Jumat, 17 September 2010
Mengintip Misteri Makam Sunan Gunung Jati
Kisah Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah memang selalu menjadi referensi bacaan yang menarik. Dalam perjuangannya menyebarkan agama Ilahi, selalu terselip kisah teladan. Bumbu-bumbu sikap teladan, perjuangan diplomasi sampai dengan pengkhianatan menghias dihampir semua referensi sejarah yang saya baca.
Bagi saya, kisah Sunan Gunung Jati ibarat sebuah drama yang bagian akhirnya masih sedang digubah. Adegan pertama drama itu dimulai sekitar tahun 1481 saat beliau mendapat mandat untuk memimpin Nagari Caruban Larang dari Pamannya Pangeran Cakrabuana, beberapa dasawarsa sebelum terbentuknya kota Cirebon. Memimpin sebuah daerah dalam wilayah kekuasaan Prabu Siliwangi, Sunan Gunung Jati tidak melulu mendapat kemudahan walau dirinya jelas cucu dari sang Prabu. Namun kesulitan dan kendala itu selalu di sikapi dengan arif dan bijaksana, namun jika bicara syariat Sunan Gunung Jati tak pandang bulu, tegas dan keras.
Bersama dengan keluarga dan pengikutnya yang digdaya, Sunan Gunung Jati berhasil membawa Nagari Caruban Larang menjadi daerah yang berkembang pesat. Sementara rakyatnya hidu dibawah panji Islam yang terang benderang dan meninggalkan keyakinan animisme ajaran nenek moyang.
Dari beberapa kisah tentang peng-Islaman daerah sekitar Nagari Caruban Larang, ada kisah yang menarik. Yakni saat Sunan Gunung Jati memberikan opsi kepada kerajaan Hindu yang tersisa di Pakuan Barat (sekarang Bogor) untuk memeluk Islam atau keluar dari Pakuan Barat. Ada golongan yang menerima, namun ada pula yang menolak. Kelompok kedua dari kerajaan Galuh ini misalnya, yang beranggotakan 40 pengawal yang dipimpin oleh panglimanya, menolak untuk masuk Islam, dan akhirnya menyingkir dari ibukota Pakuan ke desa Cibeo, Lebak, keberadaan mereka sekarang dikenal sebagai suku Baduy.
Sedang kelompok ketiga; kelompok pendeta, yang merupakan ulama kebatinan sepuh, menolak kedua pilihan diatas, yaitu memeluk agama Islam, atau menyingkir dari kotaraja.
Akhirnya Sunan Gunung Jati, ayah dari Maulana Hasanuddin si penguasa, bernegosiasi dengan ketuanya untuk meninggalkan istana dan dijanjikan akan diberikan daerah yang dapat dipergunakan untuk meneruskan kepercayaannya. Setelah negosiasi panjang dan melelahkan, hasilnya hanya jalan buntu, akhirnya Sunan Gunung Jati, yang pada saat itu telah menduduki jabatan tertinggi dari kesufian yaitu Wali Qutub (pemimpin para wali), akhirnya bermunajat kepada Allah, agar Istana Pakuan, yang berisi ulama kebatinan sepuh tersebut, dipindahkan kedunia lain, seperti yang kita kenal dengan Alam Jin.
Allah SWT mengabulkan munajatnya tersebut. Hingga saat ini, tidak ditemukan artifak atau batuan atau apapun sisa dari Istana Pakuan kuno yang diyakini berada disekitaran Kebun Raya Bogor.
Misteri Kesaktian Sunan
Kisah hilangnya istana Pakuan kuno merupakan salah satu kisah kesaktian Sunan Gunung Jati, karena menurut naskah yang termaktub di Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulis pertengahan abad ke-20, masih ada kesaktian Sunan Gunung Jati yang membuat banyak orang tercengang saat membacanya. Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Lalu ada kisah, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.
Jika dilirik dari akal sehat kisah kesaktian Sunan Gunung Jati tak masuk akal, tetapi bagi Allah SWT tak ada yang tak mungkin. Bisa saja jika Allah menghendaki kejadian itu memang benar adanya, apalagi jika melihat sosok Sunan Gunung Jati yang tentunya memiliki kadar iman yang tak bisa disebut sembarangan. Wallahu'alam Bishawab.
Makam Sunan Gunung Jati
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon. Pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai ini dimakamkan di komplek pemakamam Gunung Sembung.
Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati.
Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien.
Dalam perkembangannya Gunung Sembung juga menjadi komplek pemakaman keluarga Keraton Cirebon yang merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati.
Ada 9 pintu yang terdapat dalam Makam Sunan Gunung Jati, yaitu 1)Pintu Gapura, 2)Pintu Krapyak, 3)Pintu Pasujudan, 4)Pintu Ratnakomala, 5)Pintu Jinem, 6)Pintu Rararoga, 7)Pintu Kaca, 8)Pintu Bacem dan 9)Pintu Teratai. Para pengunjung atau peziarah hanya diperkenankan masuk sampai di pintu ke-5 saja.
Para peziarah di Makam Sunan Gunung Jati hanya diperkenankan sampai dibatas pintu serambi muka yang pada waktu-waktu tertentu dibuka dan dijaga selama beberapa menit kalau-kalau ada yang ingin menerobos masuk. Dari pintu yang diberi nama Selamat Tangkep itu terlihat puluhan anak tangga menuju Makam Sunan Gunung Jati.
Uniknya didalam kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat kompleks makam warga Tionghoa dibagian barat serambi muka yang dibatasi oleh pintu yang bernama Pintu Mergu. Lokasinya disendirikan dengan alasan agar peziarah yang memiliki ritual ziarah tersendiri seperti warga Tionghoa tidak akan terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam.
Mengunjungi kompleks pemakaman Sunan Gunung Jati sebetulnya tidak terlalu sulit. Lokasi-nya tidak jauh dari kota Cirebon. Jalan masuknya juga bisa dilalui oleh mobil dan sudah tersedia lahan parkir yang cukup luas.
Yang sangat disayangkan adalah banyaknya penduduk setempat yang meminta donasi tidak resmi kepada pengunjung atau peziarah yang datang ke makam. Dari mereka yang meminta dengan suka rela sampai dengan mereka yang menggebrak meja tempat diletakkannya kotak donasi untuk menakut-nakuti pengunjung apabila mereka menolak untuk membayar. Yang meminta donasi tidak hanya orang dewasa, melainkan anak-anak balita sampai kaum tua renta juga setia mengikuti bahkan ada yang sambil menarik-narik baju pengunjung.
Macam-macam alasan yang digunakan, dari donasi untuk pemeliharaan makam sampai sumbangan sebagai ‘pembuka pintu’. Kalau anda datang bersama dengan rombongan peziarah, bersiaplah menghadapi puluhan peminta sumbangan yang sudah berbaris panjang dari parkiran anda masuk sampai ke pintu gerbang peziarah.
Sangat mengesalkan sebetulnya. Pemandu memberitahu agar kami ‘jangan memulai’ memberikan donasi setiap kali diminta karena hanya akan membuat peminta donasi lain akan memburu. Walaupun kami sudah berusaha membatasi jumlah donasi yang kami keluarkan dengan terus menerus mengatakan “tidak” tetap saja kami harus merogoh kantong beberapa kali.
Upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali.
Walau sedikit kesal namun ambil hikmahnya, anggap saja beramal dan menjaga fakir miskin, seperti pesan Sunan Gunung Jati di akhir hayat. 'ingsun titip tajug lan fakir miskin,' yang artinya beliau titip masallah/masjid dan fakir miskin"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar