tag:blogger.com,1999:blog-7816574979611941282024-03-13T07:30:27.246+08:00Artikel Islam“Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.comBlogger146125tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-60454858585248736422011-12-24T17:00:00.005+08:002011-12-24T17:00:33.277+08:00Mandi Sebelum Shalat Ied<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushallah"[1]<br />
<br />
Imam Said Ibnul Musayyib berkata :<br />
<br />
"Artinya : Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [2].<br />
<br />
Aku katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para
sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak
ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal
demikian.<br />
<br />
Berkata Imam Ibnu Qudamah :<br />
<br />
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa
mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali
Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah,
'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i
dan Ibnul Mundzir" [Al-Mughni 2/370]<br />
<br />
Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) [3]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah,
edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan
bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura',
penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]<br />
_________<br />
Foote Note.<br />
[1]. Diriwayatkan Malik 1/177, Asy-Syafi'i 73 dan Abdurrazzaq 5754 dan sanadnya Shahih<br />
[2].Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]<br />
[3]. Ini diriwayatkan dalam 'Sunan Ibnu Majah' 1315 dan dalam isnadnya
ada rawi bernama Jubarah Ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan
rawi yang lemah. Diriwayatkan juga dalam 1316 dan dalam sanadnya ada
rawi bernama Yusuf bin Khalid As-Samti, lebih dari satu orang ahli
hadits yang menganggapnya dusta (kadzab).<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/content/55/slash/0">Al Manhaj.or.id </a></div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-22511709013472927912011-12-17T21:50:00.003+08:002011-12-17T21:50:45.294+08:00Waktu Pelaksanaan Shalat Ied<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia
mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : "Sesungguhnya kita telah
kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih"[1]<br />
<br />
Ini riwayat yang paling shahih[2] dalam bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.<br />
<br />
Berkata Ibnul Qayyim :<br />
<br />
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri
dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya
upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari
terbit" [Zadul Ma'ad 1/442]<br />
<br />
Shiddiq Hasan Khan menyatakan :<br />
<br />
"Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya
matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma
(kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun
tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat
tergelincir matahari" [Al-Mau'idhah Al-Hasanah 43,44]<br />
<br />
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi :<br />
<br />
Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya
matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama,
shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih
hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar
manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka" [Minhajul Muslim 278]<br />
<br />
Peringatan :<br />
Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.<br />
<br />
Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan
dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya
yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka
bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka
Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka
keesokan paginya"<br />
<br />
<br />
[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah,
edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, hal. 23-24, terbitan
Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]<br />
_________<br />
Foote Note.<br />
[1]. Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah 2/331 <br />
[2]. Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalam shahihnya 2/456
dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135, Ibnu Majah 1317,
Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih<br />
<br />
Sumber : <a href="http://almanhaj.or.id/content/54/slash/0">almanhaj.or.id </a></div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-50423641834017063122011-12-10T16:00:00.001+08:002011-12-10T16:01:53.673+08:00Hukum Sholat Ied<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :<br />
<br />
"Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Ied hukumnya wajib bagi setiap
individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[1] dan selainnya.
Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan
salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.<br />
<br />
Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Ied tidak wajib, ini
sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Ied termasuk syi'ar Islam yang
sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada
berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir
di dalamnya.<br />
<br />
Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Ied hukumnya fardhu
kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]<br />
<br />
Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam "Sailul Jarar" (1/315).[2] <br />
<br />
"Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus
mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu
kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya,
hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan
wanita haid.<br />
<br />
Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan
menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh
wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[3]<br />
<br />
Semua ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib dengan kewajiban
yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah
untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi
orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan
Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya
shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam
hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita".<br />
<br />
Kemudian beliau Rahimahullah berkata :<br />
<br />
"Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Ied adalah : Shalat Ied
dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya
(yakni hari Ied jatuh pada hari Jum'at -pen)[4]. Sesuatu yang tidak
wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh
telah jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus
melaksanakannya secara berjama'ah sejak disyari'atkannya sampai beliau
meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah
beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk
melaksanakan shalat Ied"[5]<br />
<br />
Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" (hal 344) setelah menyebutkan hadits Ummu Athiyah :<br />
<br />
"Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar
(ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal
ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak
sekedar sunnah ......"<br />
<br />
<br />
[Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii As Sunnah Al-Muthahharah,
edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali bin Hasan
bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura',
penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]<br />
_________<br />
Foote Note<br />
[1]. Lihat "Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya<br />
[2]. Shiddiq Hasan Khan dalam "Al-Mau'idhah Al-Hasanah" 42-43<br />
[3]. Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu Athiyah yang dikeluarkan
oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981) dan (1652). Muslim
(890), Tirmidzi (539), An-Nasaa'i (3/180) Ibnu Majah (1307) dan Ahmad
(5/84 dan 85).<br />
[4]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah -tatkala bertemu hari Id
dengan hai Jum'at- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
(1 hadits) "Artinya : Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari
raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat Id) maka dia telah
tercukupi dari shalat Jum'at ...." [Diriwayatkan Abu Daud (1073) dan
Ibnu Majah (1311) dan sanadnya hasan. Lihat "Al-Mughni" (2/358) dan
"Majmu Al-Fatawa" (24/212).<br />
[5]. Telah lewat penyebutan dalilnya. Lihat "Nailul Authar" (3/382-383) dan "Ar-Raudlah An-Nadiyah" (1/142).<br />
<br />
Sumber : <a href="http://www.almanhaj.or.id%20/">www.almanhaj.or.id </a></div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-85171236623825517582011-12-04T12:29:00.001+08:002011-12-04T12:29:52.885+08:00Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Berpijak Berdasarkan Al-Kitab Dan As-Sunnah Dengan Pemahaman Ulama Salaf<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik<br />
Bagian Terakhir dari Enam Tulisan [6/6]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KAIDAH KEEMPAT.<br />
<br />
BERPIJAK BERDASARKAN AL-KITAB DAN AS-SUNNAH DENGAN MENGUTAMAKAN
PEMAHAMAN ULAMA SALAF DAN MENJADIKAN AKAL MEREKA TUNDUK KEPADA NASH-NASH
KEDUANYA<br />
Kaidah ini memiliki peran besar dalam pokok-pokok manhaj salaf. Inilah
kaidah yang menjadi pemisah antara Ahlu Sunnah dengan Ahlul Bid'ah,
walaupun semuanya mengaku mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah.<br />
<br />
Pengikut manhaj ahlul-kalam berseru : "Kami ittiba' kepada Al-Kitab dan
As-Sunnah". Pengikut manhaj sufi juga berseru : "Kami ittiba' kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah". Pengikut manhaj salaf pun berseru : "Kami
ittiba' kepada Al-Kitab dan As-Sunnah".<br />
<br />
Para pengikut manhaj ahlul-kalam memang mengikuti Al-Kitab dan
As-Sunnah, akan tetapi mereka menjadikan nash-nash Al-Qur'an dan
Al-Hadits tunduk pada tuntutan akal pikiran mereka. Dengan demikian
mereka sebenarnya telah meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.<br />
<br />
Para pengikut manhaj sufiyah juga mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah,
namun mereka menjadikan nash-nash keduanya tunduk kepada
pemahaman-pemahaman tertentu dalam kaitannya dengan penafsiran tentang
hidup dan zuhud, kemudian berpaling dari kenikmatan-kenikmatan hidup.
Dengan demikian mereka pun meninggalkan manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah.<br />
<br />
Adapun para pengikut manhaj salaf, merekalah orang-orang yang
benar-benar berpijak berdasar Al-Kitab dan As-Sunnah dengan mengutamakan
pemahaman ulama salaf dan menjadikan akal mereka tunduk kepada
nash-nash keduanya. Mereka menyesuaikan kehidupannya sesuai dengan
tuntunan Al-Kitab dan As-Sunnah dan membatasi pandangan (teori) mereka
tentang hidup serta kenikmatannya selaras dengan pengarahan Al-Kitab dan
As-Sunnah.<br />
<br />
Jadi merekalah orang-orang yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah,
baik aqidah, manhaj, syari'ah maupun perilakunya. Dalil dari standard
ini telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.<br />
<br />
Berikut ini adalah penjelasan tentang manhaj shahabat yang telah
mendapat ridha dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Al-Amin
Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Pertama kali dalam menetapkan manhaj shahabat tersebut, kita mulai
dengan firman Allah Tabaraka wa Ta'ala tentang para shahabat Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang beriman
dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka ; kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia
Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud ......" [Al-Fath : 29]<br />
<br />
"Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. itulah kemenangan yang besar ". [At-Taubah : 100].<br />
<br />
Jadi mereka ridha terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka
berupa Al-Qur'an dan berupa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Allah pun telah ridha kepada mereka disebabkan apa yang telah mereka
kerjakan. Yakni, berupa ibadah dan ketaatan yang hanya ditujukan kepada
Allah semata, ittiba' kepada Rasul-Nya yang menyebarluaskan dakwah
Islamiyyah serta penyebaran sunnah nabawiyyah dan pengamalannya.<br />
<br />
Wallahu 'alam bish-shawaab<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H
diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah
edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-20846193846676954972011-11-26T21:19:00.001+08:002011-11-26T21:19:46.200+08:00Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Mencari Pembuktian Berdasarkan Ayat Al-Qur'an Dan Hadits Nabi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik<br />
Bagian Kelima dari Enam Tulisan [5/6]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KAIDAH KETIGA<br />
<br />
MENCARI PEMBUKTIAN BERDASARKAN AYAT-AYAT AL-QUR'AN DAN HADITS-HADITS NABI<br />
Mencari Pembuktian Menurut Pola-Pola Al-Qur'an.<br />
Sesungguhnya Al-Qur'an Al-'Azhim mempunyai pola tersendiri yang khusus
untuk mencari pembuktian. Barang siapa yang menempuh pola ini, niscaya
ia sampai kepada kebenaran hakiki yang meyakinkan. Diantara pola
Al-Qur'an yang paling utama dalam mencari pembuktian ialah memperhatikan
tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada langit dan bumi, dan upaya
menyingkap rahasia-rahasia mahluk.<br />
<br />
Melalui ayat-ayat-Nya yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memerintahkan agar manusia berpikir tentang penciptaan langit dan bumi.
Di antara firman Allah :<br />
<br />
"Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir " [Al-Baqarah : 219].<br />
<br />
"Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan
berdiri dan duduk, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata) : "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api
Neraka". [Ali-Imran : 191].<br />
<br />
"Artinya : Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana)
yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy dan menundukkan
matahari dan bulan masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan.
Allah mengatur urusan (mahluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) supaya kamu meyakini pertemuanmu dengan Rabb-mu. Dan
Dialah Rabb yang membentangkan bumi, menjadikan gunung-gunung dan
sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan
berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir. Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan,
dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang
dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan
sebahagian tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berakal". [Ar-Ra'du : 2-4].<br />
<br />
"Artinya : Katakanlah :"Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..." [Yunus : 101].<br />
<br />
Ayat-ayat yang memerintahkan untuk memikirkan kejadian alam semesta ini
banyak. Ayat-ayat yang akan membangkitkan akal, menggerakkan pikiran,
mengundang perhatian dan memotivasi perenungan serta penghayatan.<br />
<br />
Semua itu termasuk wasilah (sarana) terkuat untuk sampai pada pemahaman
terhadap hakikat kebenaran hingga hasilnya akan memperkokoh iman dan
menanamkan keyakinan yang dalam terhadap Al-Khalik yang maha Agung.
Sayangnya pola Al-Qur'an ini diharamkan oleh pengikut manhaj
ahlul-kalam. Mereka tidak mau diikat dengan pola-pola Al-Qur'an dalam
memperkokoh keimanan dan memantapkan keyakinan.<br />
<br />
Sesungguhnya, berkaitan dengan cara memahami masalah aqidah, dalam hal ini terdapat dua manhaj yang saling berlawanan :<br />
<br />
Manhaj Qur'ani Nabawi, yaitu manhaj-nya para Rasul dan para Nabi.<br />
Manhaj Falsafi 'Aqlani (memperturutkan filsafat dan akal), yaitu manhaj-nya kaum filosof dan kaum ahlu kalam.<br />
<br />
Manhaj Qur'ani -sebagaimana dapat dilihat- akan menghentikan akal
manusia pada hakikat kebenaran itu tuntas dan tidak akan guncang
keraguan sedikitpun setelah datangnya iman dan pembenaran. Manhaj ini
dengan segala keluhuran serta kekuatannya adalah manhaj yang mudah,
memberikan jaminan hasil dan juga akan menambah akal semakin terbuka
wawasan serta daya pandangnya.<br />
<br />
Sedangkan manhaj falsafi adalah manhaj yang mempunyai jalan berliku-liku
yang ruwet, memusingkan akal dengan persoalan-persoalan yang
membingungkan, mebebani pemikiran dengan analogi-analogi logika yang
membosankan dan amat potensial untuk menjerumuskan akal pikiran kedalam
lubang-lubang kesalahan yang merupakan jebakan yang dipasang oleh para
penentangnya.<br />
<br />
Oleh sebab itulah, persoalan aqidah bagi kaum filosof dan orang-orang
yang terpengaruh oleh mereka dari kalangan ahlu kalam, merupakan sebuah
kebingungan yang menimbulkan sangkaan-sangkaan, serta membingungkan akal
pikiran. Persoalan-persoalan aqidah yang berdasarkan manhaj mereka itu
tidak memberikan ilmu dan tidak menambahkan keyakinan apapun. Ia adalah
sebuah jalan antara al-haq dengan kebatilan yang bercampur aduk di
dalamnya.<br />
<br />
Adapun pola-pola ahlul kalam, sebenarnya bersumber dari pola-pola
filsafat, walaupun dalam prilakunya agak berbeda, sebab kaum filosof
tidak mempercayai wahyu dan kenabian, sehingga mereka benar-benar
bersandar pada akalnya semata. Sedangkan ahlul kalam, mereka masih
mempercayai wahyu dan kenabian, hanya saja mereka berupaya untuk
menjadikan wahyu tunduk pada akal. Mereka tidak mau menundukkan akalnya
kepada nash-nash wahyu.<br />
<br />
Menurut ahlul kalam, landasan utama dalam polanya adalah mendahulukan
akal atas syara'. Oleh karena itulah mereka berkonsentrasi untuk
menta'wilkan nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut kemauan akal
mereka dengan bertumpu pada debat dan logika.<br />
<br />
Jadi cara-cara mereka mirif kaum filosof. Cara-cara itu tidak akan
memberikan jaminan hasil (yang benar -red) disebabkan berbaurnya
khayalan-khayalan akal dalam berbagai pembahasan serta kajian
permasalahannya. Dengan demikian, sebagai (hasil) akhirnya adalah
kebigungan menghadapi tantangan keragu-raguan dan sama sekali tidak
layak untuk memutuskan permasalahan iman dan i'tiqaad.<br />
<br />
Adapun pola kenabian, adalah pola Al-Qur'an itu sendiri. Tetapi, dengan
uslub (cara pemaparan) yang sedikit berbeda dilihat dari segi kemudahan
dan banyaknya. Namun, memiliki kekuatan petunjuk, kekokohan hujjah dan
kedalaman keyakinan. Pola kenabian ini mempunyai pengaruh nyata dan
jelas dalam memahamkan aqidah yang benar, dalam menyingkirkan setiap
syubhat yang mengacaukan pemikiran disebabkan pengaruh bisikan-bisikan
setan, dalam menanamkan keyakinan pada jiwa dan dalam menyebarluaskan
sinar keimanan ke dalam relung-relung hati.<br />
<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H
diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah
edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-7504054732850268182011-11-19T22:11:00.001+08:002011-11-19T22:11:01.678+08:00Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Ta'wil Bisa Dibenarkan Bila Maksudnya Tafsir<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik<br />
Bagian Keempat dari Enam Tulisan [4/6]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TA'WIL BISA DIBENARKAN BILA MAKSUDNYA TAFSIR <br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan[1] : "Sesungguhnya
lafal ta'wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni
Ahlul Kalam), bukanlah ta'wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang
diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir
terdahulu.<br />
<br />
Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur'an terdahulu memahami lafal ta'wil
dengan maksud tafsir. Ta'wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama
yang mengetahui tafsir Al-Qur'an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid,
imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh
tafsir Al-Qur'an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan
tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : "Sesungguhnya
orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-'Ilmi) jika
memahami tentang ta'wil, maka maksud ta'wil itu adalah tafsir yang telah
disebutkan Ibnu Abbas padanya".<br />
<br />
Adapun lafal ta'wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya
adalah "hakikat", yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan.
Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah
Ta'ala, misalnya ta'wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh
Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri
(hakikat kejadiannya). Ta'wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai
Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat
Maha Tinggi. Ta'wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah Ta'ala sendiri.<br />
<br />
Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :"Istiwa' telah dimaklumi
(maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat
diketahui)". Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan
tentang Istiwa'. Inilah yang disebut ta'wil dalam arti tafsir, yaitu
memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat
merenungi, memahami dan mengerti.<br />
<br />
Sedangkan perkataan mereka "Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul
(tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta'wil yang hanya bisa
diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu
mahluk pun dapat mengetahuinya".<br />
<br />
Pada tempat lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula
[2] : " ...... Sesungguhnya yang dimaksud dengan lafal ta'wil dalam
Al-Qur'an ialah hakikat suatu perkara, meskipun hakikat itu sama dengan
makna yang ditunjukan dan dipahami dari zhahirnya lafadz".<br />
<br />
Terkadang pula yang dimaksud dengan ta'wil adalah penafsiran dari suatu
perkara serta penjelasan maknanya, walaupun penjelasan makna itu sama
dengan lafal perkataan tadi. Dan istillah ta'wil dengan makna kedua
inilah yang menjadi istilahnya mufassir terdahulu seperti Mujahid dan
lain-lain. Tetapi istilah ta'wil kadang juga dimaksudkan dengan
pengalihan suatu lafal dari kandungan makna yang rajih menuju
kemungkinan makna yang marjuh disebabkan ada suatu dalil yang
mengiringinya.<br />
<br />
Pengkhususan istilah ta'wil dengan makna terakhir ini hanya ada pada
pembicaraan kaum muta'akhirin. Adapun para shahabat, tabi'in dan semua
imam-imam kaum muslimin, seperti imam yang empat dan imam yang lain,
mereka tidak menghususkan istilah ta'wil tersebut untuk makna yang
terakhir itu, tetapi yang mereka kehendaki dengan ta'wil adalah makna
yang petama dan kedua.<br />
<br />
Oleh karena itulah, sekelompok orang-orang muta'akhirin berprasangka
bahwa lafal (kalimat) ta'wil pada Al-Qur'an atau Hadits hanya bermakna
khusus menurut pengertian terakhir tersebut, seperti dalam firman Allah :<br />
<br />
"Artinya : ...Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Rabb kami".
[Ali-Imran : 7].<br />
<br />
Mereka meyakini bahwa waqaf (bacaan berhenti) pada ayat diatas adalah pada :<br />
<br />
"Artinya : .. Dan tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah".<br />
<br />
Sebagai akibat dari prasangka mereka tersebut, mereka terjebak dalam
keyakinan bahwa ayat-ayat seperti di atas dan hadits-hadits Nabi,
mempunyai makna-makna yang berlainan dengan makna yang langsung bisa
dipahami dari lafal nash tersebut. Sementara itu makna yang dikehendaki
dari nash tersebut tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah saja. Bahkan
Malaikat yang turun membawa Al-Qur'an yakni Jibril, dan Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam pun tidak bisa mengetahui makna-maknanya.
Begitu pula nabi-nabi lain, para shahabat serta para tabi'in.<br />
<br />
Menurut keyakinan mereka, bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca firman-firman Allah berikut :<br />
<br />
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas 'Arsy". [Thaha : 5].<br />
<br />
"Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik". [Faathir : 10].<br />
<br />
"Artinya : .... tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka". [Al-Maidah : 64].<br />
<br />
Dan ayat-ayat lainnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengerti makna-maknanya. Bahkan (menurut persangkaan mereka) beliau
sendiripun tidak memahami kata-katanya sendiri ketika bersabda :<br />
<br />
"Artinya : Rabb kita turun ke langit dunia pada tiap-tiap malam ...." [Hadits Riwayat Bukhari, Juz 2: 25].<br />
<br />
Bahkan makna yang langsung dapat dimengerti dari nash di atas, tidak
dapat dimengerti kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selanjutnya
mereka beranggapan bahwa cara-cara semacam ini adalah caranya kaum
salaf".<br />
<br />
Kemudian pada tempat yang lain lagi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata[3] : "Ayat-ayat yang disebut oleh Allah sebagai ayat-ayat
mutasyabihat yakni yang tidak dapat diketahui ta'wil-nya kecuali oleh
Allah ; yang dimaksud "tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah"
hanyalah pengetahuan tentang tafsir dan maknanya. Sebagaimana hanya
ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah :<br />
<br />
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa') di atas 'Arsy". [Thaha : 5].<br />
<br />
"Bagaimana Ar-Rahman ber-istiwa' (bersemayam) ?" Beliau menjawab :
"Al-Istiwa' telah dipahami (maknanya), sedangkan Al-Kaif (bagaimana
hakikat istiwa' [bersemayam] tidak dapat diketahui (majhul). Beriman
terhadap istiwa'-Nya wajib dan bertanya tentang "Bagaimana (hakikat)nya
adalah bid'ah". Demikian pula sebelumnya, Rabi'ah dan Ibnu 'Uyainah pun
telah memberikan jawaban serupa dengan jawaban Imam Malik.<br />
<br />
Imam Malik telah menjelaskan bahwa makna istiwa' telah dipahami,
sedangkan kaifiyah (cara istiwa-Nya) adalah majhul (tidak dapat
dimengerti).<br />
<br />
Dengan demikian kaif (hakikat) yang majhul inilah di antara arti ta'wil
yang tidak dapat dimengerti melainkan oleh Allah semata. Adapun makna
yang dapat dipahami (diketahui) baik istiwa maupun yang lainnya, maka
itu adalah ta'wil yang bermakna tafsir yang telah dijelaskan maknanya
oleh Allah dan Rasul-Nya.<br />
<br />
Allah Ta'ala telah memerintahkan supaya kita menghayati Al-Qur'an dan
telah memberitakan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an untuk dipahami.
Sedangkan penghayatan serta pemahaman tidak mungkin akan bisa
dilaksanakan melainkan jika si pembaca menjelaskan maksud
pembicaraannya. Adapun apabila seseorang berbicara dengan lafal-lafal
yang mengandung banyak makna, lalu dia menjelaskan maksudnya, tentu
pembicaraannya tidak mungkin bisa dipahami dan dihayati.<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H
diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah
edisi 13/Th II/1416H - 1995M]<br />
_________<br />
Foote Note.<br />
[1]. Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim<br />
[2]. Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/14-15<br />
[3]. Dar'u Ta'arudh Al-Aql wa An-naql. Ibnu Taimiyah, jilid I/9
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-42914204849179585932011-11-13T15:16:00.001+08:002011-11-13T15:16:52.057+08:00Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Tidak Mempertentangkan Nash-Nash Wahyu Dengan Akal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik<br />
Bagian ketiga dari enam tulisan [3/6]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KAIDAH KEDUA<br />
<br />
TIDAK MEMPERTENTANGKAN NASH-NASH WAHYU DENGAN AKAL<br />
Semua firqah ahli kalam yang suka menakwilkan sifat-sifat Allah,
ternyata satu sama lain saling bertentangan, dan secara diametral
pendapat-pendapatnya saling berlawanan sama sekali.<br />
<br />
Untuk membuktikan hal itu, kita tidak perlu pergi terlalu jauh, lihat
saja misalnya, di dalam kitab Kubra al-Yaqiniyat al-Kauniyah bagaimana
cara ahlu kalam yang tercermin pada ta'wil nya terhadap sifat istiwa'
dalam firman Allah Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : (Yaitu) Rabb Yang Maha Rahman, yang bersemayam (ber-istiwa) di atas "Arsy". [Thaha : 5].<br />
<br />
Dalam kitab ini, istiwa' di ta'wil-kan dengan taslith al-quwwah wa as-sulthan (menangnya kekuatan serta kekuasaan-Nya)".<br />
<br />
Kita perhatikan ta'wil itu berbeda bahasanya dengan ta'wil-nya kaum
Asy'ariyah terhadap istiwa' tersebut yaitu istiila' (berkuasa), ta'wil
yang juga dilakukan oleh kaum Jahmiyah dan Mu'tazilah. Namun model
ta'wil dalam buku Kubra al-Yaqiniyat itu tidak menggunakan istilah
istiila, melainkan dengan istilah Taslith al-Quwwah wa as- Sulthan.<br />
<br />
Tentu ini merupakan kata-kata yang bejat, sebab konsekwensi dari
kata-kata itu menunjukan bahwa 'Al-Arsy tidak masuk dalam kekuasaan
Allah, sebelum Allah ber- 'istiwa (bersemayam) di atasnya. Penulis buku
tersebut (Said Ramdhan al-Buthi, -pen-) bisa terperosok pada pemahaman
yang rusak.<br />
<br />
Hal ini dikarenakan ia tidak ridha terhadap apa yang ditempuh oleh kaum
salaf dalam mengimani sifat 'istiwa. Walaupun sebenarnya hanya
mengemukakan pernyataan madzhab khalaf (lawan salaf, pen), yakni
orang-orang Asy'ariyah. Akan tetapi kenyataannya ia setuju dengan
madzhab tersebut. Hal itu terbukti dengan pernyataannya : "Itulah makna
yang jelas, yang bisa dimengerti menurut bahasa Arab" [1]<br />
<br />
Selanjutnya ia melegitimasi manhaj kalam dengan pernyataannya sebagai
berikut : "Mereka menafsirkan al-Yad (tangan) dalam ayat lain dengan
"kekuatan dan kemurahan", al-'Ain (mata) dengan "pertolongan dan
pemeliharaan", dan menafsirkan al-Ishba'ain (dua jari-jari) yang
terdapat dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya No. 2654,
dengan "kehendak dan kekuasaan". Begitulah seterusnya. Mereka
merubah-rubah sifat-sifat Allah Ta'ala tanpa disertai sebuah dalilpun,
baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah.<br />
<br />
Berdasar inilah, maka salah satu kaidah manhaj salaf ialah menolak
ta'wil model ahlu kalam. Dan cukuplah bagi para pengikut manhaj salaf
satu ketetapan, yaitu ilitizam kepada perintah Allah Ta'ala berikut :<br />
<br />
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui". [Al-Hujuraat : 1].<br />
<br />
Oleh sebab itulah, tiada dijumpai seorangpun di antara mereka yang
mempertentangkan nash-nash wahyu dengan akal. Apabila mengetahui suatu
perkara dari ajaran agama, maka ia akan melihat kepadanya yang dikatakan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Dari sanalah ia belajar, dengannyalah ia
berkata, mengenainyalah ia merenung dan berpikir dan dengannyalah ia
berdalil.<br />
<br />
Berkebalikan dengan manhaj ini, di sana di ujung seberang yang sama
sekali berlawanan, berdiri tegaklah para penganut manhaj ilmu kalam yang
mempercayakan sandarannya kepada ra'yu (pendapatnya). Sesudah ra'yu,
mereka memperhatikan al-Qur'an dan as-Sunnah. Apabila didapati nash-nash
tersebut bersesuaian dengan akal, mereka ambil nash-nash itu. Tetapi,
jika mereka dapati bertentangan, maka akan mereka singkirkan atau mereka
otak-atik dengan ta'wil. [2]<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H
diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah
edisi 13/Th II/1416H - 1995M]<br />
_________<br />
Foote Note.<br />
[1]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Dar'u Ta'arudh al-Aql wa
an-Naql, jilid 5/382, mengatakan :"Adapun ta'wil dalam arti 'mengalihkan
satu lafal dari kandungan makna yang rajih (benar) menuju kemungkinan
makna yang marjuh (tidak rajih/tidak benar), seperti 'istiwa menjadi
istaula, dan seterusnya maka hal ini menurut kaum salaf dan para imam
jelas merupakan kebatilan. Hakikatnya tidak ada sama sekali, bahkan hal
ini meruapak tahrif (mengubah) kata-kata dari yang semestinya dan
termasuk ilhad (ingkar) terhadap Asma' Allah serta ayat-ayat-Nya.".<br />
[2]. Risalah al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil, Ibnu Taimiyah, hal.47.
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-74705842535454307342011-11-07T19:48:00.000+08:002011-11-07T19:48:18.021+08:00Pokok-Pokok Manhaj Salaf : Mendahulukan Syara Atas Akal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik<br />
Bagian kedua dari enam tulisan [2/6]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
KAIDAH PERTAMA<br />
<br />
MENDAHULUKAN SYARA ATAS AKAL [1]<br />
Kaidah yang paling pertama ialah ittiba' kepada as-salafu ash-shalih
dalam memahami, menafsiri, mengimani serta menetapkan sifat-sifat
ilahiyah tanpa takyif (bertanya atau menetapkan hakekat bagaimananya)
dan tanpa ta'wil (membuat perubahan lafadz/maknanya), juga dalam
menetapkan persoalan-persoalan aqidah lainnya, dan menjadikan generasi
pertama sebagai panutan dalam berpikir maupun beramal.<br />
<br />
Jadi pertama kali Al-Qur'an dan Hadits, selanjutnya berqudwah (mengikuti
jejak dan mengambil suri teladan) kepada para shahabat nabi, sebab di
tengah-tengah merekalah wahyu turun. Dengan demikian, mereka (para
shahabat) adalah orang-orang yang paling memahami tafsir Al-Qur'an, dan
lebih mengerti tentang ta'wil (tafsir) Al-Qur'an dibandingkan dengan
generasi-generasi berikutnya. Mereka satu dalam hal ushuluddin, tidak
berselisih mengenainya, dan tidak terlahir dari mereka hawa nafsu-hawa
nafsu dan bid'ah [2].<br />
<br />
Dari sanalah lahir ciri yang dominan pada pengikut manhaj salaf. Mereka
adalah ahlul hadits, para ulama penghafal (hafidz) hadits, para perawi
serta para alim hadits yang ittiba' pada atsar. (Itulah jalannya kaum
mukminin). Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :<br />
<br />
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin.
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan kami masukan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk tempat
kembali". [An-Nisaa' : 115].<br />
<br />
Jadi mereka berbeda dengan kaum mutakallimin (ahlul kalam), sebab mereka
(pengikut manhaj salaf) selalu memulai dengan syara'. kitab was-sunnah,
selanjutnya mereka tenggelam dalam memahami serta merenungi nas-nash
Al-Qur'an dan sunnah tersebut.<br />
<br />
Pengikut Manhaj salaf menjadikan akal tunduk kepada Kitabullah dan
sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini maka akal yang
sehat tidak mungkin bertentangan dengan naql (nash) yang shahih.
Apabila terjadi pertentangan, maka nash yang shahih harus didahulukan
atas akal, sebab nash-nash Al-Qur'an bersifat ma'shum (terjaga) dari
kesalahan, dan nash-nash sunnah bersifat ma'shum (terjaga) dari hawa
nafsu.<br />
<br />
Oleh karenanya sikap mendahulukan Al-Qur'an dan Sunnah atas akal-akal
bagi kaum salaf merupakan pemelihara dari perselisihan serta kekacauan
dalam aqidah dan agama.<br />
<br />
Sesuatu yang masuk akal menurut manhaj salaf adalah sesuatu yang sesuai
dengan Al-Kitab was-Sunnah, sedangkan sesuatu yang tidak masuk akal
(majhul) adalah sesuatu yang menyalahi Al-Qur'an was Sunnah. Petunjuk
(hidayah) ialah sesuatu yang selaras dengan manhaj shahabat, dan tidak
ada jalan lain untuk mengenali petunjuk serta pola-pola shahabat
melainkan atsar-atsar ini. [3]<br />
<br />
Prinsip-prinsip aqidah bagi pengikut manhaj salaf nampak jelas pada
keimanannya terhadap sifat-sifat dan Asma' Allah Ta'ala ; tanpa membuat
penambahan, pengurangan, ta'wil yang menyalahi zhahir nash dan tanpa
membuat penyerupaan dengan sifat-sifat mahluk, tetapi membiarkannya
sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Kitabullah Ta'ala serta sunnah
Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan kaifiyah (hakikat
bagaimana)nya mereka kembalikan kepada Dzat yang telah memfirmankannya
sendiri. [4]<br />
<br />
Melalui konteks ini kita mesti paham cara-cara salaf dalam menjadikan
akal tunduk kepada nash, baik nash itu berupa ayat Al-Qur'an maupun
berupa sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan sebaliknya.
Berbeda dengan manhaj kaum ahlul kalam dari kalangan Mu'tazilah,
Maturidiyah dan Asy'ariyah yang lebih mendahulukan akal daripada nash.
Sedangkan nash mereka ta'wil kan hingga sesuai dengan akal.<br />
<br />
Tentu saja hal ini berarti memperkosa nash agar sesuai tuntutan akal.
Padahal mestinya hukum-hukum akal-lah yang wajib diserahkan keputusannya
kepada nash-nash al-Kitab maupun Sunnah. Jadi, apa saja yang ditetapkan
oleh Al-Qur'an dan Sunnah, kitapun harus menetapkannya. Sedangkan apa
saja yang dikesampingkan oleh keduanya, kitapun harus menolaknya.<br />
<br />
Sesungguhnya, ta'wil menurut kaum ahlu kalam dan kaum filosofis pada
umumnya mengandung tuntutan untuk menjadikan akal sebagai sumber syara',
mendahului nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu jika
terlihat ada pertentangan antara nash dengan akal, maka mereka akan
mendahulukan akal, dan akan segera bergegas melakukan ta'wil terhadap
nash tersebut hingga sesuai dengan tuntutan akal. Akan tetapi manhaj
salaf kebalikannya, syara' didahulukan dan akal mengikut kepada syara'.<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menyebutkan bahwa kaum salaf
menyerahkan hukum kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi.
Mereka merasa cukup dengan nash-nash tersebut. Mereka jadikan
pemahaman-pemahaman akalnya patuh pada nash-nash itu, sebab "akal"
menurut Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam ada
sesuatu yang bisa ada jika ada pemilik (pelaku)nya. "Akal" bukanlah
dzat yang bisa berdiri sendiri seperti anggapan kaum filosof. [5]<br />
<br />
Akal tidak mampu meliputi kenyataan-kenyataan yang dijelaskan oleh
Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan
akalpun tidak kuasa untuk meliputi segenap hakikat alam kongkrit yang
telah ditemukan berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah akal itu sendiri.
Maka bagaimana mungkin akal akan dapat menjangkau kenyataan alam ghaib
?.<br />
<br />
Oleh sebab itulah, wajib hukumnya untuk pasrah kepada nash-nash
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Wajib mengimani segala apa yang dinyatakan di
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik yang menyangkut alam ghaib maupun
alam nyata. Lebih khusus lagi ayat-ayat yang menyangkut sifat-sifat
ilahiyah, maka kita wajib mengimaninya tanpa ta'wil (mengubah makna atau
lafalnya) dan tanpa ta'thil (menolak hakikatnya atau menafikannya).<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H
diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah
edisi 13/Th II/1416H - 1995M]<br />
_________ <br />
Foote Note.<br />
[1]. Qawa'id al-Manhaj as-Salafi, hal. 187. Dr. Musthafa Helmi, cet. Daar ad-Da'wah, Iskandariyah<br />
[2]. 'Aqa'id as-Salaf, karya Dr. Ali Sami an-Nasysyar, hal.309, cet. Daar al-Ma'arif. Iskandariyah.<br />
[3]. Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 309.<br />
[4]. Naqdhu al-Mantiq, Ibnu Taimiyah, hal. 3<br />
[5]. Majmu' Fatawa, jilid 9, hal. 279
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-18339018546099255692011-11-04T20:35:00.002+08:002011-11-04T20:35:36.088+08:00Pokok-Pokok Manhaj Salaf<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Khalid bin Abdur Rahman al-'Ik<br />
Bagian pertama dari enam tulisan [1/6]<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
PENDAHULUAN.<br />
Sesuatu yang pasti dan tidak mengandung keraguan sedikitpun ialah
bahwasanya manhaj salaf adalah manhaj yang bisa diterima oleh setiap
generasi dari masa ke masa. Begitulah kenyataannya di sepanjang sejarah
dan kehidupan. Hal itu disebabkan keistimewaan manhaj salaf yang
senantiasa secara benar dan mengakar dalam menggali masalah, akuratnya
penggunaan dalil (istidlal) berdasarkan petunjuk-petunjuk Qur'aniyah
serta kemampuannya menggugah kesadaran, dengan mudah bisa dicapai hingga
peringkat ilmu serta keyakinan tertinggi, disamping adanya jaminan
keselamatan untuk tidak terjatuh pada kesia-sian, khayalan, atau pada
ruwetnya tali temali salah kaprah serta benang-kusutnya ilmu kalam,
filsafat dan analogi-analogi logika.<br />
<br />
Sesungguhnya manhaj salaf adalah manhaj yang selaras dengan fitrah
manusia, sebab ia merupakan manhaj Qur'ani nabawi, Manhaj yang bukan
hasil kreasi manusia. Oleh karenanya manhaj ini senantiasa mampu menarik
kembali individu-individu umat Islam yang telah lari meninggalkan
petunjuk agamanya dalam waktu relatif singkat dan dengan usaha
sederhana, apabila dalam hal ini tidak ada orang-orang yang sengaja
menghambat dan melakukan perusakan supaya manhaj yang agung ini tidak
sampai kepada anggota-anggota masyarakat dan kelompok-kelomok umat.<br />
<br />
Untuk itulah kita dapati manhaj salaf selalu cocok dengan zaman dan
senantiasa up to date bagi setiap generasi ; itulah "jalannya kaum salaf
radhiayallahu 'alaihim". Inilah manhaj yang pernah di tempuh oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Di atas
manhaj inilah para imam mujtahid, para imam hafizh dan para imam ahli
hadits terbentuk. Dengan manhaj inipula orang-orang (dahulu) diseru
untuk kembali kepada dienullah, hingga dengan segera mereka menyambut
dan menerimanya serta masuk kedalam dienul Islam secara
berbondong-bondong.<br />
<br />
Seperti halnya manhaj ini dahulu telah mampu menciptakan "umat agung"
yang menjadi khaira ummatin ukhrijat lin-naas, sebaik-baik umat yang
ditampilkan untuk manusia, maka iapun akan senantiasa mampu berbuat
demikian dalam setiap masa. Buktinya .? itu bisa terwujud setiap saat,
jika penghambat-penghambat yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan
kehidupan manusia hingga kehilangan fitrah lurusnya dihilangkan.<br />
<br />
Tentu tidak diragukan lagi, bahwa ajakan untuk mengikuti jejak as-salafu
ash-shalih harus menjadi ajakan (dakwah) yang terus menerus dilakukan.
Dakwah ini secara pasti akan tetap selaras dengan kehidupan modern,
sebab merupakan ajakan yang hendak mengikat seorang mukmin dengan
sumber-sumber yang murni dan melepaskan diri dari berbagai belengu
taklid yang membuat fanatik terhadap ra'yu (pendapat), kemudian
mengembalikannya kepada Kitabullah serta sunnah Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam.<br />
<br />
"Artinya : Katakanlah : 'Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul ;
dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah
apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya,
niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu
melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". [An-Nuur : 54].<br />
<br />
Jadi dakwah salafiyah selamanya bisa selaras bagi pelaku tiap-tiap
zaman, karena dakwah salafiyah datang ketengah manusia dengan membawa
sumber-sumber minuman rohani yang paling lezat dan murni. Dakwah
salafiyah datang dengan membawa sesuatu yang bisa memenuhi kekosongan
jiwa dan bisa menerangi relung-relung hati yang paling dalam. Maka
dakwah salafiyah ini tidak akan membiarkan jiwa terkuasai oleh
ambisi-ambisi hawa nafsu melainkan pasti dibersihkannya, dan tidak akan
membiarkan hati tertimpa oleh lintasan kebimbangan sedikitpun kecuali
pasti disucikannya, sebab dakwah salafiyah ini tegak berdasarkan
i'tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam, sesuai dengan apa yang dipahami oleh
as-salafu-as-shalih.<br />
<br />
Tiap pendapat orang, bisa diambil atau bisa ditolak kecuali apa yang
telah dibawakan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Maka apa yang dibawa oleh beliau harus diambil dan tidak boleh
ditolak, sebab itu ma'shum berasal dari Allah Ta'ala.<br />
<br />
"Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurutkan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang di wahyukan (kepadanya) ".
