PERTANYAAN
Saya seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun dan
mempunyai beberapa orang adik. Setiap hari adik-adik saya
pergi ke rumah tetangga untuk menonton televisi. Tetapi
ketika saya meminta kepada ayah untuk membelikan kami
televisi, beliau berkata, "Televisi itu haram." Beliau tidak
memperbolehkan saya memasukkan televisi ke rumah.
Saya mohon Ustadz berkenan memberikan bimbingan kepada kami
mengenai masalah ini.
JAWABAN
Saya telah membicarakan hukum televisi ini dalam pembahasan
terdahulu. Hal itu saya sampaikan pada kesempatan pertama,
dan saya kemukakan kepada para pemirsa melalui acara "Hadyul
Islam" di televisi Qathar.
Pada waktu itu saya katakan bahwa televisi sama halnya
seperti radio, surat kabar, dan majalah. Semua itu hanyalah
alat atau media yang digunakan untuk berbagai maksud dan
tujuan sehingga Anda tidak dapat mengatakannya baik atau
buruk, halal atau haram. Segalanya tergantung pada tujuan
dan materi acaranya. Seperti halnya pedang, di tangan
mujahid ia adalah alat untuk berjihad; dan bila di tangan
perampok, maka pedang itu merupakan alat untuk melakukan
tindak kejahatan. Oleh karenanya sesuatu dinilai dari sudut
penggunaannya, dan sarana atau media dinilai sesuai tujuan
dan maksudnya.
Televisi dapat saja menjadi media pembangunan dan
pengembangan pikiran, ruh, jiwa, akhlak, dan kemasyarakatan.
Demikian pula halnya radio, surat kabar, dan sebagainya.
Tetapi di sisi lain, televisi dapat juga menjadi alat
penghancur dan perusak. Semua itu kembali kepada materi
acara dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Dapat saya katakan bahwa media-media ini mengandung
kemungkinan baik, buruk, halal, dan haram. Seperti saya
katakan sejak semula bahwa seorang muslim hendaknya dapat
mengendalikan diri terhadap media-media seperti ini,
sehingga dia menghidupkan radio atau televisi jika acaranya
berisi kebaikan, dan mematikannya bila berisi keburukan.
Lewat media ini seseorang dapat menyaksikan dan mendengarkan
berita-berita dan acara-acara keagamaan, pendidikan,
pengajaran, atau acara lainnya yang dapat diterima (tidak
mengandung unsur keburukan/keharaman). Sehingga dalam hal
ini anak-anak dapat menyaksikan gerakan-gerakan lincah dari
suguhan hiburan yang menyenangkan hatinya atau dapat
memperoleh manfaat dari tayangan acara pendidikan yang
mereka saksikan.
Namun begitu, ada acara-acara tertentu yang tidak boleh
ditonton, seperti tayangan film-film Barat yang pada umumnya
merusak akhlak. Karena didalamnya mengandung unsur-unsur
budaya dan kebiasaan yang bertentangan dengan aqidah Islam
yang lurus. Misalnya, film-film itu mengajarkan bahwa setiap
gadis harus mempunyai teman kencan dan suka berasyik masyuk.
Kemudian hal itu dibumbui dengan bermacam-macam kebohongan,
dan mengajarkan bagaimana cara seorang gadis berdusta
terhadap keluarganya, bagaimana upayanya agar dapat bebas
keluar rumah, termasuk memberi contoh bagaimana membuat
rayuan dengan kata-kata yang manis. Selain itu, jenis
film-film ini juga hanya berisikan kisah-kisah bohong,
dongeng-dongeng khayal, dan semacamnya. Singkatnya, film
seperti ini hanya menjadi sarana untuk mengajarkan moral
yang rendah.
Secara objektif saya katakan bahwa sebagian besar film tidak
luput dari sisi negatif seperti ini, tidak sunyi dari
adegan-adegan yang merangsang nafsu seks, minum khamar, dan
tari telanjang. Mereka bahkan berkata, "Tari dan dansa sudah
menjadi kebudayaan dalam dunia kita, dan ini merupakan ciri
peradaban yang tinggi. Wanita yang tidak belajar berdansa
adalah wanita yang tidak modern. Apakah haram jika seorang
pemuda duduk berdua dengan seorang gadis sekadar untuk
bercakap-cakap serta saling bertukar janji?"
Inilah yang menyebabkan orang yang konsisten pada agamanya
dan menaruh perhatian terhadap akhlak anak-anaknya melarang
memasukkan media-media seperti televisi dan sebagainya ke
rumahnya. Sebab mereka berprinsip, keburukan yang
ditimbulkannya jauh lebih banyak daripada kebaikannya,
dosanya lebih besar daripada manfaatnya, dan sudah tentu
yang demikian adalah haram. Lebih-lebih media tersebut
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan
pikiran, yang cepat sekali menjalarnya, belum lagi waktu
yang tersita olehnya dan menjadikan kewajiban terabaikan.
Tidak diragukan lagi bahwa hal inilah yang harus disikapi
dengan hati-hati, ketika keburukan dan kerusakan sudah
demikian dominan. Namun cobaan ini telah begitu merata, dan
tidak terhitung jumlah manusia yang tidak lagi dapat
menghindarkan diri darinya, karena memang segi-segi positif
dan manfaatnya juga ada. Karena itu, yang paling mudah dan
paling layak dilakukan dalam menghadapi kenyataan ini adalah
sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya, yaitu
berusaha memanfaatkan yang baik dan menjauhi yang buruk di
antara film bentuk tayangan sejenisnya.
Hal ini dapat dihindari oleh seseorang dengan jalan
mematikan radio atau televisinya, menutup surat kabar dan
majalah yang memuat gambar-gambar telanjang yang terlarang,
dan menghindari membaca media yang memuat berita-berita dan
tulisan yang buruk.
Manusia adalah mufti bagi dirinya sendiri, dan dia dapat
menutup pintu kerusakan dari dirinya. Apabila ia tidak dapat
mengendalikan dirinya atau keluarganya, maka langkah yang
lebih utama adalah jangan memasukkan media-media tersebut ke
dalam rumahnya sebagai upaya preventif (saddudz dzari'ah).
Inilah pendapat saya mengenai hal ini, dan Allahlah Yang
Maha Memberi Petunjuk dan Memberi Taufiq ke jalan yang
lurus.
Kini tinggal bagaimana tanggung jawab negara secara umum dan
tanggung jawab produser serta seluruh pihak yang berkaitan
dengan media-media informasi tersebut. Karena bagaimanapun,
Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada mereka terhadap
semua itu. Maka hendaklah mereka mempersiapkan diri sejak
sekarang.
Sabtu, 10 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar