-Qur'an dan sunnah tersebut.

Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini maka akal yang sehat tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash) yang shahih. Apabila terjadi pertentangan, maka nash yang shahih harus didahulukan atas akal, sebab nash-nash Al-Qur'an bersifat ma'shum (terjaga) dari kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma'shum (terjaga) dari hawa nafsu.

Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur'an dan Sunnah atas akal-akal bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan dalam aqidah dan agama.

Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai dengan Al-Kitab was-Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal (majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur'an was Sunnah. Petunjuk (hidayah) ialah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat melainkan atsar-atsar ini. [3]

Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada keimanannya terhadap sifat-sifat dan Asma' Allah Ta'ala ; tanpa membuat penambahan, pengurangan, ta'wil yang menyalahi zhahir nash dan tanpa membuat penyerupaan dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kitabullah Ta'ala serta sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat yang telah memfirmankannya sendiri. [4]

Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf dalam menjadikan akal tunduk kepada nash, baik nash itu berupa ayat Al-Qur'an maupun berupa sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan sebaliknya. Berbeda dengan manhaj kaum ahlul kalam dari kalangan Mu'tazilah, Maturidiyah dan Asy'ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nash. Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal.

Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar sesuai tuntutan akal. Padahal mestinya hukum-hukum akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi, apa saja yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan apa saja yang dikesampingkan oleh keduanya, kitapun harus menolaknya.

Sesungguhnya, ta'wil menurut kaum ahlu kalam dan kaum filosofis pada umumnya mengandung tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syara', mendahului nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu jika terlihat ada pertentangan antara nash dengan akal, maka mereka akan mendahulukan akal, dan akan segera bergegas melakukan ta'wil terhadap nash tersebut hingga sesuai dengan tuntutan akal. Akan tetapi manhaj salaf kebalikannya, syara' didahulukan dan akal mengikut kepada syara'.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa kaum salaf menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Mereka merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka jadikan pemahaman-pemahaman akalnya patuh pada nash-nash itu, sebab "akal" menurut Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik (pelaku)nya. "Akal" bukanlah dzat yang bisa berdiri sendiri seperti anggapan kaum filosof. [5]

Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat alam kongkrit yang telah ditemukan berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri. Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau kenyataan alam ghaib ?.

Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah kepada nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam ghaib maupun alam nyata. Lebih khusus lagi ayat-ayat yang menyangkut sifat-sifat ilahiyah, maka kita wajib mengimaninya tanpa ta'wil (mengubah makna atau lafalnya) dan tanpa ta'thil (menolak hakikatnya atau menafikannya).


[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
_________
Foote Note.
[1]. Qawa'id al-Manhaj as-Salafi, hal. 187. Dr. Musthafa Helmi, cet. Daar ad-Da'wah, Iskandariyah
[2]. 'Aqa'id as-Salaf, karya Dr. Ali Sami an-Nasysyar, hal.309, cet. Daar al-Ma'arif. Iskandariyah.
[3]. Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 309.
[4]. Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 3
[5]. Majmu' Fatawa, jilid 9, hal. 279
Baca Selengkapnya

Jumat, 04 November 2011

Pokok-Pokok Manhaj Salaf

Oleh
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik
Bagian pertama dari enam tulisan [1/6]




PENDAHULUAN.
Sesuatu yang pasti dan tidak mengandung keraguan sedikitpun ialah bahwasanya manhaj salaf adalah manhaj yang bisa diterima oleh setiap generasi dari masa ke masa. Begitulah kenyataannya di sepanjang sejarah dan kehidupan. Hal itu disebabkan keistimewaan manhaj salaf yang senantiasa secara benar dan mengakar dalam menggali masalah, akuratnya penggunaan dalil (istidlal) berdasarkan petunjuk-petunjuk Qur'aniyah serta kemampuannya menggugah kesadaran, dengan mudah bisa dicapai hingga peringkat ilmu serta keyakinan tertinggi, disamping adanya jaminan keselamatan untuk tidak terjatuh pada kesia-sian, khayalan, atau pada ruwetnya tali temali salah kaprah serta benang-kusutnya ilmu kalam, filsafat dan analogi-analogi logika.

Sesungguhnya manhaj salaf adalah manhaj yang selaras dengan fitrah manusia, sebab ia merupakan manhaj Qur'ani nabawi, Manhaj yang bukan hasil kreasi manusia. Oleh karenanya manhaj ini senantiasa mampu menarik kembali individu-individu umat Islam yang telah lari meninggalkan petunjuk agamanya dalam waktu relatif singkat dan dengan usaha sederhana, apabila dalam hal ini tidak ada orang-orang yang sengaja menghambat dan melakukan perusakan supaya manhaj yang agung ini tidak sampai kepada anggota-anggota masyarakat dan kelompok-kelomok umat.

Untuk itulah kita dapati manhaj salaf selalu cocok dengan zaman dan senantiasa up to date bagi setiap generasi ; itulah "jalannya kaum salaf radhiayallahu 'alaihim". Inilah manhaj yang pernah di tempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Di atas manhaj inilah para imam mujtahid, para imam hafizh dan para imam ahli hadits terbentuk. Dengan manhaj inipula orang-orang (dahulu) diseru untuk kembali kepada dienullah, hingga dengan segera mereka menyambut dan menerimanya serta masuk kedalam dienul Islam secara berbondong-bondong.

Seperti halnya manhaj ini dahulu telah mampu menciptakan "umat agung" yang menjadi khaira ummatin ukhrijat lin-naas, sebaik-baik umat yang ditampilkan untuk manusia, maka iapun akan senantiasa mampu berbuat demikian dalam setiap masa. Buktinya .? itu bisa terwujud setiap saat, jika penghambat-penghambat yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan kehidupan manusia hingga kehilangan fitrah lurusnya dihilangkan.

Tentu tidak diragukan lagi, bahwa ajakan untuk mengikuti jejak as-salafu ash-shalih harus menjadi ajakan (dakwah) yang terus menerus dilakukan. Dakwah ini secara pasti akan tetap selaras dengan kehidupan modern, sebab merupakan ajakan yang hendak mengikat seorang mukmin dengan sumber-sumber yang murni dan melepaskan diri dari berbagai belengu taklid yang membuat fanatik terhadap ra'yu (pendapat), kemudian mengembalikannya kepada Kitabullah serta sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Katakanlah : 'Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul ; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". [An-Nuur : 54].

Jadi dakwah salafiyah selamanya bisa selaras bagi pelaku tiap-tiap zaman, karena dakwah salafiyah datang ketengah manusia dengan membawa sumber-sumber minuman rohani yang paling lezat dan murni. Dakwah salafiyah datang dengan membawa sesuatu yang bisa memenuhi kekosongan jiwa dan bisa menerangi relung-relung hati yang paling dalam. Maka dakwah salafiyah ini tidak akan membiarkan jiwa terkuasai oleh ambisi-ambisi hawa nafsu melainkan pasti dibersihkannya, dan tidak akan membiarkan hati tertimpa oleh lintasan kebimbangan sedikitpun kecuali pasti disucikannya, sebab dakwah salafiyah ini tegak berdasarkan i'tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu-as-shalih.

Tiap pendapat orang, bisa diambil atau bisa ditolak kecuali apa yang telah dibawakan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka apa yang dibawa oleh beliau harus diambil dan tidak boleh ditolak, sebab itu ma'shum berasal dari Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurutkan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya) ". [An-Najm : 3-4].

Dengan manhaj yang lurus ini, kaum mukminin akan terbebas dari tunggangan-tunggangan hawa nafsu yang telah bertumpuk-tumpuk menunggangi generasi demi generasi.

Manhaj salaf telah secara jelas memasang petunjuk bagi setiap dakwah yang betul-betul ikhlas bertujuan memperbaharui perkara umat yang telah menjadi amburadul, hingga dengannya bisa betul-betul mampu memperbaharui perkara agama ini dalam kehidupannya dan mampu mengencangkan ikatan iman umat berdasarkan dua sumber :"Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya" ditambah dengan kaidah yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan, yaitu " Sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu ash-shalih".

Setiap dakwah yang dengan dalih apapun berusaha memperlonggar persoalan "ikatan temali yang kokoh" di atas, berarti ia hanyalah dakwah yang terwarnai oleh syubhat-syubhat kesesatan dan ternodai oleh penyimpangan.

Sesungguhnya tauhidul-ibadah yang murni betul-betul untuk Allah Ta'ala, tergantung pada rujukannya kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala befirman :

"Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". [At-Taghaabun : 12].

Dalam ayat lain Allah berfirman :

"Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan". [An-Nisaa' : 65].

Pada ayat di atas Allah Ta'ala bersumpah dengan Diri-Nya yang Maha Suci bahwasanya tidaklah seseorang beriman sebelum ia menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hakim dalam semua urusan.

Apa saja yang diputuskan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti merupakan kebenaran yang wajib untuk dipatuhi secara lahir maupun batin.

Oleh sebab itulah Allah memerintahkan untuk menyerah (taslim) pada putusan Rasul pada firman Allah berikutnya :

"Artinya : Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". [An-Nisaa' : 65].

Dengan demikian, tidak boleh ada sikap enggan, sikap menolak atau sikap menantang terhadap segala yang disunnahkan atau diputuskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala memperingatkan dalam firman-Nya.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya". [Al-Anfaal : 13].

Lalu, apa lagi yang lebih dikehendaki oleh orang-orang modern dewasa ini dibandingkan dengan kemerdekaan aqidah, kemerdekaan jiwa, kemerdekaan individu dan kemerdekaan jama'i (bersama-sama) yang ditumbuhkan oleh sikap mentauhidkan Allah, baik secara rububiyah maupun uluhiyah, kemerdekaan yang ditimbulkan oleh tauhidul-hidayah dan manunggalnya ketaatan serta kepatuhan hanya kepada perintah Pencipta Alam dan perintah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam ?.

Dengan tauhid yang shahih inilah, kaum mukminin akan terbebaskan (merdeka) dari sikap mengekor terhadap setiap orang yang mempunyai kekuatan, dari setiap belengu hawa nafsu dan dari setiap kesempitan taklid yang memenjarakan akal dan mempersempit cara berpikir.

Karena keistimewaan-keistimewaan langka inilah, maka manhaj salaf akan senantiasa selaras dengan tuntutan segala zaman dan akan bisa diterima oleh setiap generasi.

KAIDAH SERTA POKOK-POKOK MANHAJ SALAF.
Kaidah-kaidah berikut ini menggambarkan tentang prinsip-prinsip manhaj talaqi (sistem mempelajari, mengkaji dan memahami) aqidah islamiyah, dan tentang pokok-pokok bantahan terhadap aqidah selain Islam melalui dalil-dalil Al-Qur'an serta petunjuk-petunjuk nabawi.

Ketika firqah-firqah mulai bermunculan di tengah barisan kaum muslimin dengan segala pemikirannya yang berbeda-beda dan saling berlawanan, maka masing-masing pelakunya berupaya melakukan pengadaan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi, -yang sebenarnya hanya membebani kebanyakan mereka saja- untuk mempertahankan teori-teori filsafat hasil temuan mereka masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Diantara sejumlah dalil yang mereka kemukakan ialah : mengaku-ngaku sebagai pengikut as-salafu ash-shalih.

Oleh karena itu seyogyanyalah diadakan penjelasan mengenai kaidah-kaidah manhaj salaf, supaya dibedakan antara orang-orang yang sekedar mengaku-ngaku salafi dengan orang-orang yang sebenar-benarnya pengikut as-salafu ash-shalih.


[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
Baca Selengkapnya

Sabtu, 29 Oktober 2011

Waktu Pemberian Nama Anak Dan Hukum Merayakan Pemberian Nama Anak

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta



Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Hari apa yang paling utama untuk menamai anak, sesudah kelahirannya langsung atau pada hari ke tujuh? Apakah boleh dirayakan bersama dengan orang-orang yang tercinta, para sahabat dan tetangga ?

Jwaban
Waktu penamaan anak cukup longgar. Boleh menamainya pada hari kelahirannya atau pada hari ke tujuh, masing-masing memiliki dasar hukumnya. Imam Al-Bukhari dan Muslim membawakan suatu hadits dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi, dia berkata.

“Al-Mundzir bin Usaid dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kelahirannya. Rasulullah memangkunya. Sedangkan ayahnya duduk. Rasulullah memainkan sesuatu di hadapan sang bayi. Abu Usaid meminta orang lain untuk mengambil Usaid dari pangkuan Rasulullah. Maka diambillah bayi itu dari pangkuan Rasulullah, Rasulullah bertanya : “Dimana bayinya”. Abu Usaid menjawab : “Kami pindahkan wahai Rasulullah”. Lalu beliau bertanya : “Siapa namanya?”. Ayahnya menjawab : “Fulan”. Rasulullah menyanggah : “Tidak, namanya (yang tepat) Al-Mundzir”.

Dalam Shahih Muslim dari hadits Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit dari Anas, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Malam ini bayiku lahir, Aku beri nama mirip nama moyangku, Ibrahim”.

Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan Ahlus Sunnah meriwayatkan, ia berkata : “Rasulullah bersabda :

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke tujuh (kelahirannya) sekaligus dinamai dan dicukur rambut kepalanya” [At-Tirmidzi menetapkan hadits ini Hasan Shahih]

Wabillahit taufiq. Washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.

[Fatawa Islamiyah 4/489]

HUKUM MERAYAKAN PEMBERIAN NAMA ANAK

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah boleh orang-orang yang tercinta, tetangga dan kawan-kawan berkumpul pada hari penamaan bayi? Apakah ini bid’ah dan kekufuran?

Jawaban
Merayakan hari pemberian nama kepada bayi bukan sunnah Nabi, juga tidak pernah terjadi pada sahabat semasa Nabi masih hidup. Barangsiapa melakukannya dengan keyakinan sebagai bagian dari ajaran Islam, maka ia telah berbuat perkara baru dalam agama. Dan ini adalah suatu bid’ah yang tertolak darinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa membuat perkara baru dalam agama kami yang bukan darinya maka akan tertolak”

Tetapi ini bukan tindakan kufur.

Jika perkumpulan itu hanya sekedar ekspresi kegembiraan dan kebahagian atau undangan makan daging aqiqah, tidak dilakukan sebagai sunnah, maka tidak masalah. Telah diriwayatkan dari Rasulullah secara shahih riwayat yang menunjukkan disyariatkannya penyembelihan hewan aqiqah dan penamaan bayi pada hari ke tujuh.

[Fataw Islamiyah 4/490]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Baca Selengkapnya

Sabtu, 22 Oktober 2011

Mengamalkan Tauhid Dengan Semurni-Murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab

BARANGSIAPA MENGAMALKAN TAUHID DENGAN SEMURNI-MURNINYA, PASTI MASUK SURGA TANPA HISAB


Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab


Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan, senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri ; dan sama sekali ia tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik . [An-Nahl: 120]

وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ

Dan orang-orang yang mereka itu tidak berbuat syirik kepada Tuhan mereka. [Al- Mu'minun: 59]

Hushain bin ‘Abdurrahman menuturkan:
Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya: Siapakah diantara kalian melihat bintang yang jatuh semalam? Aku pun menjawab: Aku. Kemudian kataku: Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking. Ia bertanya: Lalu apa yang kamu perbuat? Jawabku: Aku meminta ruqyah [1]. Ia bertanya lagi: Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu? Jawabku: Yaitu : Sebuah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya’bi kepada kami. Ia bertanya lagi: Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu? Kataku: Dia menuturkan kepada kami hadits dari Buraidah ibn Al-Hushaib:

لارقية إلا من عين أو حمة

Tidak dibenarkan melakukan ruqyah kecuali karena ‘ain [2] atau terkena sengatan

Sa’id pun berkata: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi Ibnu ‘Abbas menuturkan kepada kami hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال " عرضت علي الأمم فرأيت النبي ومعه الرهط والنبي ومعه الرجل والرجلان والنبي وليس معه أحد إذ رفع لي سواد عظيم فظننت أنهم أمتي فقيل لي هذا موسى وقومه فنظرت فإذا سواد عظيم فقيل لي هذه أمتك ومعهم سبعون ألفاً يدخلون الجنة بغير حسان ولا عذاب ثم نهض فدخل منزله فخاض الناس في أولئك فقال بعضهم فلعلهم الذين صحبوا رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال بعضهم فلعلهم الذين ولدوا في الإسلام فلم يشركوا بالله شيئاً وذكروا أشياء فخرج عليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبروه فقال هم الذي لا يسترقون ولا يكتوون ولا يتطيرون وعلى ربهم يتوكلون فقام عكاشة بن محصن فقال ادع الله أن يجعلني منهم قال أنت منهم ثم قام رجل آخر فقال ادع الله أن يجعلني منهم فقال سبقك بها عكاشة

Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi, bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua orang; serta seorang nabi, dan tak seorangpun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; akupun mengira bahwa mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku: Ini adalah Musa bersama kaumnya. Lalu tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar pula, maka dikatakan kepadaku: ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka orang-orangpun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada diantara mereka yang berkata: Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada lagi yang berkata: Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga tidak pernah mereka berbuat syirik sedikitpun kepada Allah. Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda: "Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur [3] dan mereka pun bertawakkal kepada Tuhan mereka". Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: kamu termasuk golongan mereka. Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah. [4]

Kandungan Bab ini:
• Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam tauhid.
• Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya.
• Sanjungan Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim, karena sama sekali tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah.
• Sanjungan Allah kepada para tokoh wali , karena bersihnya diri mereka dari perbuatan syirik.
• Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk pengamalan tauhid yang murni.
• Bahwa tawakkal kepada Allah Ta’ala adalah sifat yang mendasari sikap tersebut.
• Dalamnya ilmu para sahabat karena mereka mengetahui bahwa orang-orang yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan kedudukan yang demikian itu kecuali dengan amal.
• Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan amal kebaikan.
• Keistimewaan umat Islam, dengan kuantitas dan kualitas.
• Keutamaan pengikut Nabi Musa.
• Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya.
• Bahwa sedikit orang yang mengikuti seruan para nabi.
• Nabi yang tidak mempunyai pengikut, datang sendirian pada hari Kiamat.
• Buah dari pengetahuan ini adalah: tidak silau dengan jumlah yang banyak dan tidak merasa kecil hati dengan jumlah yang sedikit.
• Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ‘ain atau sengatan.
• Dalamnya pengertian kaum Salaf, dapat dipahami dari kata-kata Sa’id bin Jubair: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya; tetapi…dst. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua.
• Kemuliaan sifat kaum Salaf karena ketulusan hati mereka, dan mereka tidak memuji seseorang dengan pujian yang dibuat-buat.
• Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Kamu termasuk golongan mereka , adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau.
• Keutamaan ‘Ukasyah.
• Penggunaan kata sindiran. [5]
• Keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Disalin dari buku: "Kitab At-Tauhid Al-Ladzi Huwa HAqqullah Alal-Abid" Edisi Indonesia Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At-Tamimi. Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H]
_______
Footnote
[1]. Ruqyah, maksudnya disini ialah penyembuhan dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an atau do’a-do’a.
[2]. Ain ialah pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya; disebut juga kena mata.
[3]. Tathayyur ialah merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau beramal nasib buruk, karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim
[5]. Karena beliau bersabda kepada seorang yang lain: Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah dan tidak bersabda kepadanya: Kamu tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka.
Baca Selengkapnya

Sabtu, 01 Oktober 2011

Tafsiran Tauhid Dan Syahadat Laa Ilaha Illa Allah

Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab



Firman Allah Ta'ala:

"Artinya : Orang-orang yang diseru oleh kaum musyrikin itu, mereka sendiri senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka, siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepadaNya), dan mereka mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya, sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." [Al-Isra': 57]

"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya; Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena hanya Dia yang akan menunjukiku (kepada jalan kebenaran)." [Az-Zukhruf: 26-27]

"Artinya : Mereka, menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka mempertuhankan pula) Al-Masih putera Maryam, padahal mereka itu tiada lain hanyalah diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan, tiada Sembahan yang haq selain Dia. Maha Suci Allah dari perbuatan syirik mereka." [At-Taubah: 31]

"Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah..."[Al-Baqarah: 165]

Diriwayatkan dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."


Kandungan dalam tulisan ini:

[1]. Ayat dalam surah Al-Isra'. Diterangkan dalam ayat ini bantahan terhadap kaum musyrikin yang menyeru (meminta) kepada orang-orang shaleh. Maka, ayat ini mengandung sesuatu penjelasan bahwa perbuatan mereka itu syirik akbar.

[2]. Ayat dalam surah Bara'ah (At-Taubah). Diterangkan dalam ayat ini bahwa kaum Ahli Kitab telah menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan diterangkan bahwa mereka tiada lain hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan yaitu Allah. Padahal tafsiran ayat ini, yang jelas dan tidak dipermasalahkan lagi, yaitu mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah; dan maksudnya bukanlah kaum Ahli Kitab itu menyembah mereka.

Dapat diambil kesimpulan dari ayat ini bahwa tafsiran "Tauhid" dan Syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurnian ketaatan kepada Allah, dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.

[3]. Kata-kata Al-Khalil Ibrahim 'alaihissalam kepada orang-orang kafir: "Sesungguhnya aku melepaskan diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku..."

Disini beliau mengecualikan Allah dari segala sembahan. Pembebasan diri (dari segala sembahan yang bathil) dan pernyataan setia (kepada Sembahan yang haq, yaitu Allah) adalah tafsiran yang sebenarnya dari syahadat "Laa ilaha illa Allah." Allah Ta'ala berfirman: "Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya, supaya mereka kembali (kepada jalan kebenaran). (Az-Zukhruf: 28)

[4]. Ayat dalam surah Al-Baqarah yang berkenaan dengan orang-orang kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya: "Dan mereka tidak akan dapat keluar dari neraka."

Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa mereka menyembah tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan yang besar kepada Allah, akan tetapi kecintaan mereka itu belum bisa memasukkan mereka kedalam Islam. Dari ayat dalam surah Al-Baqarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa tafsiran "tauhid" dan syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurniaan kecintaan kepada Allah yang diiringi dengan rasa rendah diri dan penghambaan hanya kepada-Nya.

Lalu bagaimana dengan orang yang mencintai sembahan-nya lebih besar daripada kecintaannya kepada Allah? Kemudian, bagaimana dengan orang yang hanya mencintai sesembahan selain Allah itu saja dan tidak mencintai Allah?

[5]. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barang siapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."

Ini adalah termasuk hal terpenting yang menjelaskan pengertian "Laa ilaha illa Allah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar mengucapkan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu, bukan pula dengan mengerti makna dan lafadznya, bukan pula dengan mengakui kebenaran kalimat tersebut, bahkan bukan juga tidak meminta kecuali kepada Allah saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi tidaklah haram dan terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu pengingkaran kepada segala sembahan selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan terlindung harta dan darahnya.

Sungguh agung dan penting sekali tafsiran "Tauhid" dan syahadat "Laa ilaha illa Allah" yang terkandung dalam hadits ini, sangat jelas keterangan yang dikemukakannya dan sangat meyakinkan argumentasi yang diajukan bagi orang yang menentang.

[Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H]
Baca Selengkapnya

Sabtu, 24 September 2011

Cahaya Sunnah dari Yaman

Nama dan Nasabnya
Beliau adalah Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi bin Qayidah Al-Hamdany Al-Wadi’iAl-Khilaly rahimahullah.
Kelahirannya
Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1352 H di Damaj Yaman di sebuah lingkungan Zaidiyah (Salah satu sekte Syi’ah) yang bercirikan tasawuf, mu’tazilah, dan berbagai bid’ah lainnya.
Pertumbuhan Ilmiahnya
Beliau rahimahullah memulai pelajarannya di Maktab di sebuah desa yang bernama Al-Wathan Damaj Yaman beberapa lama kemudian berhenti karena tidak ada yang membantunya belajar.
Kemudian beliau safar ke Riyadh Saudi Arabia dan tinggal di sana sekitar sebulan setengah. Ketika cuaca Riyadh berubah maka beliau berangkat ke Makkah. Beliau meminta petunjuk kepada sebagian penceramah tentang kitab-kitab yang bermanfaat yang akan beliau beli, maka beliau dinasehati agar membeli kitab Shahih Bukhari, Bulughul Maram, Riyadhush Shalihin, dan Fathul Majid.
Beliau bekerja sebagai penjaga sebuah gedung di Hajun sambil menelaah kitab-kitab tersebut. Beliau sangat tertarik dengan kandungan kitab-kitab tersebut karena apa yang dilakukan manusia di negerinya sangat berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab tersebut.
Setelah beberapa lama beliau pulang ke negerinya Yaman dan mulai mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan kaumnya. Seperti menyembelih untuk selain Alloh, meminta kepada orang-orang yang sudah mati, membangun kuburan, dan kesyirikan-kesyirikan lainnya.
Reaksi yang muncul dari kaumnya begitu keras, lebih-lebih dari orang Syi’ah yang memandang Syaikh Muqbil sudah mengganti agamanya sehingga pantas dibunuh. Mereka memaksa Syaikh Muqbil untuk belajar di Masjid Jami’ Al-Hadi untuk menghilangkan syubhat-syubhatnya.
Kemudian beliau berangkat ke Najran dan tinggal di sana selama dua tahun belajar kepada Majduddin Al-Muayyid. Setelah itu berangkatlah beliau ke Makkah bekerja di waktu siang dan belajar di waktu malam.
Ketika dibuka Ma’had Al-Haram Al-Makky beliau mendaftarkan diri dan diterima sehingga beliau menyelesaikan pendidikan Mutawassithah dan Tsanawiyah. Kemudian beliau menuju ke Madinah dan masuk ke Universitas Islam Madinah di Fakultas Da’wah dan Ushuluddin.
Ketika dibuka Fakultas Pasca Sarjana di Universitas Islam Madinah, Beliau mendaftarkan diri dan diterima. Risalah Magisternya adalah tahqiq kitab Ilzamat dan Tatabbu’ oleh Al-Imam Daruquthni.
Dakhwahnya di Yaman
Ketika terjadi fitnah kelompok Juhaiman di Masjidil Haram, beliau rahimahullah dituduh termasuk kelompok mereka sehingga beliau dipenjara dan dipulangkan ke Yaman.
Sesampainya beliau di Yaman, beliau memulai dakhwahnya dengan mengajari Al-Qur’an kepada anak-anak di kampungnya. Beliau dengan gigih mendakwahkan dakwah salafiyah, dakhwah tauhid dakwah yang haq, meski begitu banyak rintangan yang menghadangnya dari kelompok syi’ah, sufiyah, dan sekuler. Beliau rahimahullah mulai dakwahnya dari kampungnya yang kecil yang dikelilingi gunung-gunung tetapi cahaya dakwah beliau memancar hingga ke pelosok-pelosok yang jauh di Yaman.
Dengan pertolongan Alloh ’Azza wa Jalla, kemudian dengan kegigihan beliau mulailah dengan manusia meninggalkan kesyirika-kesyirikan dan kemungkaran-kemungkaran yang sebelumnya merupakan kebiasaan mereka sehari-hari.
Ketika dakwah beliau mulai terdengar ke seluruh penjuru, berbondong-bondonglah manusia menuju tempat beliau untuk mengambil ilmu. Datanglah para penuntut ilmu dari daerah-daerah sekitarnya,bahkan dari luar negeri Yaman seperti Mesir, Kuwait, Haramain, Najd, Libia, Al-Jazair, Maghrib (Maroko), Turki, Inggris, Indonesia, Amerika, Somalia, Belgia, dan negeri-negeri lainnya.
Keberaniannya Dalam Mengingkari Kemungkaran
Beliau rahimahullah dikenal pemberani di dalam mengucapkan kebenaran dan mengingkari kemungkaran. Tidak takut kepada siapa pun di dalam membela kebenaran. Siapa saya yang membaca tulisan-tulisan dan mendengarkan kaset-kaset beliau akan mengetahui hal itu.Beliau berbicara tentang bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan, kezhaliman-kezhaliman, dan kerusakan-kerusakan. Beliau memiliki banyak bantahan-bantahan kepada para pemilik kebathilan di dalam tulisan-tulisan dan kaset-kaset beliau.
Perhatian Kepada Para Penuntut Ilmu
Beliau begitu besar perhatiannya kepada para penuntut ilmu. Beliau sangat bersedih jika ada dari para murid-muridnya membuthkan sesuatu kemudian tidak bisa mendapatkannya. Beliau pernah berkata di dalam majelisnya, ”Beban terberat yang aku hadapi yang aku rasakan lebih berat daripada menghadapi ahli bid’ah dan menulis adalah kebutuhan murid-murid kami”.
Keluhuran Jiwanya
Beliau rahimahullah begitu luhur jiwanya, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak pantas, menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain, sampai-sampai beliau merasa berat memintakan kepada para muhsinin (dermawan) untuk kepentingan para muridnya. Ketika Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengetahui hal itu maka beliau mengirim surat kepada Syaikh Muqbil yang isinya, ”Tulislah permohonan wahai Abu Abdurrahman, engkau akan mendapatkan pahala darinya!”
Beliau latih para muridnya pada sifat yang agung ini. Beliau mencela dan memperingatkan dari orang-orang yang meminta-minta kepada manusia atas nama dakwah, dan ini bukan berarti beliau rahimahullah menyeru para penuntut ilmu agar meninggalkan taklimnya untuk berdagang. Maksud beliau, makan dari hasil usaha sendiri lebih baik daripada meminta-minta. Beliau rahimahullah juga berkata, ”Aku menasehatkan kepada ahli sunnah agar bersabar atas kefaikiran, karena itulah keadaan yang Alloh pilihkan kepada Nabi-Nya Shollallahu ’Alayhi wa Sallam.
Kesabarannya
Beliau rahimahullah memiliki kesabaran yang sulit dicari bandingannya. Beliau begitu sabar atas bebrbagai penyakit yang menimpanya, bersabar atas penyakit busung air yang bertahun-tahun dideritanya. Demikian pula atas penyakit lever yang menimpanya. Merupakan hal yang menakjubkan bahwa beliau dalam keadaan sakit tidak pernah meninggalkan taklimnya. Pernah suatu saat beliau menyampaikan pelajarannya dalam keadaan tangannya diikat dengan perban ke lehernya.
Kezuhudan, Kesederhanaan, Kedermawanan, dan Wara’nya.
Beliau dikenal dengan kezuhudannya dan beliau biasakan para muridnya atas sifat yang mulia ini. Beliau sampaikan kepada mereka bahwa dengan sifat inilah mereka akan mendapatkan ilmu. Beliau sangat sederhana dalam tempat tinggal, pakaian dan makanannya.
Di antara hal yang menunjukkan kezuhudannya pada dunia, beliau wakafkan tanag belia yang luas untuk tempat tinggal para muridnya yang sekarang ditempati sekitar 250 rumah.
Beliau memiliki sifat tawadhu’ yang sulit dicari bandingannya. Jika beliau sedang berjalan kemudian dipanggil oleh seorang anak kecil maka beliau langsung berhenti, menyapanya, dan menanyakan apa yang dikehendaki. Ketika beliau di majelis taklimnya datanglah seorang anak kecil, beliau hentikan pelajarannya dan berkata anak kecil itu kepadanya, ”Aku ingin membaca sebuah hadits di mikrofon.” maka beliau dudukkan anak kecil tersebut di depannya untuk membaca hadits yang dikehendakinya.
Beliau dikenal dengan sifat wara’, tidak pernah tersisa dana dakwah disisinya karena selalu beliau serahkan kepada penanggungjawabnya.
Kegigihan Dalam Berdakwah
Beliau rahimahullah begitu gigih dalam berdakwah meskipun begitu padat kesibukannya daalam mengajar dan menulis. Beliau arahkan para muridnya dengan mengatakan, ”Janganlah kalian hanya menuntut ilmu dan meninggalkan dakwah, wajib atas kalian mendakwahkan ilmu yang kalian pelajari!”
Beliau melakukan perjalanan dakwah di kota-kota dan desa-desa Yaman, mendaki gunung-gunung dan menuruni lembah-lembah. Beliau mengalami vabyak rintangan dari para musuh-musuhnya seperti jama’ah Ikhwanul Muslimin, Jam’iyah Hikmah dan Ihsan, kelompok sekuler, Sufiyah, dan selain mereka, tetapi beliau tidak pernah surut dalam dakwahnya kepada Kitab dan Sunnah.
Ceramah-ceramah dakwah beliau dihadiri oleh jumlah yang sangat besar hingga di sebagian tempat ceramah diadakan di tanah lapang karena masjid yang ada tidak mampu memuat jumlah hadirin.
Beliau peringatkan manusia dari kesyirikan, kebid’ahan, demokrasi dan parlemen. Beliau ingatkan kaum muslimin agar tidak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Islam, dan meninggalkan fitnah hizbiyyah yang telah menceraiberaikan umat.
Kegigihannya Dalam Mempelajari dan Menyampaikan Ilmu
Beliau begitu gigih di dalam mengajarkan ilmu. Satu jam sebelum Zhuhur beliau mengajarkan kitabnya Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, setelah itu kitab Jami’ Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain. Sesudah sholat Zhuhur belia mengajarkan Tafsir Ibnu Katsir dua hari sekali bergantian dengan kitab Shahih Musnad min Asbabin Nuzul. Ketika kitab yang akhir ini selesai beliau ganti dengan kitab Jami’ Shahih. Sebelum Zhuhur beliau menelaah pelajaran di rumahnya selama seperempat jam.
Sesudah Ashar beliau mengajarkan kitab Shahih Bukhary, dan sesudah Magrib mengajarkan Shahih Muslim dan Kitabnya Ahaditsu Mu’allah Zhahiruha Shihhah. Selesai dari kitab yang akhir ini beliau menggantinya dengan kitabnya Gharatul Fishal alal Mu’tadin ala Kutubil Ilal. Selesai dari kitab yang akhir ini beliau mengajarkan kitabnya Dzammul Mas’alah, kemudian setelah selesai diganti dengan kitab Shahih Musnad min Dalail Nubuwwah. Bersama kedua kitab ini beliau ajarkan juga kitab Mustadrak dan kitabnya Shahih Musnad fil Qadar. Demikianlah urut-urutan taklim beliau hingga beliau wafat.
Jika beliau berbicara tentang rijal maka beliau adalah pakarnya, jika beliau sedang diskusi dengan murid-muridnya dalam masalah nahwu maka seakan-akan tidak ada selsain beliau yang mengetahui disiplin ilmu ini, jika beliau berbicara tentang ilal maka membuat terhenyak orang yang ada dihadapannya. Demikian juga beliau memiliki kecepatan luar biasa di dalam menghadirkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah.
Guru-gurunya
Beliau mempelajari ilmu-ilmu syar’i dari para ulama besar dizamannya seperti : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Muhammad As-Sabil, Syaikh Abdul Aziz Ar-Rasyid, Syaikh Yahya Al-Bakistany, Syaikh Muhammad bin Abdullah ASH-Shamaly, Syaikh Muhammad Hakim Al-Mishry, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Mishry.
Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Washshaby Al-Abdaly, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury, Syaikh Muhammad bin Abdullah Ar-Rimy Al-Imam, Syaikh Abdul Aziz bin A;-Bar’i, Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah putrinya, Ummu Syu’aib Al-Wadi’iyah istri keduanya, Ummu Salamah istri ketiganya, dan masih banyak lagi selain mereka.
Tulisan-tulisannya
Diantara tulisan-tulisannya adalah Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, Tarajim Rijal Al-Hakim fil Mustadrak, Tatabbu’ Auham Al-Hakim allati Sakata Alaiha Adz-Dzhaby, Tarajim Rijal Sunan Daruquthni, Shahih Musnad min Dalail Nubuwwah, Gharatul Fishal ’alal Mu’tadin ’ala Kutubil Ilal, Jami’ Shahih fil Qadar, Sha’qatu; Zilzal Linasfi Abathil Rafdhi wal I’tizal, Ijabatus Sail’an Ahammil Masail, Asy-Syafa’ah, Riyadhul Janna fi Raddi ’ala A’dai Sunnah, Tuhfatul Arib ’ala As’ilatil Hadhir wal Gharib, Al-Makhraj minal Fitnah, Shahih Musnad min Asbabin Nuzul, Rudud Ahlil Ilmi ’ala Tha’inin fi haditsi Sihr, Mushara’ah. Ilhad Khomeni fi Ardhil Haramain, Al-Ba’its ala Syarhil Hawadits, Irsyad Dzawil Fathan Liib’adi Ghulati Rwafidh ’anil Yaman, Jami’ Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, Gharatul Asyrithah ’ala Ahlil Jahli wa Safsathah, Fawakih Janiyah fil Khuthab wal Muhadharat Saniyah, Qam’ul Mu’anid wa Zajrul Haqidil Hasid, Majmu’atu Rasail Ilmiyah, Tuhfatusy Syab Rabbany, Fatwa fi Wihdatil Muslimin ma’al Kuffar, Iqamatil Burhan ala Dhalali Abdur Rahim Ath-Thahhan, Dibaj fi Maratsy Syaikhul Islam Abdul Aziz bin Baz, Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah, Muqtarah fi Ajwibati As’ilatil Musthalah, Fadhaih wa Nashaih, Maqtal Syaikh Jamilurrahman, Iskatul Kalbil’Awi, Tahqiq Tafsir Ibnu Katsir, Shahih Musnad mimma Tafsir bil Ma’tsur, dan Kitab Ilzamat wa Tatabbu’ lil Imam Daruquthni dirasah wa tahqiq.
Wafatnya
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat di Jedda pada malam Ahad 1 Jumadil Ula tahun 1422 H dalam usia sekitar 70 tahun dan dimakamkan di Makkah di samping Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalan keluasan jannah-Nya.
Sumber: Nubdzah Yasir min Hayati Ahadi ’Alamil Jazirah oleh Abu Hammam Muhammad bin Ali bin Ahmaf Ash-Shauma’i Al-Baidhani.
Baca Selengkapnya

Minggu, 18 September 2011

Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA


PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA
Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.

Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” [1]

Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.

Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama [3]

Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia [4]. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian, ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut pandangan syariat.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara bermaaf-maafan di sana.

HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUQIFI)
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram (dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah, segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya. Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah. Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.

وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ فِيْهَا، وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ التَّعَبَّدِ تَدْ خُلُهَا الْبِدَ عَةُ

Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah, bisa ada bid’ah di dalamnya [5]

Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :

1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan hal ini berdasarkan wahyu.

عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا، فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟، قالُوا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]

Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang tidak memiliki landasan syar’i.

2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur. Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi oleh aturan-aturan syariat. [8]

PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL
Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan ‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam merujuk perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing.

Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.[9]

Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah (amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk bermaaf-maafan.

Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.

فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ، يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ

Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu (betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun) beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan. [10]

KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari raya.

Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut.

عنِ الْبَرَاءِِ رضي اللَّه عنه قالَ : رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَامِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَا فَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَاَ

Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi shahih oleh al-Albani] [11]

Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat, hukumnya berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru dalam agama.

Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12]

Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu adalah bid’ah, wallahu a’lam. [13]

Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur di hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan dalam hadits berikut

عن بُرَيْدَةَ رضي اللَّه عنه قال: رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُم ْعَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؟ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة

Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR Ashabus Sunnan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth]

Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini sebagai sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.

BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;

1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”. pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut

عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم قال : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؟ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلا درهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤخَذَ لأَِخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِ حَتْ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169]

2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut.

عن أَبِى أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِىِّ رضي اللَّه عنه أَنَّهُ سَمِعَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَخَارِخٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَا خْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم لِانِّسَاءِ اسْتَأخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ، فَكَانَتِ الْمَرْاَةُ تَلتَصِقُ بِالجِدَارِ حَتَى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَابِهِ

Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum pria bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu mepetnya baju mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani] [15]

3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadist berikut.

عن مَعْقِل بن يَسَارِ رضي اللَّه عنه يَقُولُ : قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : لأَنْ يُطْعَنَ فِي رأْسِ أَحَدِ كُْم بِمِخْيَطِ مِنْ حَد ِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَ أَةً تَحِلُّ لَهُ

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits ini menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed) karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama” [17]

PENUTUP
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan dalam halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya. Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita sebutkan diatas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah (saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam lain tanpa pengingkaran dari Ulama.

Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru dalam agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana kita bisa meremehkannya? Setiap Muslim haris berhati-hati dengan perkara-perkara baru yang muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan Islam yang murni, karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Wallahu a’lam

REFERENSI
1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi, Universitas Islam Madinah.
2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah.
3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.
4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim
5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/
[2]. Ibid
[3]. Ibid
[4]. Ibid
[5]. Al-I’tisham 2/98
[6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297
[7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499
[8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262
[9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6
[10]. Ibid. 2/101
[11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525
[12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141
[13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339
[14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247
[15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856
[16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137
[17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)
Baca Selengkapnya