[An-Najm : 3-4].<br />
<br />
Dengan manhaj yang lurus ini, kaum mukminin akan terbebas dari
tunggangan-tunggangan hawa nafsu yang telah bertumpuk-tumpuk menunggangi
generasi demi generasi.<br />
<br />
Manhaj salaf telah secara jelas memasang petunjuk bagi setiap dakwah
yang betul-betul ikhlas bertujuan memperbaharui perkara umat yang telah
menjadi amburadul, hingga dengannya bisa betul-betul mampu memperbaharui
perkara agama ini dalam kehidupannya dan mampu mengencangkan ikatan
iman umat berdasarkan dua sumber :"Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya"
ditambah dengan kaidah yang sama sekali tidak bisa dikesampingkan, yaitu
" Sesuai dengan apa yang dipahami oleh as-salafu ash-shalih".<br />
<br />
Setiap dakwah yang dengan dalih apapun berusaha memperlonggar persoalan
"ikatan temali yang kokoh" di atas, berarti ia hanyalah dakwah yang
terwarnai oleh syubhat-syubhat kesesatan dan ternodai oleh penyimpangan.<br />
<br />
Sesungguhnya tauhidul-ibadah yang murni betul-betul untuk Allah Ta'ala,
tergantung pada rujukannya kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala befirman :<br />
<br />
"Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang". [At-Taghaabun : 12].<br />
<br />
Dalam ayat lain Allah berfirman :<br />
<br />
"Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan". [An-Nisaa' : 65].<br />
<br />
Pada ayat di atas Allah Ta'ala bersumpah dengan Diri-Nya yang Maha Suci
bahwasanya tidaklah seseorang beriman sebelum ia menjadikan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hakim dalam semua urusan.<br />
<br />
Apa saja yang diputuskan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
berarti merupakan kebenaran yang wajib untuk dipatuhi secara lahir
maupun batin.<br />
<br />
Oleh sebab itulah Allah memerintahkan untuk menyerah (taslim) pada putusan Rasul pada firman Allah berikutnya :<br />
<br />
"Artinya : Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu (Muhammad) berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya". [An-Nisaa' : 65].<br />
<br />
Dengan demikian, tidak boleh ada sikap enggan, sikap menolak atau sikap
menantang terhadap segala yang disunnahkan atau diputuskan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Ta'ala memperingatkan
dalam firman-Nya.<br />
<br />
"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya". [Al-Anfaal : 13].<br />
<br />
Lalu, apa lagi yang lebih dikehendaki oleh orang-orang modern dewasa ini
dibandingkan dengan kemerdekaan aqidah, kemerdekaan jiwa, kemerdekaan
individu dan kemerdekaan jama'i (bersama-sama) yang ditumbuhkan oleh
sikap mentauhidkan Allah, baik secara rububiyah maupun uluhiyah,
kemerdekaan yang ditimbulkan oleh tauhidul-hidayah dan manunggalnya
ketaatan serta kepatuhan hanya kepada perintah Pencipta Alam dan
perintah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam ?.<br />
<br />
Dengan tauhid yang shahih inilah, kaum mukminin akan terbebaskan
(merdeka) dari sikap mengekor terhadap setiap orang yang mempunyai
kekuatan, dari setiap belengu hawa nafsu dan dari setiap kesempitan
taklid yang memenjarakan akal dan mempersempit cara berpikir.<br />
<br />
Karena keistimewaan-keistimewaan langka inilah, maka manhaj salaf akan
senantiasa selaras dengan tuntutan segala zaman dan akan bisa diterima
oleh setiap generasi.<br />
<br />
KAIDAH SERTA POKOK-POKOK MANHAJ SALAF.<br />
Kaidah-kaidah berikut ini menggambarkan tentang prinsip-prinsip manhaj
talaqi (sistem mempelajari, mengkaji dan memahami) aqidah islamiyah, dan
tentang pokok-pokok bantahan terhadap aqidah selain Islam melalui
dalil-dalil Al-Qur'an serta petunjuk-petunjuk nabawi.<br />
<br />
Ketika firqah-firqah mulai bermunculan di tengah barisan kaum muslimin
dengan segala pemikirannya yang berbeda-beda dan saling berlawanan, maka
masing-masing pelakunya berupaya melakukan pengadaan dalil-dalil serta
argumentasi-argumentasi, -yang sebenarnya hanya membebani kebanyakan
mereka saja- untuk mempertahankan teori-teori filsafat hasil temuan
mereka masing-masing yang mereka yakini kebenarannya. Diantara sejumlah
dalil yang mereka kemukakan ialah : mengaku-ngaku sebagai pengikut
as-salafu ash-shalih.<br />
<br />
Oleh karena itu seyogyanyalah diadakan penjelasan mengenai kaidah-kaidah
manhaj salaf, supaya dibedakan antara orang-orang yang sekedar
mengaku-ngaku salafi dengan orang-orang yang sebenar-benarnya pengikut
as-salafu ash-shalih.<br />
<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Salafiyah, edisi I, tahun I, 1415H
diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dan dimuat di majalah As-Sunnah
edisi 13/Th II/1416H - 1995M]
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-48409598457330723042011-10-29T23:21:00.000+08:002011-10-29T23:21:09.237+08:00Waktu Pemberian Nama Anak Dan Hukum Merayakan Pemberian Nama Anak<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta<br />
<br />
<br />
<br />
Pertanyaan<br />
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Hari apa
yang paling utama untuk menamai anak, sesudah kelahirannya langsung atau
pada hari ke tujuh? Apakah boleh dirayakan bersama dengan orang-orang
yang tercinta, para sahabat dan tetangga ?<br />
<br />
Jwaban<br />
Waktu penamaan anak cukup longgar. Boleh menamainya pada hari
kelahirannya atau pada hari ke tujuh, masing-masing memiliki dasar
hukumnya. Imam Al-Bukhari dan Muslim membawakan suatu hadits dari Sahl
bin Sa’d As-Sa’idi, dia berkata.<br />
<br />
“Al-Mundzir bin Usaid dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada hari kelahirannya. Rasulullah memangkunya. Sedangkan
ayahnya duduk. Rasulullah memainkan sesuatu di hadapan sang bayi. Abu
Usaid meminta orang lain untuk mengambil Usaid dari pangkuan Rasulullah.
Maka diambillah bayi itu dari pangkuan Rasulullah, Rasulullah bertanya :
“Dimana bayinya”. Abu Usaid menjawab : “Kami pindahkan wahai
Rasulullah”. Lalu beliau bertanya : “Siapa namanya?”. Ayahnya menjawab :
“Fulan”. Rasulullah menyanggah : “Tidak, namanya (yang tepat)
Al-Mundzir”.<br />
<br />
Dalam Shahih Muslim dari hadits Sulaiman bin Al-Mughirah dari Tsabit
dari Anas, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
“Malam ini bayiku lahir, Aku beri nama mirip nama moyangku, Ibrahim”.<br />
<br />
Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan Ahlus Sunnah meriwayatkan, ia berkata : “Rasulullah bersabda :<br />
<br />
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ke
tujuh (kelahirannya) sekaligus dinamai dan dicukur rambut kepalanya”
[At-Tirmidzi menetapkan hadits ini Hasan Shahih]<br />
<br />
Wabillahit taufiq. Washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.<br />
<br />
[Fatawa Islamiyah 4/489]<br />
<br />
HUKUM MERAYAKAN PEMBERIAN NAMA ANAK<br />
<br />
Pertanyaan<br />
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Apakah
boleh orang-orang yang tercinta, tetangga dan kawan-kawan berkumpul pada
hari penamaan bayi? Apakah ini bid’ah dan kekufuran?<br />
<br />
Jawaban<br />
Merayakan hari pemberian nama kepada bayi bukan sunnah Nabi, juga tidak
pernah terjadi pada sahabat semasa Nabi masih hidup. Barangsiapa
melakukannya dengan keyakinan sebagai bagian dari ajaran Islam, maka ia
telah berbuat perkara baru dalam agama. Dan ini adalah suatu bid’ah yang
tertolak darinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.<br />
<br />
“Artinya : Barangsiapa membuat perkara baru dalam agama kami yang bukan darinya maka akan tertolak”<br />
<br />
Tetapi ini bukan tindakan kufur.<br />
<br />
Jika perkumpulan itu hanya sekedar ekspresi kegembiraan dan kebahagian
atau undangan makan daging aqiqah, tidak dilakukan sebagai sunnah, maka
tidak masalah. Telah diriwayatkan dari Rasulullah secara shahih riwayat
yang menunjukkan disyariatkannya penyembelihan hewan aqiqah dan penamaan
bayi pada hari ke tujuh.<br />
<br />
[Fataw Islamiyah 4/490]<br />
<br />
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa
Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah
Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-66182881923408126052011-10-22T23:26:00.003+08:002011-10-22T23:26:45.638+08:00Mengamalkan Tauhid Dengan Semurni-Murninya, Pasti Masuk Surga Tanpa Hisab<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
BARANGSIAPA MENGAMALKAN TAUHID DENGAN SEMURNI-MURNINYA, PASTI MASUK SURGA TANPA HISAB<br />
<br />
<br />
Oleh<br />
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab<br />
<br />
<br />
Firman Allah Ta’ala:<br />
<br />
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ<br />
<br />
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang menjadi teladan,
senantiasa patuh kepada Allah dan menghadapkan diri ; dan sama sekali ia
tidak pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik . [An-Nahl: 120]<br />
<br />
وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ<br />
<br />
Dan orang-orang yang mereka itu tidak berbuat syirik kepada Tuhan mereka. [Al- Mu'minun: 59] <br />
<br />
Hushain bin ‘Abdurrahman menuturkan:<br />
Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya:
Siapakah diantara kalian melihat bintang yang jatuh semalam? Aku pun
menjawab: Aku. Kemudian kataku: Ketahuilah, sesungguhnya aku ketika itu
tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking. Ia
bertanya: Lalu apa yang kamu perbuat? Jawabku: Aku meminta ruqyah [1].
Ia bertanya lagi: Apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu?
Jawabku: Yaitu : Sebuah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya’bi kepada
kami. Ia bertanya lagi: Dan apakah hadits yang dituturkan kepadamu itu?
Kataku: Dia menuturkan kepada kami hadits dari Buraidah ibn Al-Hushaib: <br />
<br />
لارقية إلا من عين أو حمة <br />
<br />
Tidak dibenarkan melakukan ruqyah kecuali karena ‘ain [2] atau terkena sengatan<br />
<br />
Sa’id pun berkata: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa
yang telah didengarnya; tetapi Ibnu ‘Abbas menuturkan kepada kami
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: <br />
<br />
حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال " عرضت علي الأمم
فرأيت النبي ومعه الرهط والنبي ومعه الرجل والرجلان والنبي وليس معه أحد إذ
رفع لي سواد عظيم فظننت أنهم أمتي فقيل لي هذا موسى وقومه فنظرت فإذا سواد
عظيم فقيل لي هذه أمتك ومعهم سبعون ألفاً يدخلون الجنة بغير حسان ولا عذاب
ثم نهض فدخل منزله فخاض الناس في أولئك فقال بعضهم فلعلهم الذين صحبوا
رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال بعضهم فلعلهم الذين ولدوا في الإسلام
فلم يشركوا بالله شيئاً وذكروا أشياء فخرج عليهم رسول الله صلى الله عليه
وسلم فأخبروه فقال هم الذي لا يسترقون ولا يكتوون ولا يتطيرون وعلى ربهم
يتوكلون فقام عكاشة بن محصن فقال ادع الله أن يجعلني منهم قال أنت منهم ثم
قام رجل آخر فقال ادع الله أن يجعلني منهم فقال سبقك بها عكاشة<br />
<br />
Telah dipertunjukkan kepadaku umat-umat. Aku melihat seorang nabi,
bersamanya beberapa orang; dan seorang nabi, bersamanya satu dan dua
orang; serta seorang nabi, dan tak seorangpun bersamanya. Tiba-tiba
ditampakkan kepadaku suatu jumlah yang banyak; akupun mengira bahwa
mereka itu adalah umatku, tetapi dikatakan kepadaku: Ini adalah Musa
bersama kaumnya. Lalu tiba-tiba aku melihat lagi suatu jumlah besar
pula, maka dikatakan kepadaku: ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada
tujuh puluh ribu orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan
tanpa adzab. Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya.
Maka orang-orangpun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu. Ada
diantara mereka yang berkata: Mungkin saja mereka itu yang menjadi
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada lagi yang berkata:
Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan
Islam, sehingga tidak pernah mereka berbuat syirik sedikitpun kepada
Allah. Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara. Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut
kepada beliau. Maka beliau bersabda: "Mereka itu adalah orang-orang
yang tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan
besi yang dipanaskan, tidak melakukan tathayyur [3] dan mereka pun
bertawakkal kepada Tuhan mereka". Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan
dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka.
Beliau menjawab: kamu termasuk golongan mereka. Kemudian berdirilah
seorang yang lain dan berkata: Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga
termasuk golongan mereka. Beliau menjawab: Kamu sudah kedahuluan
‘Ukasyah. [4]<br />
<br />
Kandungan Bab ini:<br />
• Mengetahui adanya tingkatan-tingkatan manusia dalam tauhid. <br />
• Pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya. <br />
• Sanjungan Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim, karena sama sekali tidak
pernah termasuk orang-orang yang berbuat syirik kepada Allah. <br />
• Sanjungan Allah kepada para tokoh wali , karena bersihnya diri mereka dari perbuatan syirik. <br />
• Tidak meminta ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan
besi yang dipanaskan dan tidak melakukan tathayyur adalah termasuk
pengamalan tauhid yang murni. <br />
• Bahwa tawakkal kepada Allah Ta’ala adalah sifat yang mendasari sikap tersebut. <br />
• Dalamnya ilmu para sahabat karena mereka mengetahui bahwa orang-orang
yang dinyatakan dalam hadits tersebut tidak dapat mencapai derajat dan
kedudukan yang demikian itu kecuali dengan amal. <br />
• Gairah dan semangat para sahabat untuk berlomba-lomba dalam mengerjakan amal kebaikan. <br />
• Keistimewaan umat Islam, dengan kuantitas dan kualitas. <br />
• Keutamaan pengikut Nabi Musa. <br />
• Umat-umat telah ditampakkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. <br />
• Setiap umat dikumpulkan sendiri-sendiri bersama nabinya. <br />
• Bahwa sedikit orang yang mengikuti seruan para nabi. <br />
• Nabi yang tidak mempunyai pengikut, datang sendirian pada hari Kiamat. <br />
• Buah dari pengetahuan ini adalah: tidak silau dengan jumlah yang
banyak dan tidak merasa kecil hati dengan jumlah yang sedikit. <br />
• Diperbolehkan melakukan ruqyah karena terkena ‘ain atau sengatan. <br />
• Dalamnya pengertian kaum Salaf, dapat dipahami dari kata-kata Sa’id
bin Jubair: Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang
telah didengarnya; tetapi…dst. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits
pertama tidak bertentangan dengan hadits kedua. <br />
• Kemuliaan sifat kaum Salaf karena ketulusan hati mereka, dan mereka tidak memuji seseorang dengan pujian yang dibuat-buat. <br />
• Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Kamu termasuk
golongan mereka , adalah salah satu dari tanda-tanda kenabian beliau. <br />
• Keutamaan ‘Ukasyah. <br />
• Penggunaan kata sindiran. [5]<br />
• Keelokan budi pekerti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. <br />
<br />
[Disalin dari buku: "Kitab At-Tauhid Al-Ladzi Huwa HAqqullah Alal-Abid"
Edisi Indonesia Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad At-Tamimi. Penerbit:
Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Ruqyah, maksudnya disini ialah penyembuhan dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an atau do’a-do’a.<br />
[2]. Ain ialah pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya; disebut juga kena mata.<br />
[3]. Tathayyur ialah merasa pesimis, merasa bernasib sial, atau beramal
nasib buruk, karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja.<br />
[4]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim<br />
[5]. Karena beliau bersabda kepada seorang yang lain: Kamu sudah
kedahuluan ‘Ukasyah dan tidak bersabda kepadanya: Kamu tidak pantas
untuk dimasukkan ke dalam golongan mereka.
</div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-43179188194100374432011-10-01T21:47:00.001+08:002011-10-01T21:47:07.637+08:00Tafsiran Tauhid Dan Syahadat Laa Ilaha Illa Allah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab<br />
<br />
<br />
<br />
Firman Allah Ta'ala:<br />
<br />
"Artinya : Orang-orang yang diseru oleh kaum musyrikin itu, mereka
sendiri senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka,
siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepadaNya), dan mereka
mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya, sesungguhnya siksa
Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." [Al-Isra': 57]<br />
<br />
"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan
kaumnya; Sesungguhnya aku melepaskan diri dari segala apa yang kamu
sembah, kecuali Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku, karena
hanya Dia yang akan menunjukiku (kepada jalan kebenaran)." [Az-Zukhruf:
26-27]<br />
<br />
"Artinya : Mereka, menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan (mereka mempertuhankan pula)
Al-Masih putera Maryam, padahal mereka itu tiada lain hanyalah
diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan, tiada Sembahan yang
haq selain Dia. Maha Suci Allah dari perbuatan syirik mereka."
[At-Taubah: 31]<br />
<br />
"Artinya : Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah..."[Al-Baqarah: 165]<br />
<br />
Diriwayatkan dalam Shahih (Muslim), bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari
sesembahan selain Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab
(perhitungan)nya adalah terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."<br />
<br />
<br />
Kandungan dalam tulisan ini:<br />
<br />
[1]. Ayat dalam surah Al-Isra'. Diterangkan dalam ayat ini bantahan
terhadap kaum musyrikin yang menyeru (meminta) kepada orang-orang
shaleh. Maka, ayat ini mengandung sesuatu penjelasan bahwa perbuatan
mereka itu syirik akbar.<br />
<br />
[2]. Ayat dalam surah Bara'ah (At-Taubah). Diterangkan dalam ayat ini
bahwa kaum Ahli Kitab telah menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan diterangkan bahwa mereka
tiada lain hanya diperintahkan untuk beribadah kepada Satu Sembahan
yaitu Allah. Padahal tafsiran ayat ini, yang jelas dan tidak
dipermasalahkan lagi, yaitu mematuhi orang-orang alim dan rahib-rahib
dalam tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum Allah; dan
maksudnya bukanlah kaum Ahli Kitab itu menyembah mereka.<br />
<br />
Dapat diambil kesimpulan dari ayat ini bahwa tafsiran "Tauhid" dan
Syahadat "Laa ilaha illa Allah" yaitu: pemurnian ketaatan kepada Allah,
dengan menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya.<br />
<br />
[3]. Kata-kata Al-Khalil Ibrahim 'alaihissalam kepada orang-orang kafir:
"Sesungguhnya aku melepaskan diri dari apa yang kamu sembah, kecuali
Allah saja Tuhan yang telah menciptakan aku..."<br />
<br />
Disini beliau mengecualikan Allah dari segala sembahan. Pembebasan diri
(dari segala sembahan yang bathil) dan pernyataan setia (kepada Sembahan
yang haq, yaitu Allah) adalah tafsiran yang sebenarnya dari syahadat
"Laa ilaha illa Allah." Allah Ta'ala berfirman: "Dan Ibrahim menjadikan
kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya, supaya mereka
kembali (kepada jalan kebenaran). (Az-Zukhruf: 28)<br />
<br />
[4]. Ayat dalam surah Al-Baqarah yang berkenaan dengan orang-orang
kafir, yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya: "Dan mereka tidak
akan dapat keluar dari neraka."<br />
<br />
Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa mereka menyembah
tandingan-tandingan selain Allah, yaitu dengan mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai kecintaan
yang besar kepada Allah, akan tetapi kecintaan mereka itu belum bisa
memasukkan mereka kedalam Islam. Dari ayat dalam surah Al-Baqarah ini
dapat diambil kesimpulan bahwa tafsiran "tauhid" dan syahadat "Laa ilaha
illa Allah" yaitu: pemurniaan kecintaan kepada Allah yang diiringi
dengan rasa rendah diri dan penghambaan hanya kepada-Nya.<br />
<br />
Lalu bagaimana dengan orang yang mencintai sembahan-nya lebih besar
daripada kecintaannya kepada Allah? Kemudian, bagaimana dengan orang
yang hanya mencintai sesembahan selain Allah itu saja dan tidak
mencintai Allah?<br />
<br />
[5]. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barang siapa
mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan mengingkari sesembahan selain
Allah, haramlah harta dan darahnya, sedang hisab (perhitungan)nya adalah
terserah kepada Allah 'Azza wa Jalla."<br />
<br />
Ini adalah termasuk hal terpenting yang menjelaskan pengertian "Laa
ilaha illa Allah". Sebab apa yang dijadikan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam sebagai pelindung darah dan harta bukanlah sekedar
mengucapkan kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu, bukan pula dengan
mengerti makna dan lafadznya, bukan pula dengan mengakui kebenaran
kalimat tersebut, bahkan bukan juga tidak meminta kecuali kepada Allah
saja, yang tiada sekutu bagi-Nya. Akan tetapi tidaklah haram dan
terlindung harta dan darahnya hingga dia menambahkan kepada pengucapan
kalimat "Laa ilaha illa Allah" itu pengingkaran kepada segala sembahan
selain Allah. Jika dia masih ragu atau bimbang, maka belumlah haram dan
terlindung harta dan darahnya.<br />
<br />
Sungguh agung dan penting sekali tafsiran "Tauhid" dan syahadat "Laa
ilaha illa Allah" yang terkandung dalam hadits ini, sangat jelas
keterangan yang dikemukakannya dan sangat meyakinkan argumentasi yang
diajukan bagi orang yang menentang.<br />
<br />
[Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.<br />
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418H]
</div>
Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-33891207504195386202011-09-24T21:34:00.001+08:002011-09-24T21:34:41.064+08:00Cahaya Sunnah dari Yaman<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal" style="margin: 0 0 .0001pt;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Nama dan Nasabnya</span></strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
adalah Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi
bin Qayidah Al-Hamdany Al-Wadi’iAl-Khilaly rahimahullah.</span><span id="more-161"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kelahirannya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
rahimahullah dilahirkan pada tahun 1352 H di Damaj Yaman di sebuah
lingkungan Zaidiyah (Salah satu sekte Syi’ah) yang bercirikan tasawuf,
mu’tazilah, dan berbagai bid’ah lainnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Pertumbuhan Ilmiahnya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
rahimahullah memulai pelajarannya di Maktab di sebuah desa yang bernama
Al-Wathan Damaj Yaman beberapa lama kemudian berhenti karena tidak ada
yang membantunya belajar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kemudian
beliau safar ke Riyadh Saudi Arabia dan tinggal di sana sekitar sebulan
setengah. Ketika cuaca Riyadh berubah maka beliau berangkat ke Makkah.
Beliau meminta petunjuk kepada sebagian penceramah tentang kitab-kitab
yang bermanfaat yang akan beliau beli, maka beliau dinasehati agar
membeli kitab Shahih Bukhari, Bulughul Maram, Riyadhush Shalihin, dan
Fathul Majid.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
bekerja sebagai penjaga sebuah gedung di Hajun sambil menelaah
kitab-kitab tersebut. Beliau sangat tertarik dengan kandungan
kitab-kitab tersebut karena apa yang dilakukan manusia di negerinya
sangat berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Setelah
beberapa lama beliau pulang ke negerinya Yaman dan mulai mengingkari
kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan kaumnya. Seperti menyembelih
untuk selain Alloh, meminta kepada orang-orang yang sudah mati,
membangun kuburan, dan kesyirikan-kesyirikan lainnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Reaksi
yang muncul dari kaumnya begitu keras, lebih-lebih dari orang Syi’ah
yang memandang Syaikh Muqbil sudah mengganti agamanya sehingga pantas
dibunuh. Mereka memaksa Syaikh Muqbil untuk belajar di Masjid Jami’
Al-Hadi untuk menghilangkan syubhat-syubhatnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kemudian
beliau berangkat ke Najran dan tinggal di sana selama dua tahun belajar
kepada Majduddin Al-Muayyid. Setelah itu berangkatlah beliau ke Makkah
bekerja di waktu siang dan belajar di waktu malam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Ketika
dibuka Ma’had Al-Haram Al-Makky beliau mendaftarkan diri dan diterima
sehingga beliau menyelesaikan pendidikan Mutawassithah dan Tsanawiyah.
Kemudian beliau menuju ke Madinah dan masuk ke Universitas Islam Madinah
di Fakultas Da’wah dan Ushuluddin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Ketika
dibuka Fakultas Pasca Sarjana di Universitas Islam Madinah, Beliau
mendaftarkan diri dan diterima. Risalah Magisternya adalah tahqiq kitab <em>Ilzamat</em> dan <em>Tatabbu’</em> oleh Al-Imam Daruquthni.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Dakhwahnya di Yaman</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Ketika
terjadi fitnah kelompok Juhaiman di Masjidil Haram, beliau rahimahullah
dituduh termasuk kelompok mereka sehingga beliau dipenjara dan
dipulangkan ke Yaman.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Sesampainya
beliau di Yaman, beliau memulai dakhwahnya dengan mengajari Al-Qur’an
kepada anak-anak di kampungnya. Beliau dengan gigih mendakwahkan dakwah
salafiyah, dakhwah tauhid dakwah yang haq, meski begitu banyak rintangan
yang menghadangnya dari kelompok syi’ah, sufiyah, dan sekuler. Beliau
rahimahullah mulai dakwahnya dari kampungnya yang kecil yang dikelilingi
gunung-gunung tetapi cahaya dakwah beliau memancar hingga ke
pelosok-pelosok yang jauh di Yaman.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Dengan
pertolongan Alloh ’Azza wa Jalla, kemudian dengan kegigihan beliau
mulailah dengan manusia meninggalkan kesyirika-kesyirikan dan
kemungkaran-kemungkaran yang sebelumnya merupakan kebiasaan mereka
sehari-hari.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Ketika
dakwah beliau mulai terdengar ke seluruh penjuru, berbondong-bondonglah
manusia menuju tempat beliau untuk mengambil ilmu. Datanglah para
penuntut ilmu dari daerah-daerah sekitarnya,bahkan dari luar negeri
Yaman seperti Mesir, Kuwait, Haramain, Najd, Libia, Al-Jazair, Maghrib
(Maroko), Turki, Inggris, Indonesia, Amerika, Somalia, Belgia, dan
negeri-negeri lainnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Keberaniannya Dalam Mengingkari Kemungkaran</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
rahimahullah dikenal pemberani di dalam mengucapkan kebenaran dan
mengingkari kemungkaran. Tidak takut kepada siapa pun di dalam membela
kebenaran. Siapa saya yang membaca tulisan-tulisan dan mendengarkan
kaset-kaset beliau akan mengetahui hal itu.Beliau berbicara tentang
bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan, kezhaliman-kezhaliman, dan
kerusakan-kerusakan. Beliau memiliki banyak bantahan-bantahan kepada
para pemilik kebathilan di dalam tulisan-tulisan dan kaset-kaset beliau.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Perhatian Kepada Para Penuntut Ilmu</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
begitu besar perhatiannya kepada para penuntut ilmu. Beliau sangat
bersedih jika ada dari para murid-muridnya membuthkan sesuatu kemudian
tidak bisa mendapatkannya. Beliau pernah berkata di dalam majelisnya,
”Beban terberat yang aku hadapi yang aku rasakan lebih berat daripada
menghadapi ahli bid’ah dan menulis adalah kebutuhan murid-murid kami”.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Keluhuran Jiwanya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
rahimahullah begitu luhur jiwanya, menjauhkan diri dari hal-hal yang
tidak pantas, menjaga diri dari meminta-minta kepada orang lain,
sampai-sampai beliau merasa berat memintakan kepada para muhsinin
(dermawan) untuk kepentingan para muridnya. Ketika Syaikh Abdul Aziz bin
Baz mengetahui hal itu maka beliau mengirim surat kepada Syaikh Muqbil
yang isinya, ”Tulislah permohonan wahai Abu Abdurrahman, engkau akan
mendapatkan pahala darinya!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
latih para muridnya pada sifat yang agung ini. Beliau mencela dan
memperingatkan dari orang-orang yang meminta-minta kepada manusia atas
nama dakwah, dan ini bukan berarti beliau rahimahullah menyeru para
penuntut ilmu agar meninggalkan taklimnya untuk berdagang. Maksud
beliau, makan dari hasil usaha sendiri lebih baik daripada
meminta-minta. Beliau rahimahullah juga berkata, ”Aku menasehatkan
kepada ahli sunnah agar bersabar atas kefaikiran, karena itulah keadaan
yang Alloh pilihkan kepada Nabi-Nya <em>Shollallahu ’Alayhi wa Sallam.</em></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kesabarannya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
rahimahullah memiliki kesabaran yang sulit dicari bandingannya. Beliau
begitu sabar atas bebrbagai penyakit yang menimpanya, bersabar atas
penyakit busung air yang bertahun-tahun dideritanya. Demikian pula atas
penyakit lever yang menimpanya. Merupakan hal yang menakjubkan bahwa
beliau dalam keadaan sakit tidak pernah meninggalkan taklimnya. Pernah
suatu saat beliau menyampaikan pelajarannya dalam keadaan tangannya
diikat dengan perban ke lehernya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kezuhudan, Kesederhanaan, Kedermawanan, dan Wara’nya.</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
dikenal dengan kezuhudannya dan beliau biasakan para muridnya atas
sifat yang mulia ini. Beliau sampaikan kepada mereka bahwa dengan sifat
inilah mereka akan mendapatkan ilmu. Beliau sangat sederhana dalam
tempat tinggal, pakaian dan makanannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Di
antara hal yang menunjukkan kezuhudannya pada dunia, beliau wakafkan
tanag belia yang luas untuk tempat tinggal para muridnya yang sekarang
ditempati sekitar 250 rumah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
memiliki sifat tawadhu’ yang sulit dicari bandingannya. Jika beliau
sedang berjalan kemudian dipanggil oleh seorang anak kecil maka beliau
langsung berhenti, menyapanya, dan menanyakan apa yang dikehendaki.
Ketika beliau di majelis taklimnya datanglah seorang anak kecil, beliau
hentikan pelajarannya dan berkata anak kecil itu kepadanya, ”Aku ingin
membaca sebuah hadits di mikrofon.” maka beliau dudukkan anak kecil
tersebut di depannya untuk membaca hadits yang dikehendakinya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
dikenal dengan sifat wara’, tidak pernah tersisa dana dakwah disisinya
karena selalu beliau serahkan kepada penanggungjawabnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kegigihan Dalam Berdakwah</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau <em>rahimahullah</em>
begitu gigih dalam berdakwah meskipun begitu padat kesibukannya daalam
mengajar dan menulis. Beliau arahkan para muridnya dengan mengatakan,
”Janganlah kalian hanya menuntut ilmu dan meninggalkan dakwah, wajib
atas kalian mendakwahkan ilmu yang kalian pelajari!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
melakukan perjalanan dakwah di kota-kota dan desa-desa Yaman, mendaki
gunung-gunung dan menuruni lembah-lembah. Beliau mengalami vabyak
rintangan dari para musuh-musuhnya seperti jama’ah Ikhwanul Muslimin,
Jam’iyah Hikmah dan Ihsan, kelompok sekuler, Sufiyah, dan selain mereka,
tetapi beliau tidak pernah surut dalam dakwahnya kepada Kitab dan
Sunnah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Ceramah-ceramah
dakwah beliau dihadiri oleh jumlah yang sangat besar hingga di sebagian
tempat ceramah diadakan di tanah lapang karena masjid yang ada tidak
mampu memuat jumlah hadirin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
peringatkan manusia dari kesyirikan, kebid’ahan, demokrasi dan
parlemen. Beliau ingatkan kaum muslimin agar tidak memberikan loyalitas
kepada musuh-musuh Islam, dan meninggalkan fitnah hizbiyyah yang telah
menceraiberaikan umat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Kegigihannya Dalam Mempelajari dan Menyampaikan Ilmu</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau begitu gigih di dalam mengajarkan ilmu. Satu jam sebelum Zhuhur beliau mengajarkan kitabnya <em>Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain</em>, setelah itu kitab <em>Jami’ Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain</em>.
Sesudah sholat Zhuhur belia mengajarkan Tafsir Ibnu Katsir dua hari
sekali bergantian dengan kitab Shahih Musnad min Asbabin Nuzul. Ketika
kitab yang akhir ini selesai beliau ganti dengan kitab Jami’ Shahih.
Sebelum Zhuhur beliau menelaah pelajaran di rumahnya selama seperempat
jam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Sesudah Ashar beliau mengajarkan kitab Shahih Bukhary, dan sesudah Magrib mengajarkan Shahih Muslim dan Kitabnya <em>Ahaditsu Mu’allah Zhahiruha Shihhah</em>. Selesai dari kitab yang akhir ini beliau menggantinya dengan kitabnya <em>Gharatul Fishal alal Mu’tadin ala Kutubil Ilal</em>. Selesai dari kitab yang akhir ini beliau mengajarkan kitabnya <em>Dzammul Mas’alah,</em> kemudian setelah selesai diganti dengan kitab <em>Shahih Musnad min Dalail Nubuwwah</em>. Bersama kedua kitab ini beliau ajarkan juga kitab <em>Mustadrak</em> dan kitabnya <em>Shahih Musnad fil Qadar</em>. Demikianlah urut-urutan taklim beliau hingga beliau wafat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Jika
beliau berbicara tentang rijal maka beliau adalah pakarnya, jika beliau
sedang diskusi dengan murid-muridnya dalam masalah nahwu maka
seakan-akan tidak ada selsain beliau yang mengetahui disiplin ilmu ini,
jika beliau berbicara tentang ilal maka membuat terhenyak orang yang ada
dihadapannya. Demikian juga beliau memiliki kecepatan luar biasa di
dalam menghadirkan dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Guru-gurunya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Beliau
mempelajari ilmu-ilmu syar’i dari para ulama besar dizamannya seperti :
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albany, Syaikh Abdullah bin Humaid, Syaikh Muhammad As-Sabil, Syaikh
Abdul Aziz Ar-Rasyid, Syaikh Yahya Al-Bakistany, Syaikh Muhammad bin
Abdullah ASH-Shamaly, Syaikh Muhammad Hakim Al-Mishry, dan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Mishry.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Murid-muridnya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Di
antara murid-muridnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Al-Washshaby Al-Abdaly, Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajury, Syaikh Muhammad
bin Abdullah Ar-Rimy Al-Imam, Syaikh Abdul Aziz bin A;-Bar’i, Ummu
Abdillah Al-Wadi’iyah putrinya, Ummu Syu’aib Al-Wadi’iyah istri
keduanya, Ummu Salamah istri ketiganya, dan masih banyak lagi selain
mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Tulisan-tulisannya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Diantara tulisan-tulisannya adalah <em>Shahih
Musnad mimma Laisa fi Shahihain, Tarajim Rijal Al-Hakim fil Mustadrak,
Tatabbu’ Auham Al-Hakim allati Sakata Alaiha Adz-Dzhaby, Tarajim Rijal
Sunan Daruquthni, Shahih Musnad min Dalail Nubuwwah, Gharatul Fishal
’alal Mu’tadin ’ala Kutubil Ilal, Jami’ Shahih fil Qadar, Sha’qatu;
Zilzal Linasfi Abathil Rafdhi wal I’tizal, Ijabatus Sail’an Ahammil
Masail, Asy-Syafa’ah, Riyadhul Janna fi Raddi ’ala A’dai Sunnah,
Tuhfatul Arib ’ala As’ilatil Hadhir wal Gharib, Al-Makhraj minal Fitnah,
Shahih Musnad min Asbabin Nuzul, Rudud Ahlil Ilmi ’ala Tha’inin fi
haditsi Sihr, Mushara’ah. Ilhad Khomeni fi Ardhil Haramain, Al-Ba’its
ala Syarhil Hawadits, Irsyad Dzawil Fathan Liib’adi Ghulati Rwafidh
’anil Yaman, Jami’ Shahih Musnad mimma Laisa fi Shahihain, Gharatul
Asyrithah ’ala Ahlil Jahli wa Safsathah, Fawakih Janiyah fil Khuthab wal
Muhadharat Saniyah, Qam’ul Mu’anid wa Zajrul Haqidil Hasid, Majmu’atu
Rasail Ilmiyah, Tuhfatusy Syab Rabbany, Fatwa fi Wihdatil Muslimin ma’al
Kuffar, Iqamatil Burhan ala Dhalali Abdur Rahim Ath-Thahhan, Dibaj fi
Maratsy Syaikhul Islam Abdul Aziz bin Baz, Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah,
Muqtarah fi Ajwibati As’ilatil Musthalah, Fadhaih wa Nashaih, Maqtal
Syaikh Jamilurrahman, Iskatul Kalbil’Awi, Tahqiq Tafsir Ibnu Katsir,
Shahih Musnad mimma Tafsir bil Ma’tsur, </em>dan <em>Kitab Ilzamat wa Tatabbu’ lil Imam Daruquthni dirasah wa tahqiq.</em></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<strong><span style="font-family: "; font-size: 12pt;"> Wafatnya</span></strong></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "; font-size: 12pt;">Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat di Jedda pada malam Ahad 1 Jumadil Ula
tahun 1422 H dalam usia sekitar 70 tahun dan dimakamkan di Makkah di
samping Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin. Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya dalan keluasan
jannah-Nya.</span></div>
<em><span style="font-family: "color:gray; font-size: 11pt;">Sumber: Nubdzah Yasir min Hayati Ahadi ’Alamil Jazirah oleh Abu Hammam Muhammad bin Ali bin Ahmaf Ash-Shauma’i Al-Baidhani.</span></em></div>
Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-72837510044557128762011-09-18T15:41:00.000+08:002011-09-18T15:43:28.736+08:00Menyingkap Keabsahan Halal Bi Halal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Ustadz Anas Burhanuddin MA<br />
<br />
<br />
PENGERTIAN HALAL BI HALAL DAN SEJARAHNYA<br />
Secara bahasa, halal bi halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan
berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini
tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat
Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Mekah dan Madinah justru biasa
mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan
bahasa Arab mereka- bertanya halal? Saat bertransaksi di pasar-pasar dan
pusat perbelanjaan. Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan
tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk
mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”. Atau saat
ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jama’ah
haji biasanya bertanya “halal?” untuk memastikan bahwa makanan/minuman
tersebut gratis dan halal untuk mereka.<br />
<br />
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri
ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan
sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan,
biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah
orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia” [1]<br />
<br />
Penulis Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bi halal adalah suatu
tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat
tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar
yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah
melakukan shalat Idul Fithri [2]. Kadang-kadang, acara halal bi halal
juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fithri dalam bentuk pengajian,
ramah tamah atau makan bersama.<br />
<br />
Konon, tradisi halal bi halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara
I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka
setelah shalat Idul Fithri diadakan pertemuan antara raja dengan para
punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa
dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh
organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian
instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bi halal, yang
pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama [3]<br />
<br />
Halal bi halal dengan makna seperti di atas juga tidak ditemukan
penyebutannya di kitab-kitab para ulama. Sebagian penulis dengan bangga
menyebutkan bahwa halal bi halal adalah hasil kreativitas bangsa
Indonesia dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia
[4]. Namun dalam kacamata ilmu agama, hal seperti ini justru patut
dipertanyakan, karena semakin jauh suatu amalan dari tuntunan kenabian,
ia akan semakin diragukan keabsahannya. Islam telah sempurna dan
penambahan padanya justru akan mencoreng kesempurnaannya. Tulisan pendek
ini berusaha mengulas keabsahan tradisi halal bi halal menurut
pandangan syariat.<br />
<br />
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan halal bi halal bukanlah tradisi saling mengunjungi di hari raya
Idul Fithri yang juga umum dilakukan di dunia Islam yang lain. Tradisi
ini keluar dari pembahasan tulisan ini, meskipun juga ada acara
bermaaf-maafan di sana.<br />
<br />
HARI RAYA DALAM ISLAM HARUS BERLANDASKAN DALIL (TAUQIFI)<br />
Hukum asal dalam masalah ibadah adalah bahwa semua ibadah haram
(dilakukan) sampai ada dalilnya. Sedangkan dalam bab adat dan muamalah,
segala perkara adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Perayaan hari raya (‘id) sebenarnya lebih dekat kepada bab muamalah.
Akan tetapi, masalah ‘id adalah pengecualian, dan dalil-dalil yang ada
menunjukkan bahwa ‘id adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Hal ini
karena ‘id tidak hanya adat, tapi juga memiliki sisi ibadah. Imam
asy-Syathibi rahimahullah mengatakan.<br />
<br />
وَإِنَّ الْعَادِيَّاتِ مِنْ حَيْثُ هِيَ عَادِيَّةٌ لاَ بِدْ عَةَ
فِيْهَا، وَ مِنْ حَيْثُ يُتعبَّدُ بِهَا أَوْ تُوْ ضَعُ وَضْعَ
التَّعَبَّدِ تَدْ خُلُهَا الْبِدَ عَةُ<br />
<br />
Sesungguhnya adat-istiadat dari sisi ia sebagai adat, tidak ada bid’ah
di dalamnya. Tapi dari sisi ia dijadikan/diposisikan sebagai ibadah,
bisa ada bid’ah di dalamnya [5]<br />
<br />
Sifat taufiqi dalam perayaan ‘id memiliki dua sisi :<br />
<br />
1. Tauqifi dari sisi landasan penyelenggaraan, sebab Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam membatasi hanya ada dua hari raya dalam sau tahun, dan
hal ini berdasarkan wahyu.<br />
<br />
عن أَنَسِ بْنَ مَالِكِ رضي اللَّه عنه قال : قَدِمَ سَمِعَ رسول اللَّه
صلى اللَّه عليه وسلم الْمَدِينَةَ وَلَهُم يَومَانِ يَلعَبُونَ فيهِمَا،
فَقَالَ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم : مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟،
قالُوا : كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ، قال: إِنَّ
اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا :
يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ<br />
<br />
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata : (Saat) Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan penduduknya memiliki dua hari
di mana mereka bermain di dalamnya. Maka beliau bertanya : Apakah dua
hari ini? Mereka menjawab : Dahulu kami biasa bermain di dua hari ini
semasa jahiliyah. Beliau pun bersabda : Sungguh Allah telah menggantinya
dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. [HR
Abu Dawud no. 1134 dihukumi shahih oleh Al-Albani][6]<br />
<br />
Maka, sebagai bentuk pengamalan dari hadits ini, pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi awal umat Islam tidak dikenal
ada perayaan apapun selain dua hari raya ini [7], berbeda dengan umat
Islam zaman ini yang memiliki banyak sekali hari libur dan perayaan yang
tidak memiliki landasan syar’i.<br />
<br />
2. Tauqifi dari sisi tata cara pelaksanaannya, karena dalam Islam, hari
raya bukanlah sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara
pelaksanaannya. Setiap ibadah yang dilakukan di hari raya berupa
shalat, takbir, zakat, menyembelih dan haramnya berpuasa telah diatur.
Bahkan hal-hal yang dilakukan di hari raya berupa keleluasaan dalam
makan-minum, berpakaian, bermain-main dan bergembira juga tetap dibatasi
oleh aturan-aturan syariat. [8]<br />
<br />
PENGKHUSUSAN MEMBUTUHKAN DALIL<br />
Di satu sisi, Islam menjelaskan tata cara perayaan hari raya, tapi di
sisi lain tidak memberi batasan tentang beberapa sunnah dalam perayaan
‘id, seperti bagaimana menampakkan kegembiraan, bagaimana berhias dan
berpakaian, atau permainan apa yang boleh dilakukan. Syari’at Islam
merujuk perkara ini kepadaadat dan tradisi masing-masing.<br />
<br />
Jadi, boleh saja umat Islam berkumpul, bergembira, berwisata, saling
berkunjung dan mengucapkan selamat. Bahkan kegembiraan ini perlu
ditekankan agar anggota keluarga merasakan hari yang berbeda dan puas
karenanya, sehingga mereka tidak tergoda lagi dengan hari besar-hari
besar yang tidak ada dasarnya dalam Islam.[9]<br />
<br />
Namun mengkhususkan hari ‘Idul Fithri dengan bermaaf-maafan membutuhkan
dalil tersendiri. Ia tidak termasuk dalam menunjukkan kegembiraan atau
berhias yang memang disyariatkan di hari raya. Ia adalah wazhifah
(amalan) tersendiri yang membutuhkan dalil.<br />
<br />
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah
melakukannya, padahal faktor pendorong untuk bermaaf-maafan juga sudah
ada pada zaman mereka. Para sahabat juga memiliki kesalahan kepada
sesama, bahkan mereka adalah orang yang paling bersemangat untuk
membebaskan diri dari kesalahan kepada orang lain. Akan tetapi, hal itu
tidak lantas membuat mereka mengkhususkan hari tertentu untuk
bermaaf-maafan.<br />
<br />
Jadi, mengkhususkan ‘Idul Fithri untuk bermaaf-maafan adalah penambahan
syariat baru dalam Islam tanpa landasan dalil. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata.<br />
<br />
فَكُلُّ أَمْرٍ يَكُوْنُ الْمُقْتَضِي لِفعْلِه عَلَىَ عَهْدِ رسول اللَّه
صلى اللَّه عليه وسلم مَوْ جُوْداًلَوْ كَانَ مَصْلَحَةً وَلَمْ يُفْعَلْ،
يُعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَصْلَحَةٍ<br />
<br />
Maka setiap perkara yang faktor penyebab pelaksanaanya pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada jika itu
(betul-betul) merupakan sebuah kemaslahatan (kebaikan), dan (namun)
beliau tidak melakukannya, berarti bisa diketahui bahwa perkara tersebut
bukanlah kebaikan. [10]<br />
<br />
KESERUPAAN DENGAN BERSALAM-SALAMAN SETELAH SHALAT DAN MENGKHUSUSKAN ZIARAH KUBUR DI HARI RAYA<br />
Karena tidak dikenal selain di Indonesia dan baru muncul pada abad-abad
terakhir ini, tidak banyak perkataan ulama yang membahas halal bi halal
secara khusus. Namun ada masalah lain yang memiliki kesamaan
karakteristik dengan halal bi halal dan sudah banyak dibahas oleh para
ulama sejak zaman dahulu, yaitu masalah berjabat tangan atau
bersalam-salaman setelah shalat dan pengkhususan ziarah kubur di hari
raya.<br />
<br />
Berjabat tangan adalah sunnah saat bertemu dengan orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut.<br />
<br />
عنِ الْبَرَاءِِ رضي اللَّه عنه قالَ : رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم :
مَامِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَا فَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ
لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّ قَاَ<br />
<br />
Dari al-Bara (bin Azib) Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidaklah dua orang Muslim
bertemu lalu berjabat tangan, melainkan keduanya sudah diampuni sebelum
berpisah” [HR Abu Dawud no. 5212 dan at-Tirmidzi no. 2727, dihukumi
shahih oleh al-Albani] [11]<br />
<br />
Tapi ketika sunnah ini dikhususkan pada waktu tertentu dan diyakini
sebagai sunnah yang dilakukan terus menerus setiap selesai shalat,
hukumnya berubah ; karena pengkhususan ini adalah tambahan syariat baru
dalam agama.<br />
<br />
Disamping itu, bersalam-salaman setelah shalat juga membuat orang
menomorduakan amalan sunnah setelah shalat yaitu berdzikir. [12]<br />
<br />
Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang masalah ini, maka beliau
menjawab : Berjabat tangan setelah shalat bukanlah sunnah, tapi itu
adalah bid’ah, wallahu a’lam. [13]<br />
<br />
Lebih jelas lagi, para ulama mengkategorikan pengkhususan ziarah kubur
di hari raya termasuk bid’ah, [14] padahal ziarah kubur juga merupakan
amalan yang pada dasarnya dianjurkan dalam Islam, seperti dijelaskan
dalam hadits berikut <br />
<br />
عن بُرَيْدَةَ رضي اللَّه عنه قال: رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم :
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُم ْعَن زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا؟
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ اْلآخِرَة<br />
<br />
Dari Buraidah (al-Aslami) ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : Sungguh aku dulu telah melarang kalian berziarah
kubur, maka sekarang berziarahlah ; karena ia mengingatkan akhirat. [HR
Ashabus Sunnan, dan lafazh ini adalah lafazh Ahmad (no. 23.055) yang
dihukumi shahih oleh Syu’aib al-Arnauth]<br />
<br />
Demikian pula berjabat tangan dan bermaaf-maafan adalah bagian dari
ajaran Islam. Namun ketika dikhususkan pada hari tertentu dan diyakini
sebagai sunnah yang terus-menerus dilakukan setiap tahun, hukumnya
berubah menjadi tercela. Wallahu a’lam.<br />
<br />
BEBERAPA PELANGGARAN SYARIAT DALAM HALAL BI HALAL<br />
Di samping tidak memiliki landasan dalil, dalam halal bi halal juga sering didapati beberapa pelanggaran syariat, di antaranya ;<br />
<br />
1. Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fithri. Ketika
melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang
menunggu Idul Fithri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam
ungkapan yang terkenal ‘urusan maaf memaafkan adalah urusan hari
lebaran’. Dan jadilah “mohon maaf lahir dan batin” ucapa yang “wajib”.
pada hari raya Idul Fithri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai
Idul Fithri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman
yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut<br />
<br />
عن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه
وسلم قال : مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَِخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ
مِنْهَا؟ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلا درهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يُؤخَذَ لأَِخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِ حَتْ عَلَيْهِ <br />
<br />
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa melakukan kezhaliman kepada
saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya ; karena di
sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum
kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya
kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan
kepadanya. [HR al-Bukhari no. 6169]<br />
<br />
2. Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang
lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut.<br />
<br />
عن أَبِى أُسَيْدٍ اْلأَنْصَارِىِّ رضي اللَّه عنه أَنَّهُ سَمِعَ رسول
اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم يَقُولُ وَهُوَخَارِخٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَا
خْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رسول اللَّه
صلى اللَّه عليه وسلم لِانِّسَاءِ اسْتَأخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ
أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيْقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ،
فَكَانَتِ الْمَرْاَةُ تَلتَصِقُ بِالجِدَارِ حَتَى إِنَّ ثَوْبَهَا
لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَابِهِ<br />
<br />
Dari Abu Usaid al-ِAnshari Radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata saat keluar dari masjid dan kaum
pria bercampur-baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan
kepada para wanita : “Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di
tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya”. Maka para wanita melekat ke
dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, lantaran begitu
mepetnya baju mereka dengan dinding” [HR Abu Dawud no. 5272, dihukumi
hasan oleh al-Albani] [15]<br />
<br />
3. Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Maksiat ini
banyak diremehkan oleh banyak orang dalam cara halal bihalal atau
kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam
hadist berikut.<br />
<br />
عن مَعْقِل بن يَسَارِ رضي اللَّه عنه يَقُولُ : قال رسول اللَّه صلى
اللَّه عليه وسلم : لأَنْ يُطْعَنَ فِي رأْسِ أَحَدِ كُْم بِمِخْيَطِ مِنْ
حَد ِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَ أَةً تَحِلُّ لَهُ<br />
<br />
Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh jika seorang di antara
kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik baginya
daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR ath-Thabrani,
dihukumi shahih oleh al-Albani] [16]<br />
<br />
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : “Ancaman keras bagi orang yang
menyentuh wanita yang tidak halal baginya yang terkandung dalam hadits
ini menunjukkan haramnya menjabat tangan wanita (yang bukan mahram, ed)
karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh.
Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama”
[17]<br />
<br />
PENUTUP<br />
Dari paparan diatas, bisa kita simpulkan bahwa yang dipermasalahkan
dalam halal bi halal adalah pengkhususan bermaaf-maafan di hari raya.
Pengkhususan acara ini sudah menjadi penambahan syariat baru yang jelas
tidak memilki landasan dalil syar’i. Jadi seandainya
perkumpulan-perkumpulan yang banyak diadakan untuk menyambut Idul Fithri
kosong dari agenda bermaaf-maafan, maka pertemuan itu adalah pertemuan
yang diperbolehkan ; karena merupakan ekspresi kegembiraan yang
disyariatan Islam di hari raya dan batasannya merujuk ke adat dan
tradisi masyarakat setempat. Tentunya, jika terlepas dari
pelanggaran-pelanggaran syariat, antara lain yang sudah kita sebutkan
diatas. Selain di Indonesia, pertemuan yang umum disebut mu’ayadah
(saling mengucapkan selamat ‘id) ini juga ada di belahan dunia Islam
lain tanpa pengingkaran dari Ulama.<br />
<br />
Bagi yang mengatakan “ah, cuma begini saja kok tidak boleh!”, ingatlah
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut setiap perkara baru
dalam agama sebagai syarrul umur (seburuk-buruk perkara). Maka bagaimana
kita bisa meremehkannya? Setiap Muslim haris berhati-hati dengan
perkara-perkara baru yang muncul belakangan. Mari, amalkan sunnah dan
Islam yang murni, karena itulah wasiat Nabi tercinta Shallallahu
‘alaihi wa sallam<br />
<br />
Wallahu a’lam<br />
<br />
REFERENSI<br />
1. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin, Dr. Sulaiman as-Suhaimi, Universitas Islam Madinah.<br />
2. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, Darul Ashimah.<br />
3. Mi’yarul Bid’ah, Dr. Muhammad Husain al-Jizani, Dar Ibnil Jauzi.<br />
4. Risalatun fil Ikhtilath, Syaikh Muhammad bin Ibrahim<br />
5. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196] <br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. http://bahasakita.com/2009/08/23/halal-bihalal2/<br />
[2]. Ibid<br />
[3]. Ibid<br />
[4]. Ibid<br />
[5]. Al-I’tisham 2/98<br />
[6]. Shahih Sunan Abi Dawud 4/297<br />
[7]. Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 1/499<br />
[8]. Lihat Mi’yarul Bid’ah hlm.262<br />
[9]. Lihat Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim 2/6<br />
[10]. Ibid. 2/101<br />
[11]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/24 no. 525<br />
[12]. Fatawa Syaikh Abdullah bin Aqil 1/141<br />
[13]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/339<br />
[14]. Al-A’yad wa Atsaruha ‘alal Muslimin hlm.247<br />
[15]. As-Silsilah ash-Shahihah 2/355 no. 856<br />
[16]. Lihat Ghayatul Maram 1/137<br />
[17]. Majmu Fatawa al-Albani 1/220 (asy-Syamilah)
</div>
Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-30506704050500608212011-09-03T22:05:00.004+08:002011-09-03T22:06:03.639+08:00Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya Disyariatkan?<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Oleh<br />
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA<br />
<br />
<br />
Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada
terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar
dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.<br />
<br />
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ<br />
<br />
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik,
serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A’raf/7:199]<br />
<br />
Dalam ayat lain, Allah Aza wa Jalla berfirman.<br />
<br />
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ<br />
<br />
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]<br />
<br />
Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.<br />
<br />
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ<br />
<br />
(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya)
baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan
amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan
besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza
wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah
Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada
saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)” [1]<br />
<br />
Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia
dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah
memaafkan orang lain, sedngkan di akhirat dengan besarnya ganjaran
pahala dan keutmaan di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]<br />
<br />
MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA?<br />
Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan
haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.<br />
<br />
Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu
yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut.
Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul
Fithri dan Idul Adha.<br />
<br />
Ini termasuk perbuatan bid’ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan
keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang
diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua
yang sesat (tempatnya) dalam neraka” [4]<br />
<br />
Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah
yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan
memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah
disebutkan dalam keterangan diatas ?<br />
<br />
Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat
jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil
(argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika
dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka
berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.<br />
<br />
Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan
dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan
pada hari Jum’at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan
haram untuk dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.<br />
<br />
لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى
وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ
أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ<br />
<br />
Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam
lainnya (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari
Jum’at di antara har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang
bisa dilakukan oleh salah seorang darimu. [6]<br />
<br />
Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama “bid’ah
idhafiyyah”, yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam,
akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut
dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak
bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7]<br />
<br />
Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada
bulan Rajab dan Sya’ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang
dua shalat ini : “Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya’ban adalah
bid’ah yang sangat buruk dan tercela” [8]<br />
<br />
Imam Abu Syamah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam
ucapannya: “Tidak diperbolehkan mengkhususkan ibadah-ibadah dengan
waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi
hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu
(tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu
yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhsusukan dengan
satu macam ibadah…. Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura, shalat di
tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…”[9]<br />
<br />
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “… Termasuk (contoh) dalam hal
ini bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
larangan mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jum’at, agar
tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan bid’ah dalam agama
(yaitu) dengan pengkhususan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak
dikhususkan oleh syarat” [10]<br />
<br />
MENIMBANG ACARA HALAL BIL HALAL<br />
Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia
dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fithri adalah apa
yang biasa dikenal dengan acara Halal bil halal.<br />
<br />
Acara ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela dengan alasan seperti
yang kami paparkan diatas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan
dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi
terbaik umat ini, para sahabat Radhiyallahu anhum, serta para imam ahlus
sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah
orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh
Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah
Azza wa Jalla berfirman.<br />
<br />
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ<br />
<br />
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat) dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar. [at-Taubah/9 : 100]<br />
<br />
Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda : Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa
mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka,
kemudian generasi yang datang setelah mereka. [11]<br />
<br />
Disamping itu acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allah Azz wa Jalla, diantaranya :<br />
<br />
1. Terjadinya ikhtilath (bercampur baur secara bebas) antara laki-laki
dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat.
Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang
segala kerusakan di masyarakat.<br />
<br />
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku tidak
meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya
bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan” [12]<br />
<br />
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mejelaskan hal ini dalam ucapan beliau :
“Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas
dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan
ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang
merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan
dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas
merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini
termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan munculnya wabah
penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan” [13]<br />
<br />
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah lebih menegaskan hal ini dalam
ucapan beiau : “Dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki)
berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula
diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia)
ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil
tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman
–ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan
perempuan kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya” [14]<br />
<br />
2. Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya). <br />
Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh jika kepala seorang laki-laki
ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia
menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya” [15]<br />
<br />
3. Kehadiran para wanita yang besolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.<br />
Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.<br />
<br />
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ<br />
<br />
Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di
rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan
berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu.
[Al-Ahzab/33 : 33]<br />
<br />
Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar
(rumah) setan akan mengikutinya (menghiasinya agar menjadi fitnah bagi
laki-laki), dan keadaannya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah)
adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” [16]<br />
<br />
PENUTUP<br />
Demikianlah pemaparan ringkas tentang hukum saling maaf-memaafkan dalam
rangka hari raya. Wajib bagi setiap muslim untuk meyakini bahwa semua
sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada
Allah Azza wa Jalla semua itu telah dijelaskan dan dicontohkan dengan
lengkap oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk
yang beliau bawa.<br />
<br />
Sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami
dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan kedua sayapnya
di udara kecuali beliu Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
kepada kami ilmu tentang hal tersebut”. Kemudian Abu Dzar Radhiyallahu
‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.<br />
<br />
مَا بَقِيَ شَيءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَا عِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ<br />
<br />
Tidak ada (lagi) yang tertinggal sedikit pun dari (ucapan’perbuatan)
yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka,
kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu” [17]<br />
<br />
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita
semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan
menjauhi segala sesuatu yang menyimpang dari sunnah beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita. Amin<br />
<br />
Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [18]<br />
Wallahu a’lam<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. HR. Muslim no. 2588 dan imam-imam lainnya<br />
[2]. Lihat syarh Shahih Muslim 16/14 dan Tuhfatul Ahwadzi 6/150<br />
[3]. Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah Azza wa Jalla, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.<br />
[4]. HR. Muslim no. 867, an-Nasai no. 1578 dan Ibnu Majah no.45<br />
[5]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hlm.151<br />
[6]. HR. Muslim no. 1144<br />
[7]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’ hlm.147-148<br />
[8]. Fatawa al-Imam an-Nawawi hlm.26<br />
[9]. Al-Baits ‘ala Inkaril Bida’i wal Hawadits hlm.165<br />
[10]. Ighatsatul Lahfan I/368<br />
[11]. HR. al-Bukhari dan Muslim<br />
[12]. HR. al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 2740<br />
[13]. Seperti penyakit AIDS dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya. Na’udzu billahi min dzalik.<br />
[14]. Majalatul Buhutsil Islamiyah 7/343<br />
[15]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir no. 486 dan 487 dan
ar-Ruyani dalam al-Musnad 2/227, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani
dalam ash-Shahihah no. 226<br />
[16]. HR Ibnu Khzaimah no. 1685, Ibnu Hibban no. 5599 dan ath-Thabrani
dalam al-Mu’jamul Ausath no. 2890, dan dinyatakan shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan al-Albani dalam ash-Shahihah no.
2688<br />
[17]. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 2/155, no. 1647 dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1803<br />
[18]. Doa yang selalu diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal yang dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam tarikh Baghdad 9/349
</div>
Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-74934234454352796922011-08-29T01:46:00.003+08:002011-08-29T01:46:05.994+08:00Bimbingan Berhari Raya Idul Fithri<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh<br />
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro<br />
<br />
<br />
MENGAPA DINAMAKAN ‘ID?<br />
Secara bahasa, ‘Id ialah sesuatu yang kembali dan berulang-ulang. Sesuatu yang biasa datang dan kembali dari satu tempat atau waktu.<br />
<br />
Kemudian dinamakan ‘Id, karena Allah kembali memberikan kebaikan dengan berbuka, setelah kita berpuasa dan membayar zakat fithri. Dan dengan disempurnakannya haji, setelah diperintahkan thawaf dan menyembelih binatang kurban. Karena, biasanya pada waktu-waktu seperti ini terdapat kesenangan dan kebahagiaan.<br />
<br />
As Suyuthi rahimahullah berkata,”’Id merupakan kekhususan umat ini. Keberadaan dua hari ‘Id, merupakan rahmat dari Allah kepada ummat ini. Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan penduduk Madinah mempunyai dua hari raya. Pada masa Jahiliyyah, mereka bermain pada dua hari raya tersebut. Beliau bersabda, ’Aku datang dan kalian mempunyai dua hari, yang kalian bermain pada masa Jahiliyah. Kemudian Allah mengganti dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr dan hari Fithri’.” [Dr. Abdullah Ath Thayyar, Ahkam Al ‘Idain Wa ‘Asyri Dzil Hijjah, hlm. 9].<br />
<br />
HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN PADA HARI ‘ID<br />
Ada beberapa amalan yang disunnahkan bagi kita pada hari yang berbahagia ini, diantaranya:<br />
<br />
1. Mandi.<br />
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.<br />
<br />
Nafi’ menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma mandi sebelum berangkat ke tanah lapang. [Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’, 1/177].<br />
<br />
Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga. (Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi. [Irwa’ul Ghalil, 2/104].<br />
<br />
2. Berhias Sebelum Berangkat Shalat ‘Id.<br />
Disunnahkan untuk membersihkan diri dan mengenakan pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak.<br />
<br />
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:<br />
<br />
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ يَوْمَ الْعِيْدِ بُرْدَةً حَمْرَاءَ<br />
<br />
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan burdah warna merah". [Ash Shahihah, 1.279].<br />
<br />
Imam Malik rahimahullah berkata,”Saya mendengar Ahlul Ilmi, mereka menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada hari ‘Id.” [Al Mughni, 3/258].<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki hullah yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut warna merah)." [Zaadul Ma’ad, 1/426].<br />
<br />
Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat pada zaman sekarang.<br />
<br />
3. Makan Sebelum Shalat ‘Idul Fithri.<br />
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:<br />
<br />
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. رواه البخاري<br />
<br />
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan beberapa kurma". [HR Al Bukhari].<br />
<br />
Dan dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:<br />
<br />
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَ يَوْمَ النَّحْرِ لَا يَأْكُلُ حَتَّى يَرْجِعَ<br />
فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيْكَتِهِ. رواه الترمذي وابن ماجه<br />
<br />
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri, sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya".[HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil. Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang, maka Beliau makan dari daging kurbannya." [Zaadul Ma’ad, 1/426].<br />
<br />
4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.<br />
Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah lapang.<br />
<br />
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:<br />
<br />
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ. رواه البخاري<br />
<br />
"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau mengambil jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang". [HR Al Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dengan berjalan kaki, dan beliau menyelisihi jalan; (yaitu) berangkat lewat satu jalan dan kembali lewat jalan yang lain". [Zaadul Ma’ad, 1/432].<br />
<br />
Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari ‘Id. Tidak disunnahkan untuk amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah, sebagaimana disebutkan Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus Sabil 1/151. Atau dalam masalah amal shalih yang lain, Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab disunnahkannya pergi ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang, mengiringi jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya memperbanyak tempat-tempat ibadahnya.<br />
<br />
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak bisa diqiaskan. Terlebih lagi amalan-amalan tersebut ada pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa Beliau mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai satu kaidah yang penting bagi thalibul ilmi, segala sesuatu yang ada sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Beliau tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan, mengambil jalan yang berbeda, khusus pada dua shalat ‘Id saja, sebagaimana yang zhahir dari perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam Zaadul Mustaqni’- karena ia tidak menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id. Hal ini menunjukkan, bahwa dia memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan yang berbeda, kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].<br />
<br />
5. Bertakbir.<br />
Allah Azza wa Jalla berfirman:<br />
<br />
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ البقرة- 185<br />
<br />
"Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur". [Al Baqarah:185].<br />
<br />
Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan. Kemudian, takbir ini hingga imam selesai dari khutbah ‘Id. Demikian menurut pendapat yang benar, diantara pendapat Ahlul Ilmi. Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain, 24].<br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Takbir pada hari Idul Fithri dimulai ketika terlihatnya hilal, dan berakhir dengan selesainya ‘Id. Yaitu ketika imam selesai dari khutbah, (demikian) menurut pendapat yang benar". [Majmu’ Fatawa, 24/220, 221].<br />
<br />
Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah datang satu riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia bertakbir pada hari hari tasyriq dengan genap (dua kali) mengucapkan lafadz Allahu Akbar. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan di lafadz yang lain dengan tiga kali.<br />
<br />
اللهُ أَكْبَرُ , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله , اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, وَللهِ الْحَمْدُ<br />
<br />
Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok orang untuk melafadzkan dengan satu suara, atau satu orang memberi komando kemudian diikuti sekelompok orang tersebut. Karena, amalan seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf. Yang sunnah, setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Seperti ini pula pada setiap dzikir, atau ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu. [Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 30].<br />
<br />
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: "Patut untuk diberi peringatan pada saat sekarang ini, bahwa mengeraskan suara ketika bertakbir tidak disyari’atkan secara berjama’ah dengan satu suara, sebagaimana yang dikerjakan oleh sebagian orang. Demikian pula pada setiap dzikir yang dibaca dengan keras atau tidak, maka tidak disyari’atkan untuk berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah ini" [Silsilah Al Ahadits Shahihah, 1/121].<br />
<br />
HUKUM SHALAT ID<br />
Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya. Dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:<br />
<br />
أَمَرَنَا -تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ. متفق عليه<br />
<br />
"Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq (wanita berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum muslimin". [Muttafaqun ‘alaih].<br />
<br />
Dahulu, Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa menjaga untuk mengerjakan shalat ‘Id. Ini merupakan dalil wajibnya shalat ‘Id. Dan karena shalat ‘Id menggugurkan kewajiban shalat Jum’at, jika ‘Id jatuh pada hari Jum’at. Sesuatu yang bukan wajib, tidak mungkin akan menggugurkan satu kewajiban yang lain. Lihat At Ta’liqat Ar Radhiyah, Syaikh Al Albani, 1/380.<br />
<br />
Pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Begitu pula pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dia mengatakan di dalam Majmu’Fatawa (23/161), sebagai berikut: “Oleh karena itu, kami merajihkan bahwa hukum shalat ‘Id adalah wajib ‘ain. Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib, adalah perkataan yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ‘Id termasuk syi’ar Islam yang terbesar. Kaum muslimin yang berkumpul pada hari ini, lebih banyak daripada hari Jum’at. Demikian pula disyari’atkan pada hari itu untuk bertakbir. Adapun pendapat yang mengatakan hukumnya fardhu kifayah, tidak tepat”.<br />
<br />
WAKTU SHALAT ‘IDUL FITHRI<br />
Sebagian besar Ahlul Ilmi berpendapat, bahwa waktu shalat ‘Id adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari. Yakni waktu Dhuha.<br />
<br />
Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan menunaikan zakat fithri.<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri dan menyegerakan shalat ‘idul Adh-ha. Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, seorang sahabat yang sangat berpegang kepada Sunnah. Dia tidak keluar hingga terbit matahari”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].<br />
<br />
TEMPAT MENDIRIKAN SHALAT ‘ID<br />
Disunnahkan mengerjakan shalat ‘Id di mushalla. Yaitu tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali jika ada udzur. Misalnya, seperti: hujan, angin yang kencang dan lainnya, maka boleh dikerjakan di masjid.<br />
<br />
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Mengerjakan shalat ‘Id di tanah lapang adalah sunnah, karena dahulu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya. Demikian pula khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Mereka telah sepakat di setiap zaman dan tempat untuk keluar ke tanah lapang ketika shalat ‘Id”. [Al Mughni, 3/260].<br />
<br />
TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAH SEBELUM SHALAT ‘ID<br />
Dari Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhuma, keduanya berkata:<br />
<br />
لَمْ يَكُنْ يُؤَذِّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ الأَضْحَى.رواه البخاري ومسلم<br />
<br />
"Tidak pernah adzan pada hari ‘Idul Fithri dan hari ‘Idul Adh-ha". [HR Al Bukhari dan Muslim]<br />
<br />
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:<br />
<br />
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ. رواه مسلم<br />
<br />
"Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada dua hari raya, sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat". [HR Muslim].<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tanah lapang, Beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat ataupun ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang sunnah, untuk tidak dikerjakan semua itu”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].<br />
<br />
SHIFAT SHALAT ‘ID<br />
Shalat ‘Id, dikerjakan dua raka’at, bertakbir di dalam dua raka’at tersebut 12 kali takbir, 7 pada raka’at yang pertama setelah takbiratul ihram dan sebelum qira’ah, dan 5 takbir pada raka’at yang kedua sebelum qira’ah.<br />
<br />
عن عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ. رواه ابن ماجه<br />
<br />
"Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat ‘Id tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua". [HR Ibnu Majah].<br />
<br />
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ. رواه أبو داود و ابن ماجه<br />
<br />
"Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fithri dan shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali dan lima kali, selain dua takbir ruku". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil, 639].<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau memulai shalat ‘Id sebelum berkhutbah. Beliau shalat dua raka’at. Bertakbir pada raka’at yang pertama, tujuh kali takbir yang beruntun setelah takbir iftitah. Beliau diam sejenak antara dua takbir. Tidak diketahui dzikir tertentu antara takbir-takbir ini. Akan tetapi (ada) disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu memuji Allah, menyanjungNya dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (diantara dua takbir tersebut), sebagaimana disebutkan oleh Al Khallal. Dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma merupakan seorang sahabat yang sangat tamassuk (berpegang teguh) dengan Sunnah. Beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir. Dan setelah menyempurnakan takbirnya, Nabi memulai qira’ah. Beliau membaca Al Fatihah, kemudian membaca surat Qaaf pada salah satu raka’at. Pada raka’at yang lain, membaca surat Al Qamar. Terkadang membaca surat Al A’laa dan surat Al Ghasyiyah. Telah sah dari Beliau dua hal ini, dan tidak sah riwayat yang menyatakan selainnya.<br />
<br />
Ketika selesai membaca, Beliau bertakbir dan ruku’. Kemudian, apabila telah menyempurnakan raka’at yang pertama, Beliau bangkit dari sujud dan bertakbir lima kali secara beruntun. Setelah itu Beliau membaca. Maka takbir merupakan pembuka di dalam dua raka’at, kemudian membaca, dan setelah itu ruku’”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].<br />
<br />
APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH ‘ID?<br />
Tidak disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah ‘Id. Disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:<br />
<br />
أَنَّ النَّبِيَّ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا. رواه البخاري<br />
<br />
"Sesungguhnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, tidak shalat sebelumnya atau sesudahnya" [HR Al Bukhari].<br />
<br />
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sama sekali tidak ada satu shalat sunnah saat sebelum atau sesudah ‘Id”. Kemudian dia ditanya: “Bagaimana dengan orang yang ingin shalat pada waktu itu?” Dia menjawab: “Saya khawatir akan diikuti oleh orang yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”. [Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/283].<br />
<br />
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Kesimpulannya, pada shalat ‘Id tidak ada shalat sunnah sebelum atau sesudahnya, berbeda dari orang yang mengqiyaskan dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat sunnah muthlaqah tidak ada dalil khusus yang melarangnya, kecuali jika dikerjakan pada waktu yang makruh seperti pada hari yang lain". [Fath-hul Bari, 2/476].<br />
<br />
Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka diperintahkan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid. Wallahu a’lam.<br />
<br />
APABILA SESEORANG TERTINGGAL DARI SHALAT ‘ID, APAKAH PERLU MENGQADHA?<br />
Dalam masalah ini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan di dalam Asy Syarhul Mumti’ 5/208: "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak diqadha. Orang yang tertinggal atau luput dari shalat ‘Id, tidak disunnahkan untuk mengqadha’nya, karena hal ini tidak pernah ada dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan karena shalat ‘Id merupakan shalat yang dikerjakan dengan berkumpul secara khusus. Oleh sebab itu tidak disyari’atkan, kecuali dengan cara seperti itu".<br />
<br />
Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: "Shalat Jum’at juga tidak diqadha. Tetapi, bagi orang yang tertinggal, (ia) mengganti shalat Jum’at dengan shalat fardhu pada waktu itu. Yaitu Dhuhur. Pada shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka tidak diqadha, karena pada waktu itu tidak terdapat shalat fardhu ataupun shalat sunnah".<br />
<br />
KHUTBAH ‘IDUL FITHRI<br />
Dalam Shahihain dan yang lainnya disebutkan:<br />
<br />
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ .رواه البخاري و مسلم<br />
<br />
"Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Pertama kali yang Beliau kerjakan ialah shalat, kemudian berpaling dan berdiri menghadap sahabat, dan mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan mereka". [HR Al Bukhari dan Muslim].<br />
<br />
Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya. Dibolehkan untuk meninggalkan tanah lapang seusai shalat. Tidak sebagaimana khutbah Jum’ah, yang wajib bagi kita untuk menghadirinya.<br />
<br />
Di dalam hadits Abdullah bin As Sa’id Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:<br />
<br />
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ<br />
<br />
"Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai, Beliau berkata: “Kami sekarang berkhutbah. Barangsiapa yang mau mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa yang mau, silahkan pergi". [Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/96]<br />
<br />
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Dahulu, apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyempurnakan shalat, Beliau berpaling dan berdiri di hadapan para sahabat, sedangkan mereka duduk di barisan mereka. Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan dan melarang mereka. Beliau membuka khuthbah-khutbahnya dengan memuji Allah. Tidak pernah diriwayatkan -dalam satu haditspun- bahwasanya Beliau membuka dua khutbah pada ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha dengan bertakbir. Dan diberikan rukhshah bagi orang yang menghadiri ‘Id untuk mendengarkan khutbah atau pergi". [Zaadul Ma’ad, 1/429].<br />
<br />
APABILA HARI ‘ID BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT<br />
Apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban shalat Jum’at bagi orang yang telah menghadiri ‘Id menjadi gugur. Tetapi bagi penguasa, sebaiknya memerintahkan agar didirikan shalat Jum’at, supaya dihadiri oleh orang yang tidak menyaksikan ‘Id atau bagi yang ingin menghadiri Jum’at dari kalangan orang-orang yang telah shalat ‘Id. Dan sebagai pengganti Jum’at bagi orang yang tidak shalat Jum’at, adalah shalat Dhuhur. Tetapi yang lebih baik, ialah menghadiri keduanya. [Lihat Ahkamul ‘Idain, Ath Thayyar, hlm. 18; Majalis ‘Asyri Dzil Hijjah, Syaikh Abdullah Al Fauzan, hlm. 107].<br />
<br />
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata:<br />
<br />
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود و ابن ماجه<br />
<br />
"Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau, maka shalat ‘Id telah mencukupi dari Jum’at. Akan tetapi, kami mengerjakan shalat Jum’at". [HR Abu Dawud, Ibnu Majah]<br />
<br />
MENGUCAPKAN SELAMAT PADA HARI ‘ID<br />
Syaikhul Islam ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari ‘Id. Beliau menjawab:<br />
<br />
“Mengucapkan selamat pada hari ‘Id; apabila seseorang bertemu saudaranya, kemudian dia berkata تقبل الله منا ومنكم (semoga Allah menerima amal kebaikan dari kami dan dari kalian), atau أعاده الله عليك (semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda), atau semisalnya, dalam hal seperti ini telah diriwayatkan dari sekelompok diantara para sahabat, bahwa mereka dahulu mengerjakannya. Dan diperperbolehkan oleh Imam Ahmad dan selainnya. Imam Ahmad berkata,’Saya tidak memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘Id. Namun, jika seseorang menyampaikan ucapan selamat kepadaku, aku akan menjawanya, karena menjawab tahiyyah hukumnya wajib. Adapun memulai ucapan selamat ‘Id bukan merupakan sunnah yang diperintahkan, dan tidak termasuk sesuatu yang dilarang. Barangsiapa yang mengerjakannya, maka ada contohnya. Dan bagi orang yang tidak mengerjakannya, ada contohnya juga". [Majmu’ Fatawa, 24/253, lihat juga Al Mughni, 3/294].<br />
<br />
Wallahu a’lamu bish shawab.<br />
<br />
Diselesaikan pada 15 Rajab 1425, bertepatan 30 Agustus 2004.<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197] </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-50201679128072201342011-08-21T16:49:00.000+08:002011-08-21T16:49:01.580+08:00Renungan Di Bulan Ramadhan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh<br />
Ustadz Firanda Ibnu Abidin As-Soronji<br />
<br />
<br />
Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.<br />
<br />
Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.<br />
<br />
Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini. Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an. Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1]. Sebagian yang lain sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru. Wallahul musta’an…[2]<br />
. <br />
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.<br />
<br />
Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”[3]<br />
<br />
Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah, bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya, Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut bulan suci ini. <br />
<br />
Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.[4] <br />
<br />
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA<br />
Allah berfirman :<br />
<br />
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ <br />
<br />
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. [Al Baqarah : 183]<br />
.<br />
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang utama, Pen).” [5]<br />
<br />
Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.<br />
<br />
Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”<br />
<br />
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.<br />
<br />
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah<br />
<br />
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ <br />
<br />
(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.[6]<br />
<br />
Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah. <br />
<br />
Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu tatkala tidak berpuasa.” [7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain.[8]<br />
<br />
Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]<br />
<br />
Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah (kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br />
<br />
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ<br />
<br />
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya [10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12] <br />
<br />
Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat merugi.” [13]<br />
<br />
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.<br />
<br />
PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN<br />
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].<br />
<br />
Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar untuk dibaca.” [15]<br />
<br />
Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.<br />
<br />
Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.<br />
<br />
Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”<br />
<br />
Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam. <br />
<br />
Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh selain mereka.” [16]<br />
<br />
Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17] <br />
1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut. Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).<br />
<br />
2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.<br />
<br />
3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.<br />
<br />
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras, dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al Qur`an) dalam shalat”. [18] <br />
<br />
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI <br />
Umar Al Faruq berkata : <br />
<br />
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر <br />
<br />
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]<br />
<br />
Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).<br />
<br />
Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah. <br />
<br />
Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : ... tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. (Al Kahfi : 49).<br />
<br />
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”[20]<br />
<br />
Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak.[21]<br />
<br />
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”<br />
<br />
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).<br />
<br />
Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.<br />
<br />
Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu. <br />
<br />
Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ...... <br />
<br />
Ibnul Qayyim melanjutkan : .... semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.<br />
<br />
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah merupakan bencana.<br />
<br />
Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ....<br />
<br />
Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah bencana.<br />
<br />
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami pembahasan ini.[22]<br />
<br />
Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan kembali kepadamu.<br />
<br />
Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :<br />
<br />
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ <br />
<br />
Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut. [23]<br />
<br />
Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”. [24]<br />
<br />
Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan bencana bagimu’.”[25]<br />
<br />
Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa tersebut.<br />
<br />
Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut. Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah. <br />
<br />
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau merasa ‘ujub.<br />
<br />
Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.<br />
<br />
Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para malaikat pencatat amal. <br />
<br />
Rasulullah telah bersabda : <br />
<br />
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ <br />
<br />
(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan mencelanya. <br />
<br />
Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74). Nabi Yusuf telah berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf : 33).<br />
<br />
Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ (demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan menyesatkannya,” [28] kemudian Beliau berdoa :<br />
<br />
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ <br />
<br />
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu. [29] <br />
<br />
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ <br />
<br />
Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]<br />
<br />
BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA <br />
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mukminun : 60).<br />
<br />
Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah : 27).<br />
<br />
Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.<br />
<br />
Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.[31]<br />
<br />
Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.” <br />
<br />
‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”<br />
<br />
Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”<br />
<br />
Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima. <br />
<br />
Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah<br />
<br />
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ <br />
<br />
(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”. [33]<br />
<br />
Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras, dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.<br />
<br />
Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh kekurangan.<br />
<br />
Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).<br />
<br />
Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.[34]<br />
<br />
Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat yang turun terakhir kepada Rasulullah n : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima taubat”. (An Nashr ayat 1-3).<br />
<br />
Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah n , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau berkata : <br />
<br />
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ. <br />
أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ . <br />
<br />
Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.<br />
<br />
Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”<br />
<br />
Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”. [36] <br />
<br />
Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.” [37]<br />
<br />
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.<br />
<br />
Maraji`:<br />
1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.<br />
2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.<br />
3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.<br />
4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.<br />
5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.<br />
6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.<br />
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.<br />
8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.<br />
9. Tafsir Ibnu Katsir.<br />
<br />
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]<br />
_______<br />
Footnote<br />
[1]. Yang menyedihkan, ada di antara mereka yang mengatas namakan dunia yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga yang berdalih, bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi membantu orang lain. Ketahuilah saudaraku, carilah amalan yang terbaik dan bisa mendatangkan pahala sebanyak mungkin pada bulan suci ini. Umur kita terbatas. Renungkanlah! <br />
[2]. Disadur dari perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan di dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 14-15.<br />
[3]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 11. Adakah di antara kita yang senantiasa berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk berdoa selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin masih banyak di antara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain, karena kita kurang mengagungkan nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau bahkan mungkin di antara kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan Ramadhan? <br />
[4]. Lihat khutbah Syaikh As Sudais dalam Kaukabah Al Khutab Al Munifah, hlm. 230-231.<br />
[5]. Tafsir Al Qur`an Al Karim, tafsir surat Al Baqarah (2/317).<br />
[6]. Lihat risalah Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14.<br />
[7]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 21. <br />
[8]. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya. Ibnu Rajab berkata,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuh guna melaksanakan shalat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala (oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah oleh Allah, Pen). Demikian juga, jika dia meniatkan dengan tidurnya pada malam hari ataupun siang hari agar kuat untuk beramal (shalih), maka tidurnya itu termasuk ibadah.” (Wadzaif Ramadhan, hlm. 24).<br />
[9]. Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 237.<br />
[10]. Yaitu mengamalkan konsekwensi dari kedustaan tersebut (Al Fath, 4/151).<br />
[11]. Syaikh Abdullah Al Fauzan menjelaskan, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya. (Ahaditsu Siyam, hlm. 74). <br />
[12]. HR Al Bukhari, no. 1903, 6057. Ibnu At Thin berkata,”Zhahir hadits menunjukkan, barangsiapa berbuat ghibah tatkala sedang puasa, maka puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut mereka, makna dari hadits ini, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar, dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya.” (Al Fath, 10/582). Lihat Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 229.<br />
[13]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 12.<br />
[14]. Ibnu Katsir menjelaskan, di antara bentuk-bentuk meninggalkan (tidak mengacuhkan) Al Qur`an ialah tidak mengamalkan perintah-perintah yang terdapat di dalam Al Qur`an, tidak menjauhi larangan-larangan yang terdapat di dalam Al Qur`an, berpaling dari (kebiasaan membaca) Al Qur`an dan menggantikannya dengan membaca syair-syair atau perkataan-perkataan atau lagu atau perkara sia-sia, yang tidak berlandaskan Al Qur`an. (Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Furqan ayat 30).<br />
[15]. Wadzaif Ramadhan, hlm 42. Sebagian Salaf berkata,”Al Qur`an diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan). Namun manusia menjadikan membaca Al Qur`an itulah bentuk mengamalkannya.”<br />
[16]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 43.<br />
[17]. Berdasarkan perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 46-48.<br />
[18]. HR Ahmad (3/93) dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah (4/134) dan beliau berkata: “Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan (kriteria) Bukhari dan Muslim”. <br />
[19]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, bab Al Kaisu Lak Dana Nafsahau.... Setelah menyebutkan hadits “Al kaisu….dst”, beliau berkata: “Dan diriwayatkan oleh Umar bin Al Khaththab, ia berkata,’Hisablah….’.” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Demikian juga Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (1/319).<br />
[20]. Hilyatul Auliya` (2/157).<br />
[21]. Madarijus Salikin (1/321).<br />
[22]. Madarijus Salikin (1/ 321-324).<br />
[23]. HR At Tirmidzi, no 2505, dan beliau berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”. Al Mubarakfuri berkata,”Hadits ini munqati’. Meski demikian, At Tirmidzi menghasankannya. Kemungkinan karena ada jalan yang lain atau ada syahid bagi hadits ini, maka inqita’ (sanadnya yang terputus) tidak mempengaruhinya.”(Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/251). Namun Syaikh Al Albani menghukumi, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no. 449 dan dalam Dha’iful Jami’, no. 5710.<br />
[24]. Sebagaimana penafsiran ini dibawakan juga oleh At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini.<br />
[25]. HR At Tirmidzi, no 2506, dan ia berkata: “Ini adalah hadits hasan gharib”, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no 450.<br />
[26]. HR Al Bukhari, 2152.<br />
[27]. HR Al Bukhari, 6617, 6628.<br />
[28]. HR Ibnu Majah, no 99; Ahmad 4/182; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.<br />
[29]. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi, 1739.<br />
[30]. HR Muslim, no. 2654.<br />
[31]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah ayat 27.<br />
[32]. Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Wazdaif Ramadhan, hlm. 73, kecuali atsar Abu Darda’.<br />
[33]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Baqarah ayat 127.<br />
[34]. HR Muslim 591 dan Abu Dawud, 1512.<br />
[35]. Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan oleh An Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum Wallailah, hlm. 173 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no 2059. Adapun hadits yang kedua diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.<br />
[36]. Madarijus Salikin, 1/327-330.<br />
[37]. Dari kumpulan khutbah Jum’at beliau, Kaukabah Al Khutab Al Munifah (1/ 235). </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-13025040943588009552011-08-14T15:37:00.000+08:002011-08-14T15:37:35.838+08:00Syarat dan Rukun Puasa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuDO8ZKiemAQVrvs_mYGi-G5PUtssmUaKA6M_O55nqdqxtgwFxkDiu7AttHgHlRva8dinVYj4CdJiYSxLrB-5Ef3b2rMuAgvfdiPXQ-CFznnBNxGgYVc2PD_XXQSeOyDyjKP8GGoMA46vo/s1600/syarat+dan+rukun+puasa.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuDO8ZKiemAQVrvs_mYGi-G5PUtssmUaKA6M_O55nqdqxtgwFxkDiu7AttHgHlRva8dinVYj4CdJiYSxLrB-5Ef3b2rMuAgvfdiPXQ-CFznnBNxGgYVc2PD_XXQSeOyDyjKP8GGoMA46vo/s320/syarat+dan+rukun+puasa.jpg" width="320" /></a></div>Muslim Muda…mari berilmu sebelum beramal, ketahui dulu ilmu tentang puasa sebelum berpuasa<br />
<b>Syarat Wajib Puasa</b><br />
<br />
Syarat wajibnya puasa yaitu:<br />
Islam, Baligh, Berakal dan Mampu melakukan Puasa <br />
<br />
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda <i>“ pena diangkat dari 3 orang, orang gila hingga sadar, orang tidur hingga bangun dan anak kecil hingga bermimpi’</i> (HR. Ahmad dan Abu Daud)<br />
<a href="" name="more"></a><br />
<b>Syarat Sahnya Puasa</b><br />
1. Islam<br />
2. Suci dari haidh dan nifas.<br />
3. Mumayyiz (anak yang sudah membedakan antara yang baik dan buruk, antara boleh dan tidak boleh)<br />
4. Berakal <br />
5. Berniat <br />
<br />
Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,<br />
<span style="font-size: medium;"><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: medium;">إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ</span></div><br />
<div style="text-align: center;"><i>“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” </i></div><br />
Namun, muslim muda perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,<br />
<br />
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan.<br />
<br />
Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,<br />
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” <br />
<br />
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”<br />
<br />
<b>Wajib Berniat Sebelum Fajar</b><br />
<br />
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<span style="font-size: medium;"></span><br />
<span style="font-size: medium;"><br />
</span><br />
<div style="text-align: center;"><span style="font-size: medium;">مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ</span></div><br />
<div style="text-align: center;"><i>“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah</i>.” </div><br />
<i><b>Syarat ini adalah syarat puasa wajib</b></i>. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar. <br />
<br />
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,<br />
<br />
<blockquote>“Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata, "Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju)." Maka beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa." </blockquote><br />
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat. <br />
<br />
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakana.<br />
<br />
<b>Rukun Puasa</b><br />
<br />
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala<br />
<br />
<div style="text-align: right;">,<br />
<span style="font-size: medium;">وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ</span></div><br />
<div style="text-align: center;"><i>“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”</i> (QS. Al Baqarah: 187). </div><br />
Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki. Tetapi yang dimaksud adalah terangnya fajar.<br />
<br />
Wallahu a’lam<br />
Referensi : ceramah Ust. Syaiful Yusuf, Lc. dan tambahan dari berbagai sumber </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-58758392638129597432011-07-23T19:07:00.000+08:002011-07-23T19:07:27.492+08:00Keutamaan Puasa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivMh6RhJFnii6bRQ-pcTJAoYn7kCltYfufx2U-J8PH2udhofKRlf7VuqMfvI5XqhadDgkg08NP0E9po1vlOITSDH0Gi6B3Rin2aRbGIAoZmoq5pwNp1WpP_B46NAxEC0oGUhsdNDMkbBJa/s1600/KEUTAMAAN+PUASA.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivMh6RhJFnii6bRQ-pcTJAoYn7kCltYfufx2U-J8PH2udhofKRlf7VuqMfvI5XqhadDgkg08NP0E9po1vlOITSDH0Gi6B3Rin2aRbGIAoZmoq5pwNp1WpP_B46NAxEC0oGUhsdNDMkbBJa/s320/KEUTAMAAN+PUASA.jpg" width="320" /></a></div>Muslim Muda….bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat dirindukan oleh seluruh kaum muslimin di seluruh pelosok dunia. Bulan yang didalamnya penuh keberkahan, syaitan-syaitan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka lebar.<br />
<br />
Muslim Muda…bulan yang penuh ampunan, siapa yang tidak merindukannya. Berikut ini rumah rohis menyajikan keutamaan puasa.<br />
<a href="" name="more"></a><br />
<b>Keutamaan Puasa :</b><br />
<br />
<b>1. Puasa adalah Perisai</b><br />
<br />
<br />
<blockquote>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani)</blockquote><br />
<b>2. Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Pahala yang Tak Terhingga<br />
<br />
3. Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Dua Kebahagiaan <br />
<br />
4. Bau Mulut Orang yang Bepuasa Lebih Harum di Hadapan Allah daripada Bau Misik/Kasturi</b><br />
<br />
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,<br />
<br />
<blockquote>“Allah berfirman,’Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah,’Saya sedang berpuasa’. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau misk/kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya dan ketika bertemu Allah mereka bergembira karena puasanya’. “ (HR. Bukhari dan Muslim)</blockquote><br />
<b>5. Puasa akan Memberikan Syafaat bagi Orang yang Menjalankannya</b><br />
<br />
<blockquote>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Puasa dan Al-Qur’an itu akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat nanti. Puasa akan berkata,’Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberikan syafaat kepadanya’. Dan Al-Qur’an pula berkata,’Saya telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi syafaat kepadanya.’ Beliau bersabda, ‘Maka syafaat keduanya diperkenankan.’” (HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, periwayatnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Al Haytsami dalam Mujma’ul Zawaid)</blockquote><b><br />
6. Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Pengampunan Dosa</b><br />
<blockquote>Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)</blockquote><br />
<b>7. Bagi Orang yang Berpuasa akan Disediakan Ar Rayyan</b><br />
<br />
<blockquote>Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut”. (HR. Bukhari dan Muslim)</blockquote><br />
Semoga pembahasan di atas dapat mendorong kita agar lebih bersemangat untuk mendapatkan keutamaan berpuasa di bulan Ramadhan dengan cara menghiasi hari-hari di bulan yang penuh berkah tersebut dengan amal saleh yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang mulia.<br />
<br />
<i>Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.</i><br />
<br />
Maroji’: Shifat Shaum Nabi fi Ramadhan, Syaikh Salim Al Hilali & Syaikh Ali Hasan Al Halabi dengan sedikit tambahan<br />
Referensi : alsofwah.or.id </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-65202639908748713782011-07-23T19:05:00.002+08:002011-07-23T19:05:51.885+08:00Keutamaan Bulan Ramadhan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ7x_n4ukq2LPRv2nabWPmKaHkFA9Wajoc65UVAxcwnsurVMnLum5N4ZfwmK8xq2MEo3ib1utTLc-DQdg24Ci3FAMMyGpKcPiLPGywSv9nJCjlJEx5_G9FgQ1Ynx2cYivTxHFzIUbGoH-4/s1600/Keutamaan+ramadhan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="291" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ7x_n4ukq2LPRv2nabWPmKaHkFA9Wajoc65UVAxcwnsurVMnLum5N4ZfwmK8xq2MEo3ib1utTLc-DQdg24Ci3FAMMyGpKcPiLPGywSv9nJCjlJEx5_G9FgQ1Ynx2cYivTxHFzIUbGoH-4/s320/Keutamaan+ramadhan.jpg" width="320" /></a></div>Muslim Muda … Bulan yang dirindukan akan tiba, ahlan wa sahlan, marhaban bika ya Ramadhan. Ramadhan adalah bulan nan penuh barakah, indah penuh maghfirah, yang di dalamnya Allah turunkan kitab mulia, petunjuk dan cahaya, di dalamnya Allah memberikan kemenangan besar bagi hambaNya pada saat perang Badr. Untuk itu amal shaleh yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagaikan derasnya hembusan angin dan air yang mengalir. Para sahabat dan para ulama senantiasa berlomba-lomba meraih keridlaan Allah dengan meraih kebaikan dan amal ibadah pada bulan tersebut. <br />
<br />
Muslim Muda…apa saja keutamaan bulan Ramadhan??<br />
<a href="" name="more"></a><br />
<b>Ramadhan adalah Bulan Diturunkannya Al-Qur’an</b><br />
<br />
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia. Bulan ini dipilih sebagai bulan untuk berpuasa dan pada bulan ini pula Al-Qur’an diturunkan. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,<br />
<br />
<br />
<blockquote>“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)</blockquote><br />
Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan ayat yang mulia ini mengatakan,”(Dalam ayat ini) Allah ta’ala memuji bulan puasa –yaitu bulan Ramadhan- dari bulan-bulan lainnya. Allah memuji demikian karena bulan ini telah Allah pilih sebagai bulan diturunkannya Al Qur’an dari bulan-bulan lainnya. Sebagaimana pula pada bulan Ramadhan ini Allah telah menurunkan kitab ilahiyah lainnya pada para Nabi ‘alaihimus salam.” <br />
<br />
<b>Setan-setan Dibelenggu, Pintu-pintu Neraka Ditutup dan Pintu-pintu Surga Dibuka </b><br />
<br />
<blockquote>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim)</blockquote><br />
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Pintu-pintu surga dibuka pada bulan ini karena banyaknya amal saleh dikerjakan sekaligus untuk memotivasi umat islam untuk melakukan kebaikan. Pintu-pintu neraka ditutup karena sedikitnya maksiat yang dilakukan oleh orang yang beriman. Setan-setan diikat kemudian dibelenggu, tidak dibiarkan lepas seperti di bulan selain Ramadhan.” (Majalis Syahri Ramadhan)<br />
<br />
<b>Terdapat Malam yang Penuh Kemuliaan dan Keberkahan</b><br />
<br />
Pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah -yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan- saat diturunkannya Al Qur’anul Karim.<br />
<br />
<blockquote>Allah ta’ala berfirman,“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr [97] : 1-3)</blockquote><br />
<blockquote>Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan [44] : 3)</blockquote><br />
Ibnu Abbas, Qotadah dan Mujahid mengatakan bahwa malam yang diberkahi tersebut adalah <i>malam lailatul qadar. </i><br />
<br />
<b>Bulan Ramadhan adalah Salah Satu Waktu Dikabulkannya Doa</b><br />
<br />
<blockquote>Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan,dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a maka pasti dikabulkan.” (HR. Al Bazaar sebagaimana dalam Mujma’ul Zawaid dan Al Haytsami mengatakan periwayatnya tsiqoh/terpercaya)</blockquote><br />
Referensi : muslim.or.id dan alsofwah.or.id </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-37543618482772278162011-07-23T19:04:00.001+08:002011-07-23T19:04:34.092+08:00Persiapan Menyambut Ramadhan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipZIxaHJTTtLrVUb6ou0rfderPvAkeDX5DF9ohcKpOXkReJN6ApJQBqvq4z8xov5VQAhT3asFGBzzdT4giTiG2zA14LO4bY58jeae4_YgLaVcwjReZ7YRGs1MOxZv_-fnL6iMB6Q4H0N05/s1600/ramadhan+mubarak.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipZIxaHJTTtLrVUb6ou0rfderPvAkeDX5DF9ohcKpOXkReJN6ApJQBqvq4z8xov5VQAhT3asFGBzzdT4giTiG2zA14LO4bY58jeae4_YgLaVcwjReZ7YRGs1MOxZv_-fnL6iMB6Q4H0N05/s1600/ramadhan+mubarak.jpg" /></a></div>Muslim Muda…Tidak lama lagi kita akan kedatangan tamu yang mulia lagi terhormat, bulan Ramadhan yang senantiasa dirindukan kedatangannya dan disayangkan kepergiannya.<br />
<br />
Muslim Muda…Bulan yang datang dengan berjuta berkah dan magfirah yang akan membersihkan noda-noda dalam jiwa sang pendosa. Ramadhan adalah kekasih hati, ia bagaikan darah segar yang membangkitkan kembali semangat yang mulai mengendor, ia ibarat oase di tengah padang sahara pelepas dahaga bagi sang pengembara di bawah teriknya sang mentari<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=781657497961194128" name="more"></a><br />
Sebagai seorang muslim hendaklah mengetahui hal-hal yang perlu dilakukan di dalam menyambut bulan suci Ramadhan serta amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.<br />
<b><br />
Bagaimana Kita Menyambut Bulan Ramadhan.</b><br />
<br />
<b>1. Memperbanyak do’a kepada Allah </b><br />
<br />
Adalah merupakan kebiasaan bagi para generasi yang shalih pendahulu kita dengan memperbanyak do’a sebelum masuknya bulan Ramadhan, sehingga diriwayatkan diantara me-reka ada yang memohon kepada Allah agar dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan sejak 6 bulan sebelumnya. Mereka juga memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan dan pertolongan di dalam melaksanakan ibadah-ibadah di dalamnya seperti puasa, qiyamul lail(tarwih), sedekah dan sebagainya.<br />
<b><br />
2. Bersuci dan membersihkan diri</b><br />
<br />
Yaitu kebersihan yang bersifat maknawi seperti taubat nasuha dari segala dosa dan maksiat. Pantaskah kita me-nyambut tamu yang agung dan mulia dengan keadaan yang kotor?, Pantaskah kita menyambut bulan Ramadhan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya dengan gelimangan dosa?, Bagaimana kita ber-puasa sedangkan shalat masih sering kita lalaikan ? Bagaimana kita menahan diri dari segala yang mubah (makan dan minum) kemudian berbuka dengan sesuatu yang haram ? yang merupakan hasil riba, suap dan harta haram lainnya. Bagaimana kita ber-harap puasa kita dapat diterima sedang-kan kita dalam keadaan seperti ini. Renungilah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam<br />
<blockquote> “Barangsiapa yang tidak meninggal-kan perkataan dusta dan beramal dengannya maka tidak ada bagi Allah kepentingan terhadap puasa (yang sekedar meninggalkan makan dan minum)” (HR. Bukhari)</blockquote><br />
Oleh karena itu sebelum pintu taubat tertutup, sebelum matahai terbit dari sebelah barat, sebelum nyawa sampai di tenggorokan maka bersegeralah bertau-bat dengan taubat yang sebenar-benarnya. Allah berfirman :<br />
<blockquote>“Hai orang-orang yang beriman bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya...” (QS. At Tahrim:8)</blockquote><br />
<b>3. Mempersiapkan jiwa</b><br />
<br />
Yaitu dengan memperbanyak amal-amal shalih pada bulan Sya’ban karena pada bulan ini bulan diangkatnya amalan-amalan pada Allah. Sebagaimana hadits Usamah bin Zaid yang diriwa-yatkan oleh Imam An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah yang dihasankan oleh Syaikh Al Albani bahwasanya Rasulullah berpuasa sepanjang bulan Sya’ban atau beliau memperbanyak puasa di dalamnya kecuali hanya beberapa hari saja beliau tidak melakukannya.<br />
<br />
<b>4. Mempelajari hukum-hukum puasa dan mengenal petunjuk Nabi </b><br />
<br />
sebelum memasuki puasa seperti mempelajari syarat-syarat diterimanya puasa, hal-hal yang mem-batalkannya, hukum berpuasa di hari syak (meragukan), perbuatan-perbuatan yang dibolehkan dan dilarang bagi yang berpuasa, adab-adab dan sunnah-sunnah berpuasa, hukum-hukum shalat tarawih, hukum-hukum yang berkaitan dengan orang yang memiliki udzur seperti mengadakan perjalanan, sakit, hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fitri dan lain-lain. Maka hendaknya kita ber-ilmu sebelum memahami dan mengamalkannya. Sebagaimana firman Allah <br />
<blockquote> “Maka ketahuilah, bahwa sesungguh-nya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan termpat tinggalmu” (QS. Muhammad :19)</blockquote> Didalam ayat ini Allah mendahulukan perintah berilmu sebelum berkata dan berbuat.<br />
<br />
<b>5. Mengatur sebaik-baiknya program di bulan Ramadhan.</b><br />
<br />
Bila seorang tamu yang agung datang berkunjung ke rumah kita kemudian kita menyambutnya dengan baik tentu kita akan mendapatkan pujian serta balasan dari tamu tersebut, begitu pula dengan bulan Ramadhan yang datang dengan membawa berbagai macam keutamaan. Jika kita menyambutnya dengan persiapan serta program-program untuk tamu agung ini tentu kita akan mendapatkan keutamaan-keutamaan tersebut.<br />
<br />
Maka dari itu hendaklah kita mengisi bulan suci ini dengan memperbanyak ibadah shalat sunnat, membaca Al Qur’an, memperbanyak tasbih, tahmid, takbir dan istighfar dan lebih peduli kepada nasib orang fakir dan miskin, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahmi, memuliakan tamu, menjenguk orang sakit dan ibadah-ibadah lain yang semisal dengan itu guna meraih gelaran mulia dari Allah, yaitu “Taqwa” dimana ia merupakan simbol sejati bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa mengikhlaskan hati dan memurnikan iman yang terpatri lewat amalan ibadah yang relevan dengan hukum syar’i.<br />
<br />
Wallahu a’lam<br />
<br />
Referensi dari bulletin Al Fikrah tulisan Ust. Harman Tajang, Lc. </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-89619056961633413882011-07-23T19:02:00.000+08:002011-07-23T19:02:16.701+08:00Adakah Sholat dan Puasa Nishfu Sya’ban?<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgAe3qrmRnJiQR3PUjtIOz0qbmu1HXIJ36OHnT5HR7Azh_oZ9GVJtafsVH65fmhKV2lUpncQk2fX3Kzu_tm_EmvamjNBR7L3Z54N97KDDmzMODKftUOdciKDSSi5cZAbMZ9vaCUeghoqQn/s1600/nishfu+sya%2527ban.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgAe3qrmRnJiQR3PUjtIOz0qbmu1HXIJ36OHnT5HR7Azh_oZ9GVJtafsVH65fmhKV2lUpncQk2fX3Kzu_tm_EmvamjNBR7L3Z54N97KDDmzMODKftUOdciKDSSi5cZAbMZ9vaCUeghoqQn/s320/nishfu+sya%2527ban.jpg" width="320" /></a></div>Muslim Muda..pernah mendengar nishfu sya’ban? Nishfu sya’ban atau malam pertengahan di bulan sya’ban. Banyak loh kaum muslimin yang rada bingung dengan mala mini, soalnya banyak yang mengistimewakan malam ini dengan dengan sholat sunnah, yasinan dan berpuasa esok harinya.<br />
<br />
Muslim Muda…ada sih beberapa pendapat ulama tentang keistimewaan malam nishfu sya’ban tapi mengistimewakannya dengan ibadah-ibahdah tertentu kayanya perlu kita ketahui. Agar tidak terjebak dengan kebiasaan ayng tidak ada contohnya dari Rasulullah mendingan kita perahtikan penjelasan berikut<br />
<a href="" name="more"></a><br />
<b>Keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban.</b><br />
<br />
Pendapat ini berdasarkan hadits sahih dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (H.R. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani; dinilai sahih oleh Al-Albani)<br />
<br />
<b>Kesimpulan:</b><br />
<br />
Dari keterangan di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:<br />
• Nishfu Sya’ban termasuk malam yang memiliki keutamaan. Hal ini berdasarkan hadits, sebagaimana yang telah disebutkan. Meskipun sebagian ulama menyebut hadits ini hadits yang dhaif(lemah), namun, insya Allah yang lebih kuat adalah penilaian Syekh Al-Albani, yaitu bahwa hadits tersebut berstatus sahih.<br />
• <b><i>Tidak ditemukan satu pun riwayat yang menganjurkan amalan tertentu ketika nishfu Sya’ban, baik berupa puasa atau shalat</i></b>. Hadits di atas hanya menunjukkan bahwa Allah mengampuni semua hamba-Nya di malam nishfu sya’ban, kecuali dua jenis manusia yang disebutkan.<br />
• Ulama berselisih pendapat tentang apakah dianjurkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan banyak beribadah? Sebagian ulama menganjurkan, seperti sikap beberapa ulama tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam ibadah. Sebagian yang lain menganggap bahwa mengkhususkan malam nishfu Sya’ban untuk beribadah adalah tidak sunnah.<br />
• Ulama yang memperbolehkan memperbanyak amal di malam nishfu Sya’ban menegaskan bahwa tidak boleh mengadakan acara khusus, atau ibadah tertentu, baik secara berjamaah maupun sendirian di malam ini, karena tidak ada amalan sunah khusus di malam nishfu Sya’ban. Karenanya, menurut pendapat ini, seseorang diperbolehkan memperbanyak ibadah secara mutlak, apa pun bentuk ibadah tersebut.<br />
<br />
referensi: KonsultasiSyariah.com </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-28378367241121145842011-07-23T19:00:00.000+08:002011-07-23T19:00:09.089+08:00Cinta Ditolak Dukun Bertindak<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIaqvvi6uiAdgSBajASC_Kgbd8reHhHdtDCSpHpmfgQFvAeEIgkff3jOd6EatbrvrFiZu8vsVTsC1q-gYivE7QfVki_4_wWIUjDj8SCetAs3kMbY_fOO-iVpgTfiAi0QdjdgFq9v0jijTk/s1600/PUTUS+CINTA.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIaqvvi6uiAdgSBajASC_Kgbd8reHhHdtDCSpHpmfgQFvAeEIgkff3jOd6EatbrvrFiZu8vsVTsC1q-gYivE7QfVki_4_wWIUjDj8SCetAs3kMbY_fOO-iVpgTfiAi0QdjdgFq9v0jijTk/s320/PUTUS+CINTA.jpg" width="320" /></a></div>Muslim Muda…Sebagian pemuda yang dimabuk asmara akibat mengobral pandangan kepada perempuan-perempuan yang juga ngobral mungkin akrab dengan slogan ini, ‘Cinta ditolak, dukun bertindak’. <br />
<br />
Muslim Muda…masalah cinta kayanya sesuatu yang sangat seru untuk dibicarakan, lantas ada apa dengan hal ini yah?<br />
<a href="" name="more"></a><br />
<b>Pertama,</b> cinta yang salah penerapan. Ketika orang berbicara cinta, maka yang terpikir di otak para remaja adalah pacaran, apel, nonton bareng, dan seabrek kegiatan mendekati zina lainnya.<br />
<br />
<b>Yang kedua,</b> ketika kepentingan hawa nafsu mereka tidak terpenuhi, maka otomatis mereka lari kepada para dukun yang notebene justru menceburkan mereka ke dalam dosa yang jauh lebih berat yaitu syirik dan kekafiran.<br />
<br />
Ini tidak jauh dengan ungkapan, ‘<b><i>Lepas dari gigitan singa, terjatuh ke mulut buaya</i></b>’. Nah, tentu ini merupakan musibah dan bencana yang menghancurkan iman dan jati diri seorang insan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “<i>Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia berkenan mengampuni dosa lain di bawah tingkatan syirik bagi orang yang dikehendaki-Nya</i>.” (QS. an-Nisaa’ : 116).<br />
<br />
Coba perhatikan, inilah kondisi umat yang hari ini kita hadapi… Ketika aqidah dan akhlak generasi muda telah terkikis dan luntur dari lubuk hati mereka, maka secara otomatis syaitan dan bala tentaranyalah yang bekerja dan memegang kendali dalam tubuh dan akal pikiran mereka. Maka tidaklah mengherankan jika banyak remaja yang menggandrungi kisah-kisah fiksi yang menyajikan lika-liku dunia perdukunan dan sihir menyihir, bahkan ia menempati posisi best seller yang terjual laris dalam waktu yang singkat, laa haula wa laa quwwata illa billaah!<br />
<br />
Sementara di sisi lain, Al Qur’an saja gak punya apalagi buku-buku hadits…waduh parah nih…<br />
<br />
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata “<i>Barangsiapa yang mendatangi paranormal, tukang sihir, atau dukun, lalu dia membenarkan perkataannya maka sungguh dia telah kufur terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.</i>” (Shahih Targhib wa Tarhib [3044]). <br />
<br />
Muslim Muda…jangan sampai kita mengingkari (kufur) terhadap Al Qur’an yah, soalnya orang yang kufur kemudian meninggal dan belum sempat tobat maka bakalan kekal di neraka…Na’udzubillahi minzdalik …<br />
<br />
Tentu saja hal ini menunjukkan kepada kita bahwa praktek perdukunan dan paranormal -apa pun istilahnya- merupakan penyakit masyarakat yang sangat ganas dan mematikan. Gara-gara ulah mereka aqidah masyarakat menjadi rusak, tatanan agama menjadi tidak lagi dihiraukan, muncul permusuhan, pengambilan harta tanpa hak, dan pertumpahan darah di atas muka bumi. Lebih parah lagi jika orang-orang itu -dukun/paranormal- telah dilabeli dengan gelar kyai atau pakar pengobatan alternatif. Parah nih<br />
<br />
So…solusi dari semua itu adalah kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah lewat………<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;"><b><span style="font-size: large;">TARBIYAH</span></b></div>Wallahu a’lam </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-3177106710426027062011-07-23T18:58:00.000+08:002011-07-23T18:58:21.150+08:00Keutamaan Bulan Sya'ban<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiztzd90vEaWt90Ynl8oZuwp4Xg7UZWhij2m8r6XC6sgXHx9OOluWBkSLxGxBYcm8A4clpNTLoSPx-0HVZtciF9ekspADtbH_cpCbjt1lQ8_-M0-iKo9jNOBCeFFGN70hGDpZeIHweuBZ-h/s1600/puasa+sya%2527ban.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiztzd90vEaWt90Ynl8oZuwp4Xg7UZWhij2m8r6XC6sgXHx9OOluWBkSLxGxBYcm8A4clpNTLoSPx-0HVZtciF9ekspADtbH_cpCbjt1lQ8_-M0-iKo9jNOBCeFFGN70hGDpZeIHweuBZ-h/s320/puasa+sya%2527ban.jpg" width="320" /></a></div>Muslim Muda…kita telah melewati bulan rajab dan sekarang kita akan bersama dengan bulan sya’ban, itu pertanda ramadhan akan segera kita temui. Tentunya sebelum memulai sesuatu kudu perlu persiapan<br />
<br />
Muslim Muda…persiapan itu adalah dengan banyak-banyak melakukan amalan sholeh agar saat bulan ramadhan menjelang kita sudah terbiasa. Salah satu persiapan itu adalah dengan berpuasa di bulan sya’ban, lantas apa keutamaannya??<a href="" name="more"></a><br />
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan<br />
<br />
<b>Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban</b><br />
<br />
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.<br />
<br />
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,<br />
<br />
<blockquote>“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)</blockquote>Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan<br />
<br />
Referensi : muslim.or.id </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-781657497961194128.post-4076548083856934112011-07-23T18:56:00.000+08:002011-07-23T18:56:43.785+08:00Terimalah Taubat Kami Ya Allah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9KuRdeiPmgc4v__7_XE6qbxiP77B9Bw6QZc5Hw1H2TrPRnm37w51ZqJo4bmg9KpG2CbUmgoR_lSN2-wnOZb5uXsI_cgnrUtYEgFXgHyZra9RHyRcebNqnBPX11pp-uc1PeFPKYx6-Ql55/s1600/taubat.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9KuRdeiPmgc4v__7_XE6qbxiP77B9Bw6QZc5Hw1H2TrPRnm37w51ZqJo4bmg9KpG2CbUmgoR_lSN2-wnOZb5uXsI_cgnrUtYEgFXgHyZra9RHyRcebNqnBPX11pp-uc1PeFPKYx6-Ql55/s320/taubat.png" width="320" /></a></div>Muslim Muda, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Semua orang pasti pernah berbuat dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah yang rajin bertaubat kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar [39] : 53).<a href="" name="more"></a><br />
Muslim Muda, kezaliman apa pun yang pernah kau lakukan, maka ketahuilah bahwa pintu ampunan Allah sangatlah lebar. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Rabbmu adalah pemilik ampunan bagi umat manusia atas kezaliman mereka, dan sesungguhnya Rabbmu benar-benar keras siksanya.” (QS. Ar-Ra’d [13] : 6).<br />
<br />
Muslim Muda, kemanakah hendak kau cari ampunan itu kalau bukan kepada-Nya yang berada di atas langit sana. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Rabbmu adalah pemilik ampunan sekaligus pemilik siksaan yang amat pedih.” (QS. Fushshilat [41] : 43).<br />
<br />
Muslim Muda, tidakkah engkau ingin termasuk orang-orang yang dicintai-Nya, tidakkah engkau ingin menjadi orang yang diampuni kesalahan dan dosa-dosanya? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang rajin bertaubat dan (Allah) mencintai orang-orang yang suka membersihkan diri.” (QS. Al-Baqarah [2] : 222).<br />
<br />
Muslim Muda, apakah kamu enggan untuk bertaubat dan menerima ampunan dari-Nya? Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan-Nya. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Maa’idah [5] : 74).<br />
<br />
Muslim Muda, apakah kita tidak ingin terbebas dari azab yang sangat pedih? Apakah kita tidak ingin mendapatkan kebaikan? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila kalian bertaubat maka itulah yang lebih baik bagi kalian. Apabila kalian justru berpaling, ketahuilah bahwa kalian tidak akan bisa melemahkan Allah, dan berikanlah kabar gembira untuk orang-orang kafir bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang amat pedih.” (QS. At-Taubah [9] : 3).<br />
<br />
Muslim Muda, kembalilah kepada Dzat Yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, sungguh Dia tidak akan menyia-nyiakan doa dan amal-amal kalian. Nabi Syu’aib ‘alaihis salam memerintahkan kepada kaumnya, sebagaimana tercantum dalam ayat (yang artinya), “Mintalah ampunan kepada Rabb kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabbku Maha pengasih lagi Maha penyayang.” (QS. Hud [11] : 90).<br />
<br />
Muslim Muda, marilah kita sambut kebahagiaan dan kesuksesan hidup dengan senantiasa bertaubat kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, agar kalian berbahagia.” (QS. An-Nur [24] : 31).<br />
<br />
Muslim Muda, tidak inginkah kita amal-amal buruk dan kemaksiatan kita terhapus dan dimaafkan oleh Allah kemudian Allah gantikan dengan kebaikan dan ketaatan kepada-Nya? Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan melakukan amal salih, maka mereka itulah orang-orang yang akan diganti kejelekan mereka dengan kebaikan. Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Furqan [25] : 70).<br />
<br />
Muslim Muda, marilah kita gapai ampunan Allah dan keberuntungan dari-Nya dengan taubat yang murni, iman yang tulus dan lurus, serta amal yang ikhlas dan mengikuti tuntunan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun orang yang bertaubat, beriman, dan beramal salih, maka semoga saja dia termasuk golongan orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Qashash : 67).<br />
<br />
Muslim Muda, Allah Maha mengetahui isi hati kita dan keinginan-keinginan yang terbetik di dalamnya. Tidakkah kita tergerak untuk segera menyambut ampunan-Nya dan bersimpuh di hadapan-Nya untuk memperbaharui taubat kita. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan. Allah Maha mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. Asy-Syura [42] : 25).<br />
<br />
Ya Allah, terimalah taubat hamba-hamba-Mu ini… Sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.<br />
<br />
Sumber : Abumuslih.com </div>Erlangga Sudirmanhttp://www.blogger.com/profile/04542231150850492927noreply@blogger.com0